Sabtu, 04 Mei 2013

Fobia Diskriminasi Harga


Fobia Diskriminasi Harga
Purbayu Budi Santosa ;  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
SUARA MERDEKA, 03 Mei 2013


Persoalan yang menyangkut BBM bersubsidi memang pelik, bahkan acap diwarnai intrik politik. Fakta kepelikan itu bisa kita lihat dari data subsidi tahun 2013 sebanyak 46,01 juta kiloliter yang menyerap dana RAPBN 2013 sebesar Rp 193,8 triliun, yang sepertinya sulit tercapai dengan harga sekarang ini. 

Itu terjadi karena pagu subsidi telah terlampaui, mengingat jatah dalam APBN-P 2012 hanya 40 juta kiloliter tetapi realisasinya tembus sampai 45 juta kiloliter. Akibatnya, jatah subsidi pun membengkak dari Rp 123 triliun dalam  APBN 2012 jadi 137,4 triliun pada APBN-P 2012, dan realisasinya Rp 211,9 triliun.

Mengenai opsi awal dua harga BBM, penerapan harga yang berbeda untuk barang/ jasa yang sama terhadap kelompok pelanggan/  pasar berbeda disebut diskriminasi harga. Salah satu syarat keberhasilan kebijakan itu adalah pasar harus bisa dibagi dalam beberapa kelompok (minimal dua) secara efektif. Konkretnya, konsumen tidak dapat ’’menjual’’ harga yang diperolehnya lebih murah kepada konsumen yang dibebani harga lebih tinggi.

Sandainya pemerintah menerapkan dua harga untuk BBM jenis yang sama, sebenarnya itu bisa menjadi sarana menguji tingkat kesadaran masyarakat terhadap persoalan bangsa dan negara. Keramaian pembicaraan, bahkan membanggakan kepesatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat dunia, menunjukkan makin banyak penduduk yang naik ke kelas menengah.

Laporan Bank Dunia menyebut pertumbuhan kelas menengah Indonesia mencapai 7 juta jiwa per tahun. Laporan itu juga menjelaskan telah terjadi pergeseran signifikan dalam kelas menengah, yaitu tahun 2003 masih 37,7% dari jumlah penduduk, dan tahun 2012 sudah 56,5%. Menurut studi Bank Dunia, kelas menengah tersebut terbagi dalam empat kelas, yaitu mereka yang berpendapatan  Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan (38,5%); Rp 1,5 juta-Rp 2,6 juta per kapita per bulan (11,7%); Rp 2,6 juta-Rp 5,2 juta (5%), dan Rp 5,2 juta-Rp 6 juta per bulan (1,3%).

Di samping bercirikan peningkatan pendapatan, kemajuan itu juga diperlihatkan oleh peningkatan pendidikan masyarakat. Kelindan antara peningkatan pendapatan dan peningkatan pendidikan, semestinya membuat makin banyak anggota masyarakat, terutama kelas menengah, menaati peraturan pemerintah, semisal menyangkut kebijakan dua harga BBM. 

Bagaimana kebijakan diskrimasi harga itu dapat menjadi sarana uji terhadap hipotesis kenaikan pendapatan dan pendidikan bisa meningkatkan ketaatan terhadap peraturan pemerintah? 

Masalah kesejahteraan masyarakat terkait dengan tujuan pendidikan (ilmu) mungkin telah terjawab oleh penyataan kemeningkatan jumlah kelas menengah, meski naiknya angka distribusi pendapatan (indeks Gini) mengisyaratkan jumlah pendapatan antargolongan dalam masyarakat makin besar. Indeks Gini Indonesia 2010 adalah 0,38, sementara 2011 sekitar 0,41, dan kenaikan indeks itu diduga karena subsidi yang salah sasaran dan kemerebakan korupsi. 

Subsidi salah sasaran salah satunya adalah subsidi BBM sebab ternyata masyarakat tingkat atas lebih banyak mengonsumsi BBM subsidi ketimbang masyarakat bawah. Logikanya, diskriminasi harga lebih kena sasaran mengingat kendaraan pribadi lebih banyak dimiliki kalangan berpunya, sedangkan motor dan angkutan umum banyak dimiliki dan dinikmati kalangan bawah.

Menjelang hari pelaksanaan dua harga misalnya, Pertamina menyatakan siap tetapi pemerintah kemudian berbelok arah pada satu harga. Kenyataan ini menggambarkan ketidaksinkronan sekaligus kurang berwibawanya pemerintah yang berkali-kali sudah berwacana mengurangi subsidi BBM tetapi tak pernah dilakukan. Para pihak terkait siap mendukung kebijakan itu, yang berarti sudah mengerahkan segala daya dan dana, tapi pemerintah kembali ragu-ragu.

Tingkat Kesadaran

Tapi keragu-raguan langkah pemerintah malah makin membingungkan masyarakat karena situasi itu dimanfaatkan oleh pengusaha nakal dengan menaikkan harga produk lebih dahulu. 

Harga BBM belum naik saja masyarakat banyak mengeluh terkait dengan kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok. Kebijakan dua harga BBM mudah diterapkan di negara maju karena tingkat kesadaran masyarakat juga tinggi. Tingkat kepercayaan (trust) antara masyarakat dan pemerintah terjaga baik, sehingga sekarang ini mulai digeluti bukan saja masalah modal ekonomi melainkan juga modal sosial. 

Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah saat ini cenderung menurun terkait dengan kemerebakan korupsi, yang justru banyak dilakukan pejabat, termasuk politikus. Masyarakat sudah apriori, apapun kebijakan pemerintah selalu berbau KKN, yang hanya menguntungkan kalangan tertentu. Persoalannya, saat ini pemerintah harus mengambil kebijakan dalam situasi yang tidak menguntungkan. Pasalnya, bila menaikkan harga BBM dengan satu harga dibarengi pemberian dana kompensasi untuk kalangan bawah, itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik mengingat pemilu sudah dekat. 

Sebaliknya, menaikkan harga BBM dengan patokan dua harga juga membutuhkan tingkat kesadaran tinggi, dan celakanya tingkat kepercayaan dan kejujuran masyarakat masih perlu  dipertanyakan. Seyogianya, pemerintah dan DPR mengaji rencana kebijakan yang tepat, dengan tingkat kesadaran tinggi.  Setelah itu, perlu kembali mengaji alternatif terbaik kebijakan energi alternatif mengingat bagaimanapun cadangan minyak makin lama makin menipis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar