Kamis, 23 Mei 2013

Demokrasi Meninggalkan Rakyat


Demokrasi Meninggalkan Rakyat
Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 22 Mei 2013


HARI Kebangkitan Nasional yang diperingati awal pekan ini menyisakan pertanyaan, mampukah bangsa ini bangkit dari ketertinggalan? Kasus di pabrik aluminium dan panci di Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa negara kita sejatinya belum bangkit dari mentalitas perbudakan. Begitu pun dengan masifnya kasus korupsi yang tiada henti menyebarkan aroma kemaruk di negeri ini. Api demokrasi yang dibangun 15 tahun melalui gerakan reformasi sepertinya terhalang oleh kabut hitam politik kuasa pementingan diri yang menikam sendi-sendi kenegaraan.

Sekuat apa pun pemerintah berteriak tentang demokrasi, cita-cita ini akan terkulai lemas di hati rakyat jika kesamaan nasib sebagai bangsa kian tercederai perilaku korup yang kian masif. Kini apatisme rakyat terhadap politik dan hukum di berbagai tempat sudah mulai mengarah ke hukum rimba. Dalam teori negara, pemerintahlah yang mengajari rakyat berlaku tertib, santun, antikekerasan. Kenyataannya, negeri ini sudah seperti ‘dolanan’ tempat rakyatnya mengajari pemerintah bagaimana menjadikan kekerasan, saling bunuh, sebagai jalan menyelesaikan persoalan dan perbedaan.

Kebebasan beribadah ditelikung, wibawa hukum kian morat-marit, sementara preman berpakaian sipil, aparat, pejabat, terus bergentayangan. Setara Institute melaporkan ada 264 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama sejak 2012. Menurut The Wahid Institute, terjadi 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama di hampir seluruh provinsi. Jumlah itu lebih banyak daripada kasus serupa yang terjadi di 2011 (267 kasus) dan 2009 (121 kasus).

Kasus perusakan rumah ibadah Ahmadiyah, penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, pembongkaran dinding luar Gereja HKBP Setu Tamansari, Bekasi, maupun berlarut-larutnya kasus yang menimpa GK Yasmin menjadi contoh ketidakmampuan dan ketidaktegasan pemerintah berhadapan dengan berbagai provokasi dan intimidasi kep lompok yang menunggangi l `kebenaran' seolah miliknya sendiri untuk mengguncang hak asasi rakyat. Bahkan dari sekian aksi provokasi, intimidasi, dan perusakan terhadap fasilitas beribadah warga justru dilakukan aparat negara.

Dalam konteks inilah kenapa rakyat memprotes rencana penganugerahan World Statesman kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) oleh The Appeal of Conscience Foundation di New York, AS. Daripada menerima penghargaan tersebut, lebih baik Presiden segera meminta maaf kepada rakyat yang hak-hak meyakini kepercayaannya telah dilukai selama ini, dan segera berjanji untuk menuntaskan kasuskasus penodaan terhadap keyakinan warga, kurang dari setahun ini.

Nasib getir

Masih banyak urusan penting yang lebih membutuhkan perhatian pemerintah, misalnya soal kesenjangan social-ekonomi Indonesia Barat dan Timur yang masih menganga. Padahal spirit nation-state dan kebanggaan sebagai bangsa hanya tumbuh nyata dalam negara jika ada kesamaan nasib (historical experience). Untuk kasus Papua, pemerintah paling banter mengucurkan dana otonomi khusus (otsus) untuk menunjukkan komitmen politik. Padahal dana itu hanya secuil dari hasil kekayaan Papua yang disedot pusat. Dana tersebut tak sampai di tangan rakyat selain masuk ke kantong elite politik, birokrat Papua, maupun pengusaha nonpribumi yang memenangi tender proyek yang sebagian besarnya bersumber dari dana otsus itu.

Akibat kemiskinan yang memicu kecemburuan, konflik dan benih separatis pun terus terpelihara. Pemerintah gagal meresapi kegetiran batin rakyat. Papua selalu bergejolak dalam batas tertentu bisa `dimaklumi' karena tidak turut mewarnai sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tetapi bagaimana dengan Aceh atau daerah lainnya? Ini bukan soal bendera an-sich, melainkan soal bentara negara yang makin kehilangan wibawa karena lebih tunduk pada agen korporasi yang diam-diam mau menodai konstitusi, yang terang-terangan menempel di jidat negeri ini.

Benih-benih konflik sosial pun terus bertebaran karena terpinggirkannya hak-hak tradisional masyarakat adat seperti suku Dayak di Kalimantan, tergusurnya masyarakat adat Huaulu dari Sekenima dan masyarakat adat Seram yang mendiami Pulau Seram oleh mesin pembangunan destruktif pemuja pertumbuhan ekonomi dan pemodal asing.

Menurut Walhi, kasus Mesuji di Bima dan Lampung bukan tidak mungkin merambah ke tempat-tempat lain dari 137 `titik ranjau' konflik agraria yang bakal meledak kapan saja, karena menipisnya penghormatan terhadap hak-hak lingkungan dan keadilan lingkungan (rights to environment and environmental justice).
Dari segi fisik-geografis, Indonesia mungkin masih ada, tetapi secara kedaulatan, dari Sabang sampai Merauke sudah dikaveling raksasa-raksasa ekonomi multinasional. Bahkan Bali ibaratnya sudah menjadi ‘negara bagian’ ke-9 Australia karena perusahaan-perusahaan yang memproduksi budaya kreatif setempat sudah diambil alih perusahaan-perusahaan Australia. Maka ramalan McKinsey Global Institute bahwa Indonesia juara dunia ekonomi pada 2035 hanyalah ilusi kosong yang memuji-muji kita.
Tragisnya, elite-elite politik dan birokrasi masih juga asyik mengutamakan kepentingan diri/kelompok.

Saatnya bangkit

Lima tahun sebenarnya waktu yang cukup untuk membenahi fondasi pemerintahan yang sakit. Apa dikata, pemerintah di kabinet lebih tergoda membagi ‘kue donat’ kekuasaan demi memuaskan syahwat politiknya.
Urusan pendidikan yang vital sifatnya bagi masa depan bangsa diurus dengan mental proyek titipan sana-sini. Terciptalah sinetron ujian nasional yang gaduh dan cacat dengan iklan permohonan maaf dan cuci tangan menteri. Terakhir, bau amis korupsi terkait penggelembungan dana APBN-P sebesar Rp700 miliar mulai menyeruak di Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.

Di sisi lain, wakil rakyat tak pernah henti-hentinya menabung kegemarannya berpelesir dan menggangsir uang rakyat ketimbang `berdarah-darah' menjalankan fungsi legislasi dan pengawasannya. Bahkan pada 2013 ini bakal terjadi kenaikan anggaran pelesiran DPR sebesar 77% jika dibandingkan 2012.

Sementara anggaran ke luar negeri dewan naik dari Rp139 miliar menjadi Rp248 miliar (Editorial MI, 18/5). Ironisnya, meskipun bobot kehadiran di ruang sidang dan target legislasi selalu kedodoran, 90% lebih dari total anggota DPR itu kembali mencalonkan diri di Pemilu 2014. Artinya wajahwajah baru legislator dengan kompetensi meyakinkan kian sulit diwujudkan, apalagi jika di antara wajah baru itu diisi para pesohor yang direkrut secara terburu-buru oleh partai sambil mencampakkan jejak pengalaman dan integritasnya.

Karena sudah ditinggalkan oleh demokrasi semu selama 15 tahun, saatnya rakyat mengganjal kehadiran politisi bermasalah dengan tidak memilih mereka lagi lewat nasionalisasi gerakan antipolitisi busuk. Rakyat harus memilih politisi yang tidak terstigma korup serta memiliki visi jernih menyelamatkan konstitusi yang sekarat. Hanya dengan begitu, kebangkitan politik sebagai landasan untuk membangkitkan negeri ini dari kubur keterpurukannya bisa terwujud. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar