|
HUKUM selalu tampil sebagai janji
tentang kesetaraan dan keadilan. Esensi dari tatanan hukum adalah jaminan untuk
mensterilkan kekerasan dan pemaksaan dalam tata kehidupan bersama. Namun, dalam
praktiknya, negara sering menghadapi keadaan luar biasa, mendesak atau darurat
yang menjadi alasan untuk pemberlakuan hukum secara parsial, inkonsisten,
bahkan bertolak belakang dengan esensi dasarnya.
Alih-alih menciptakan keadil an, hukum dalam penegakannya
justru sering membiarkan diskriminasi dan kekerasan oleh aparat ataupun
kelompok-kelompok dominan. Hukum tidak secara konsisten menjamin hak dan
kebebasan warga negara, dan tanpa banyak disadari telah melahirkan fenomena homo sacer. Orang-orang yang terikat
untuk menaati hukum, terintegrasi ke dalam tatanan, tetapi selalu luput dari
perlindungan hukum. Warga negara yang kehilangan esensi kewarganegaraan karena
senantiasa terpapar aksi kekerasan kelompok-kelompok yang lebih kuat tanpa
keseriusan negara untuk mencegahnya. Hukum sering menangguhkan dirinya ketika
dibutuhkan kaum yang lemah dan telantar.
Pemikiran inilah yang kurang lebih
mendasari reaksi penolakan rohaniwan dan guru besar filsafat Franz Magnis
Suseno terhadap rencana Appeal of
Conscience Foundation (ACF) memberi penghargaan kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono atas keberhasilan menciptakan toleransi beragama di
Indonesia. Di dalam suratnya kepada ACF yang kemudian tersebar ke berbagai
kalangan, Magnis Suseno menganggap rencana ini justru melemahkan reputasi ACF
karena tidak sungguh-sungguh mempertimbangkan situasi nyata di Indonesia.
Hukum dan kekerasan
Magnis Suseno secara gamblang
menyebut kenyataan sulitnya umat Kristen di Indonesia untuk mendapatkan izin
pembangunan rumah ibadah, meningkatnya frekuensi penutupan paksa terhadap
gerejagereja, munculnya berbagai peraturan yang mempersulit kaum minoritas
untuk beribadah, serta aneka tindakan intoleransi di tingkat akar rumput. Magnis
Suseno mempersoalkan kekerasan yang terus dibiarkan terjadi terhadap kelompok
yang dianggap sesat atau menyimpang. Selama 8,5 tahun belakangan, pemerintah
juga dianggapnya telah menghindari tanggung jawab atas meningkatnya kekerasan
terhadap jemaat Ahmadiyah dan Syiah di berbagai tempat.
Magnis Suseno mempertanyakan
motivasi ACF memberikan penghargaan kepada Presiden SBY, yang menurutnya telah
gagal menunjukkan ketegasan dalam melindungi kaum minoritas dan menindak
kelompok-kelompok yang menyebarkan sikap intoleran dengan kekerasan.
Kekerasan dan ketidakadilan sebagaimana disebutkan Magnis
Suseno, di satu sisi menunjukkan absennya hukum ketika dibutuhkan untuk
melindungi orangorang tertindas. Kekerasan dan ketidakadilan itu jelas masuk kategori
pelanggaran hukum. Namun, di saat yang sama, hukum juga mendasari kekerasan dan
ketidakadilan itu. Hal ini terjadi ketika pemerintah secara paksa merelokasi
permukiman kaum minoritas dengan dalih keamanan dan ketertiban, ketika ne gara
memberikan impunitas kepada para pelaku kekerasan terhadap kelompok minoritas
dengan alasan untuk menghindari gejolak yang lebih luas, atau ketika muncul peraturan
yang secara resmi membatasi kebebasan beribadah kelompok minoritas.
Maka yang kita hadapi di sini adalah sebentuk paradoks. Di
negeri yang konon meletakkan kedaulatan hukum di atas segalanya ini, hukum
ternyata tidak selalu menjadi antitesis dari kekerasan. Hukum dan kekerasan
bahkan memasuki zona indistingsi ketika kekerasan menyusup ke dalam tata kehidupan
yang berlandaskan hukum dan sebaliknya pertimbangan hukum juga melandasi
pembenaran tindakan kekerasan. Meminjam istilah Giorgio Agamben, hukum dalam
kenyataannya berlaku melalui mekanisme-mekanisme penangguhan hukum (state of exception) sehingga tidak
secara konsisten menghasilkan kepastian tentang hak dan kebebasan.
Kedaulatan hukum dapat dikompromikan ketika pemerintah
menghadapi tekanan-tekanan politis. Hukum secara gegabah juga diberlakukan
secara utilitaristik melalui tindakan-tindakan pengusiran kelompok minoritas
guna menyenangkan kelompok mayoritas tanpa mengindahkan asas keadilan dan
kesetaraan.
Krisis kewarganegaraan
Paradoks berikutnya adalah bahwa di negeri yang katanya
ber-Bhinneka Tunggal Ika, tetapi masih ada kelompok masyarakat yang direndahkan
martabatnya gara-gara kepercayaan yang mereka anut. Selama kepemimpinan
Presiden SBY, negara kurang lebih telah menggunakan standar ganda terhadap
masalah kepercayaan beragama. Perlakuan yang diskriminatif ini bukan hanya
mereproduksi kekerasan bernuansa agama, tetapi juga menyebabkan krisis status
kewarganegaraan.
Kelompok-kelompok minoritas itu notabene adalah pemegang
kartu tanda penduduk, mempunyai kartu keluarga dan pembayar pajak. Tidak ada
keanehan dalam hal ini dan mereka adalah warga negara pada umumnya. Namun,
esensi kewarganegaraan itu menjadi pudar ketika negara tidak benar-benar hadir
melindungi mereka dari tindakan kekerasan dan penyerobotan hak. Perlakuan
terhadap sebagian kelompok minoritas bahkan sering lebih buruk daripada
perlakuan terhadap para pengungsi dan pencari suaka politik.
Dalam kondisi-kondisi yang ekstrem, mereka sungguh
menggambarkan figur homo sacer dalam khazanah hukum Romawi kuno, yakni
orangorang yang dimasukkan ke tatanan hukum namun dikeluarkan dari konteks
perlindungan hukum ketika kekerasan terjadi. Mereka harus patuh kepada negara,
tanpa mendapatkan manfaat dari kepatuhan itu. Mereka setiap saat dapat menjadi
sasaran kekerasan di mana para pelakunya tidak serta-merta dikategorikan
sebagai pelanggar hukum, dan kekerasan yang terjadi juga tidak otomatis
dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Mereka adalah orang-orang yang
telantar di negeri sendiri, tanpa kepastian tentang hakhak kewarganegaraan.
Ironi tentang orang-orang telantar di negeri sendiri yang menjadi
sumber keprihatinan pihak-pihak yang mempertanyakan rencana penghargaan ACF
itu. Bukan berarti mereka tidak bangga terhadap presidennya yang hendak
mendapatkan pengakuan dunia internasional. Jika pun penghargaan itu akhirnya
tetap diberikan, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Intinya adalah SBY
harus benar-benar layak untuk mendapatkan penghargaan itu. Masih ada waktu yang
tersisa untuk sungguh-sungguh membuktikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar