Kamis, 16 Mei 2013

Dari Jalanan ke Parlemen


Dari Jalanan ke Parlemen
Rakhmat Hidayat ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi Universite Lumiere Lyon 2 Prancis 
REPUBLIKA, 15 Mei 2013

Sudah 15 tahun reformasi berjalan seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Reformasi mengantarkan gerakan mahasiswa sebagai garda depan lahirnya proses transisi demokrasi. Gerakan mahasiswa dalam proses reformasi tersebut melahirkan aktivis reformasi yang lazim dikenal dengan aktivis 1998.
Pascareformasi seiring dengan lahirnya proses transisi politik memungkinkan aktivis 1998 berjuang lebih sistematis dan terstruktur dalam partai politik yang lebih terbuka dibandingkan dengan era Orde Baru. Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama produk reformasi adalah tonggak pertama keterlibatan masuknya beberapa aktivis 1998 dalam politik di Indonesia. 

Jika ditelusuri, aktivis 1998 yang berada di garda depan reformasi memiliki beberapa kategori. Pertama, mereka adalah tokoh mahasiswa yang memimpin dan terlibat dalam organisasi intra kemahasiswaan di kampusnya, seperti senat mahasiswa. Nama-nama seperti Rama Pratama yang merupakan ketua Senat Mahasiswa UI atau Sarbini (Sema Universitas 17 Agustus 1945).

Kedua, aktivis 1998 yang berafiliasi dengan organisasi ekstrakampus seperti HMI, KAMMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM. Nama Anas Urbaningrum dan Fahri Hamzah berada pada kategori ini. Keduanya ketika itu sama-sama menjadi ketua umumnya. 

Ketiga, aktivis yang tidak berada pada dua kategori sebelumnya dan berada pada gerakan-gerakan yang sering disebut gerakan ekstraparlementer. Sebagian juga menyebutnya dengan "gerakan jalanan" karena lebih mengedepankan aksi jalanan dan demonstrasi sebagai determinasi gerakan mereka. Kategori ketiga ini gerakannya lebih cair, tidak terstruktur, lebih ideologis, dan tentu saja lebih radikal dibandingkan dengan dua kategori lainnya. 

Kelemahan mereka tidak memiliki jaringan yang solid hingga ke berbagai daerah dan seringkali aksi mereka bersporadis. Kategori ini antara lain terdapat di organisasi seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dengan tokohnya Andi Arif dan juga keberadaan Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah ikon kekuatan gerakan ini. Nama Budiman Sudjatmiko, Harris Ruslimoti, atau Dita Indah Sari adalah tokoh-tokoh di balik solidnya gerakan ini. 

Pascareformasi, masuknya beberapa aktivis 1998 ke dalam parpol kemudian menjadi anggota DPR melahirkan banyak kecaman dan kritik karena dianggap sudah luntur idealisme perjuangan mereka sebagaimana mereka miliki ketika gerak an reformasi. Ketika itu terjadi pro dan kontra aktivis 1998 yang masuk partai.
Pemikiran yang pertama mengacu kepada penjelasan sudah hilangnya idealisme dan konsistensi aktivis 1998. Mereka dianggap terjebak dalam godaan politik yang bisa menghilangkan idealisme. Mereka yang masuk ke dalam partai politik dianggap sebagai pengkhianat perjuangan reformasi. 
Kelompok kedua yang memiliki pemikiran perjuangan jalanan di luar sistem dirasakan tidak efektif dalam melahirkan berbagai kebijakan pro rakyat.
Mereka menganggap harus masuk dalam sistem untuk mengartikulasikan idealisme mereka dalam melahirkan kebijakan pro rakyat. Partai politik adalah satu-satunya mekanisme demokratis yang mampu membawa mereka dalam sistem politik di Indonesia. 

Politisi dan anggota parlemen yang merupakan "alumni" aktivis 1998 tentu memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya antara lain mereka memiliki rekam jejak yang baik dalam pentas politik nasional. Secara personal, mereka juga memiliki kemampuan dan idealisme dalam merespons isu-isu nasional. Mereka sudah terasah ketika mahasiswa dalam merespons berbagai isu sosial-politik hingga puncaknya dalam merespons perubahan rezim politik di Indonesia. 

Kemampuan ini rasanya sudah teruji di lapangan ketika mereka berkonsolidasi dalam berbagai gerakan melawan rezim Soeharto. Mereka juga memiliki kemampuan membangun dan memobilisasi jaringan dengan berbagai organ/ elemen lainnya. Aktivis 1998 terkonsolidasikan karena mereka memiliki jaringan yang sangat tertata baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Hampir semua aktor reformasi seperti dalam tiga kategori di atas memiliki jaringan yang menyebar hingga daerah, khususnya gerakan-gerakan mahasiswa ekstrakampus. 

Kemampuan jaringan dan mobilisasi ini mutlak dimiliki oleh anggota legislatif. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada kendala finansial yang minim. Ini berbeda dengan calon legislatif yang memang berlatar belakang pengusaha yang memiliki kemampuan finansial lebih. Meski ini menjadi kelemahan, bukan berarti menjadi masalah serius bagi aktivis 1998.

Menjelang Pemilu 2014 seiring de-meningkatnya kuantitas aktivis 1998 dalam persebaran partai politik menunjukkan pertentangan pemikiran sebagaimana terjadi di awal reformasi sudah berakhir. Mereka sudah ramai-ramai secara berjamaah masuk partai politik untuk mendinamiskan dan memperkuat fungsi parlemen. Ini adalah kesadaran politik yang mereka terima dalam proses perjalanan reformasi. Tak ada yang salah dengan pilihan politik mereka. Mereka harus mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam kapasitasnya kelak sebagai wakil rakyat. 

Perjuangan mereka hanya pindah arena. Jika dulu mereka tersebar di jalanan, maka kini mereka akan berada di Senayan secara lebih elegan dan terhormat.
Tentu dengan komitmen memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memperjuangkan kepentingan pribadi atau kepentingan partai politik semata.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar