|
Tahun ini, soal kandidasi kursi eksekutif mungkin lebih
menarik daripada kursi legislatif karena dua alasan. Pertama, panggung pilpres
2014 adalah panggung terbuka karena secara konstitusional petahana kini absen,
berbeda dengan 2004 (petahana Megawati) dan 2009 (petahana SBY). Kedua, nalar
konstitusi Indonesia yang presidensial mengakibatkan jabatan presiden sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi sangat kuat dan sekaligus nikmat
untuk diperebutkan.
Namun, baik kursi kandidat legislator maupun kursi kandidat
presiden sebenarnya berada di bawah kendali shadow
party (partai bayangan)-meminjam istilah David Horowitz, The Shadow Party (2006)-yang dipegang
para orang kuat dan orang penting yang tak terlihat. Fakta politik kita
menunjukkan bahwa 6.576 calon legislator sementara ditentukan oleh para orang
kuat bersama tim yang bentukannya di masing-masing 12 partai peserta Pemilu
2014.
Salah satu hasilnya, ragam caleg dari artis, para
kiai-ustad, pasutri, hingga tersangka masuk ke DCS yang secara administratif 70
persen gagal (4.701 caleg). Demikian juga capres 2014, sebising apa pun lembaga
survei bersahutan menyodorkan nama, capres yang tercantum dalam surat suara
tetap berada di bawah restu bapak dan restu ibu. Para orang kuat inilah yang
menjelma menjadi shadow party, yang
otoritas dan nalar kerja sesungguhnya ada di balik lambang-bendera dan AD/ART
partai.
Partai bayangan terjadi akibat genggaman determinasi
keputusan/kebijakan yang kuat oleh para veto
player. Hal ini menjelaskan bahwa organisasi partai di Indonesia adalah
bentuk pelembagaan kepentingan personal dan kelompok. Para orang kuat mampu
meyakinkan publik dengan mengadaptasikan diri melalui pembentukan partai secara
konstitusional. Hal inilah yang menjelaskan instruksi SMS via handphone bisa
sejajar dengan SK Partai berstempel.
Elaborasi riwayat pemilu sejak 1999 dan kajian survei
perilaku memilih publik sejak 2002 (Saiful Mujani dkk, 2011) secara implisit
mengisahkan bahwa publik Indonesia secara kumulatif seolah mempunyai otoritas
untuk memilih pemimpin republik sekaligus yang mewakilinya. Namun secara
faktual, pilihan-pilihan di surat suara-setelah berlakunya sistem proporsional
terbuka pada 2004-berada di luar jangkauan publik. Hal inilah yang menjelaskan
mekanisme demokrasi elektoral di negeri ini berjalan dalam dua lapis.
Lapis pertama adalah seleksi elite (elite selection), sedangkan lapis kedua adalah pilihan publik (public election). Artinya, ada selection
yang selalu mendahului election.
Dalam selection inilah partai
bayangan bekerja karena tak tertangkap mata publik.
Di dalam elite selection ini, politik Indonesia
post-Soeharto mengenal tiga bentuk. Pertama adalah seleksi institusional.
Bentuk paling mudah untuk menjelaskan seleksi institusional adalah penambahan
otoritas partai politik yang sudah direkayasa (baca: amendemen) via konstitusi,
atau seperti tingginya threshold via
undang-undang. Hal inilah yang menjelaskan figur-figur dengan kepantasan tinggi
tereliminasi akibat tidak kompatibel dengan kekuatan partai atau tak berpartai.
Kedua, seleksi kultural. Seleksi ini menjadi bentuk paling
khas dalam seleksi elite di Indonesia karena manifestasi konkret seleksi adalah
relasi patron-client dan despotisme
kepartaian seperti terjadi pada PDIP, dan Megawati berperan penuh dalam
regenerasi kepemimpinan setelahnya, atau SBY yang didapuk memegang kendali
fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus di PD. Atau terdapat
Ketua Dewan Syuro di PKS dan PBB, yang secara struktural tidak terlibat day-to-day politics, tapi secara
kultural memegang otoritas tertinggi dalam kebijakan dan keputusan strategis
partai.
Ketiga, transaksional. Bentuk seleksi transaksional tampak
terjadi pada proses kandidasi caleg, yaitu tahapan seseorang untuk masuk di DCS
partai. Seleksi transaksional juga terjadi pada alokasi kuota pencalonan bagi
calon non-kader, hingga menyebabkan calon legislator ganda di dua dapil bahkan
di dua partai politik berbeda.
Namun sekali lagi, tiga bentuk seleksi ini menjelma dalam
partai bayangan yang dikendalikan oleh para orang kuat pemegang kuasa veto.
Sebagai misal, partai bayangan dikendalikan oleh para veto players yang agak tampak seperti Megawati di PDIP, Wiranto di
Hanura, Prabowo di Gerindra, atau SBY di Demokrat, dan tim yang tak tampak
seperti pengusaha-pendana dan para ahli. Mereka mempunyai spektrum determinasi
pengaruhnya masing-masing. Ada yang berada di lajur paling kanan layaknya
logika warlordisme dengan otoritas
total yang direktif bagai panglima, ada yang di tengah dengan pertarungan
modalitas kuasa (harta dan takhta struktural sebagai ketua partai), dan ada
yang di paling pojok yang berfungsi secara simbolik dan kultural.
Sedangkan para orang kuat itu mempunyai tiga perwajahan
yang berbeda, yaitu pemodal, komunal, dan struktural. Perwajahan pemodal adalah
yang mempunyai kapasitas sumber daya dana yang paling maksimal. Hal ini
barangkali yang menjelaskan partai bayangan di Hanura tidak lagi hanya dikendalikan
Wiranto seorang, tapi juga oleh Hary Tanoe.
Perwajahan kedua adalah mereka yang membangun relasi
perkoncoan. Relasi perwajahan ini akan menciptakan cara-cara kompetisi yang
tribalistik. Seperti sistem suku yang menggunakan nalar penciptaan, penjagaan,
dan pertahanan harta secara bersama. Sedangkan yang paling umum adalah dia yang
memegang jabatan struktural di dalam kelembagaan partai sebagai perwajahan
struktural, seperti ketua umum partai di beberapa partai mediocre.
Partai bayangan terletak pada figur yang menentukan
struktur, bukan struktur yang memberi kuasa pada figur. Golkar, PDIP, dan
Gerindra adalah partai yang paling mapan untuk melakukan konsolidasi politik
menuju pencapresan karena pada dasarnya kekuatan partai bayangan tidak mengenal
makna terminologis struktur ketua umum dan ketua dewan pembina. Terminologi
organisasional itu hanya soal ketentuan regulatif kepesertaan pemilu seperti
SBY sebagai "ketum plus-plus" pada hasil KLB PD akibat administrasi
pemilu dan konstelasi faksi. Atau, sekuat apa pun wacana konvensi capres di PD,
model mekanisme dan orang yang terpilih akhirnya tetap berpotensi menghasilkan
kandidat sesuai dengan restu (para) Bapak karena tentu SBY juga berkepentingan
terhadap orang yang akan melanjutkan kekuasaannya.
Walhasil, stabilitas pemilu memperkuat kuasa para orang
kuat ini. Semakin mapan pemilu diselenggarakan, akan semakin stabil partai
bayangan bekerja karena tak terjangkau publik dan kontestasi rutin yang berlaku
prediktif. Kondisi ini memaksa Indonesia berada dalam kondisi res-elite (bukan res-publica) akibat kepentingan yang
terkonsolidasi tanpa publik, hanya ruling
elite.
Adapun publik-pemilih adalah legitimator atau pengabsahan
konstitusional yang tersimplifikasi dalam jumlah suara pemilu. Akhirnya publik
bagai menerka ayam di dalam telur yang belum juga ditetaskan induknya. Artinya,
demokrasi kita sebenarnya baru menyuruh rakyat untuk menentukan, bukan untuk
memilih. Hasilnya, orang-orang bermasalah tetap kembali diusung, dipertahankan,
dan bahkan dibela. Lantas, apakah publik mampu membongkar hasil kerja partai
bayangan oleh para orang kuat ini? Semoga pemilu 2014 mampu menjawabnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar