Kamis, 23 Mei 2013

Membongkar Partai Bayangan


Membongkar Partai Bayangan
Arya Budi  ;  Manajer Riset Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 22 Mei 2013

Tahun ini, soal kandidasi kursi eksekutif mungkin lebih menarik daripada kursi legislatif karena dua alasan. Pertama, panggung pilpres 2014 adalah panggung terbuka karena secara konstitusional petahana kini absen, berbeda dengan 2004 (petahana Megawati) dan 2009 (petahana SBY). Kedua, nalar konstitusi Indonesia yang presidensial mengakibatkan jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi sangat kuat dan sekaligus nikmat untuk diperebutkan.
Namun, baik kursi kandidat legislator maupun kursi kandidat presiden sebenarnya berada di bawah kendali shadow party (partai bayangan)-meminjam istilah David Horowitz, The Shadow Party (2006)-yang dipegang para orang kuat dan orang penting yang tak terlihat. Fakta politik kita menunjukkan bahwa 6.576 calon legislator sementara ditentukan oleh para orang kuat bersama tim yang bentukannya di masing-masing 12 partai peserta Pemilu 2014.
Salah satu hasilnya, ragam caleg dari artis, para kiai-ustad, pasutri, hingga tersangka masuk ke DCS yang secara administratif 70 persen gagal (4.701 caleg). Demikian juga capres 2014, sebising apa pun lembaga survei bersahutan menyodorkan nama, capres yang tercantum dalam surat suara tetap berada di bawah restu bapak dan restu ibu. Para orang kuat inilah yang menjelma menjadi shadow party, yang otoritas dan nalar kerja sesungguhnya ada di balik lambang-bendera dan AD/ART partai.
Partai bayangan terjadi akibat genggaman determinasi keputusan/kebijakan yang kuat oleh para veto player. Hal ini menjelaskan bahwa organisasi partai di Indonesia adalah bentuk pelembagaan kepentingan personal dan kelompok. Para orang kuat mampu meyakinkan publik dengan mengadaptasikan diri melalui pembentukan partai secara konstitusional. Hal inilah yang menjelaskan instruksi SMS via handphone bisa sejajar dengan SK Partai berstempel.
Elaborasi riwayat pemilu sejak 1999 dan kajian survei perilaku memilih publik sejak 2002 (Saiful Mujani dkk, 2011) secara implisit mengisahkan bahwa publik Indonesia secara kumulatif seolah mempunyai otoritas untuk memilih pemimpin republik sekaligus yang mewakilinya. Namun secara faktual, pilihan-pilihan di surat suara-setelah berlakunya sistem proporsional terbuka pada 2004-berada di luar jangkauan publik. Hal inilah yang menjelaskan mekanisme demokrasi elektoral di negeri ini berjalan dalam dua lapis.
Lapis pertama adalah seleksi elite (elite selection), sedangkan lapis kedua adalah pilihan publik (public election). Artinya, ada selection yang selalu mendahului election. Dalam selection inilah partai bayangan bekerja karena tak tertangkap mata publik.
Di dalam elite selection ini, politik Indonesia post-Soeharto mengenal tiga bentuk. Pertama adalah seleksi institusional. Bentuk paling mudah untuk menjelaskan seleksi institusional adalah penambahan otoritas partai politik yang sudah direkayasa (baca: amendemen) via konstitusi, atau seperti tingginya threshold via undang-undang. Hal inilah yang menjelaskan figur-figur dengan kepantasan tinggi tereliminasi akibat tidak kompatibel dengan kekuatan partai atau tak berpartai.
Kedua, seleksi kultural. Seleksi ini menjadi bentuk paling khas dalam seleksi elite di Indonesia karena manifestasi konkret seleksi adalah relasi patron-client dan despotisme kepartaian seperti terjadi pada PDIP, dan Megawati berperan penuh dalam regenerasi kepemimpinan setelahnya, atau SBY yang didapuk memegang kendali fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus di PD. Atau terdapat Ketua Dewan Syuro di PKS dan PBB, yang secara struktural tidak terlibat day-to-day politics, tapi secara kultural memegang otoritas tertinggi dalam kebijakan dan keputusan strategis partai.
Ketiga, transaksional. Bentuk seleksi transaksional tampak terjadi pada proses kandidasi caleg, yaitu tahapan seseorang untuk masuk di DCS partai. Seleksi transaksional juga terjadi pada alokasi kuota pencalonan bagi calon non-kader, hingga menyebabkan calon legislator ganda di dua dapil bahkan di dua partai politik berbeda.
Namun sekali lagi, tiga bentuk seleksi ini menjelma dalam partai bayangan yang dikendalikan oleh para orang kuat pemegang kuasa veto. Sebagai misal, partai bayangan dikendalikan oleh para veto players yang agak tampak seperti Megawati di PDIP, Wiranto di Hanura, Prabowo di Gerindra, atau SBY di Demokrat, dan tim yang tak tampak seperti pengusaha-pendana dan para ahli. Mereka mempunyai spektrum determinasi pengaruhnya masing-masing. Ada yang berada di lajur paling kanan layaknya logika warlordisme dengan otoritas total yang direktif bagai panglima, ada yang di tengah dengan pertarungan modalitas kuasa (harta dan takhta struktural sebagai ketua partai), dan ada yang di paling pojok yang berfungsi secara simbolik dan kultural.
Sedangkan para orang kuat itu mempunyai tiga perwajahan yang berbeda, yaitu pemodal, komunal, dan struktural. Perwajahan pemodal adalah yang mempunyai kapasitas sumber daya dana yang paling maksimal. Hal ini barangkali yang menjelaskan partai bayangan di Hanura tidak lagi hanya dikendalikan Wiranto seorang, tapi juga oleh Hary Tanoe. 
Perwajahan kedua adalah mereka yang membangun relasi perkoncoan. Relasi perwajahan ini akan menciptakan cara-cara kompetisi yang tribalistik. Seperti sistem suku yang menggunakan nalar penciptaan, penjagaan, dan pertahanan harta secara bersama. Sedangkan yang paling umum adalah dia yang memegang jabatan struktural di dalam kelembagaan partai sebagai perwajahan struktural, seperti ketua umum partai di beberapa partai mediocre.
Partai bayangan terletak pada figur yang menentukan struktur, bukan struktur yang memberi kuasa pada figur. Golkar, PDIP, dan Gerindra adalah partai yang paling mapan untuk melakukan konsolidasi politik menuju pencapresan karena pada dasarnya kekuatan partai bayangan tidak mengenal makna terminologis struktur ketua umum dan ketua dewan pembina. Terminologi organisasional itu hanya soal ketentuan regulatif kepesertaan pemilu seperti SBY sebagai "ketum plus-plus" pada hasil KLB PD akibat administrasi pemilu dan konstelasi faksi. Atau, sekuat apa pun wacana konvensi capres di PD, model mekanisme dan orang yang terpilih akhirnya tetap berpotensi menghasilkan kandidat sesuai dengan restu (para) Bapak karena tentu SBY juga berkepentingan terhadap orang yang akan melanjutkan kekuasaannya. 
Walhasil, stabilitas pemilu memperkuat kuasa para orang kuat ini. Semakin mapan pemilu diselenggarakan, akan semakin stabil partai bayangan bekerja karena tak terjangkau publik dan kontestasi rutin yang berlaku prediktif. Kondisi ini memaksa Indonesia berada dalam kondisi res-elite (bukan res-publica) akibat kepentingan yang terkonsolidasi tanpa publik, hanya ruling elite.
Adapun publik-pemilih adalah legitimator atau pengabsahan konstitusional yang tersimplifikasi dalam jumlah suara pemilu. Akhirnya publik bagai menerka ayam di dalam telur yang belum juga ditetaskan induknya. Artinya, demokrasi kita sebenarnya baru menyuruh rakyat untuk menentukan, bukan untuk memilih. Hasilnya, orang-orang bermasalah tetap kembali diusung, dipertahankan, dan bahkan dibela. Lantas, apakah publik mampu membongkar hasil kerja partai bayangan oleh para orang kuat ini? Semoga pemilu 2014 mampu menjawabnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar