|
REPUBLIKA,
15 Mei 2013
Sudah 15
tahun reformasi berjalan seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Reformasi
mengantarkan gerakan mahasiswa sebagai garda depan lahirnya proses transisi
demokrasi. Gerakan mahasiswa dalam proses reformasi tersebut melahirkan aktivis
reformasi yang lazim dikenal dengan aktivis 1998.
Pascareformasi seiring dengan lahirnya proses transisi politik memungkinkan
aktivis 1998 berjuang lebih sistematis dan terstruktur dalam partai politik
yang lebih terbuka dibandingkan dengan era Orde Baru. Pemilu 1999 sebagai
pemilu pertama produk reformasi adalah tonggak pertama keterlibatan masuknya beberapa
aktivis 1998 dalam politik di Indonesia.
Jika
ditelusuri, aktivis 1998 yang berada di garda depan reformasi memiliki beberapa
kategori. Pertama, mereka adalah tokoh mahasiswa yang memimpin dan terlibat
dalam organisasi intra kemahasiswaan di kampusnya, seperti senat mahasiswa.
Nama-nama seperti Rama Pratama yang merupakan ketua Senat Mahasiswa UI atau
Sarbini (Sema Universitas 17 Agustus 1945).
Kedua,
aktivis 1998 yang berafiliasi dengan organisasi ekstrakampus seperti HMI,
KAMMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM. Nama Anas Urbaningrum dan Fahri Hamzah
berada pada kategori ini. Keduanya ketika itu sama-sama menjadi ketua umumnya.
Ketiga,
aktivis yang tidak berada pada dua kategori sebelumnya dan berada pada gerakan-gerakan
yang sering disebut gerakan ekstraparlementer. Sebagian juga menyebutnya dengan
"gerakan jalanan" karena lebih mengedepankan aksi jalanan dan
demonstrasi sebagai determinasi gerakan mereka. Kategori ketiga ini gerakannya
lebih cair, tidak terstruktur, lebih ideologis, dan tentu saja lebih radikal
dibandingkan dengan dua kategori lainnya.
Kelemahan
mereka tidak memiliki jaringan yang solid hingga ke berbagai daerah dan
seringkali aksi mereka bersporadis. Kategori ini antara lain terdapat di
organisasi seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID)
dengan tokohnya Andi Arif dan juga keberadaan Partai Rakyat Demokratik (PRD)
adalah ikon kekuatan gerakan ini. Nama Budiman Sudjatmiko, Harris Ruslimoti,
atau Dita Indah Sari adalah tokoh-tokoh di balik solidnya gerakan ini.
Pascareformasi,
masuknya beberapa aktivis 1998 ke dalam parpol kemudian menjadi anggota DPR
melahirkan banyak kecaman dan kritik karena dianggap sudah luntur idealisme
perjuangan mereka sebagaimana mereka miliki ketika gerak an reformasi. Ketika
itu terjadi pro dan kontra aktivis 1998 yang masuk partai.
Pemikiran yang pertama mengacu kepada penjelasan sudah hilangnya idealisme dan
konsistensi aktivis 1998. Mereka dianggap terjebak dalam godaan politik yang
bisa menghilangkan idealisme. Mereka yang masuk ke dalam partai politik dianggap
sebagai pengkhianat perjuangan reformasi.
Kelompok
kedua yang memiliki pemikiran perjuangan jalanan di luar sistem dirasakan tidak
efektif dalam melahirkan berbagai kebijakan pro rakyat.
Mereka menganggap harus masuk dalam sistem untuk mengartikulasikan idealisme
mereka dalam melahirkan kebijakan pro rakyat. Partai politik adalah satu-satunya
mekanisme demokratis yang mampu membawa mereka dalam sistem politik di
Indonesia.
Politisi
dan anggota parlemen yang merupakan "alumni" aktivis 1998 tentu
memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya antara lain mereka memiliki
rekam jejak yang baik dalam pentas politik nasional. Secara personal, mereka
juga memiliki kemampuan dan idealisme dalam merespons isu-isu nasional. Mereka
sudah terasah ketika mahasiswa dalam merespons berbagai isu sosial-politik
hingga puncaknya dalam merespons perubahan rezim politik di Indonesia.
Kemampuan
ini rasanya sudah teruji di lapangan ketika mereka berkonsolidasi dalam
berbagai gerakan melawan rezim Soeharto. Mereka juga memiliki kemampuan
membangun dan memobilisasi jaringan dengan berbagai organ/ elemen lainnya.
Aktivis 1998 terkonsolidasikan karena mereka memiliki jaringan yang sangat
tertata baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Hampir semua aktor reformasi
seperti dalam tiga kategori di atas memiliki jaringan yang menyebar hingga daerah,
khususnya gerakan-gerakan mahasiswa ekstrakampus.
Kemampuan
jaringan dan mobilisasi ini mutlak dimiliki oleh anggota legislatif. Di sisi
lain, mereka dihadapkan pada kendala finansial yang minim. Ini berbeda dengan
calon legislatif yang memang berlatar belakang pengusaha yang memiliki kemampuan
finansial lebih. Meski ini menjadi kelemahan, bukan berarti menjadi masalah
serius bagi aktivis 1998.
Menjelang
Pemilu 2014 seiring de-meningkatnya kuantitas aktivis 1998 dalam persebaran
partai politik menunjukkan pertentangan pemikiran sebagaimana terjadi di awal
reformasi sudah berakhir. Mereka sudah ramai-ramai secara berjamaah masuk
partai politik untuk mendinamiskan dan memperkuat fungsi parlemen. Ini
adalah kesadaran politik yang mereka terima dalam proses perjalanan reformasi.
Tak ada yang salah dengan pilihan politik mereka. Mereka harus mengartikulasikan
kepentingan rakyat dalam kapasitasnya kelak sebagai wakil rakyat.
Perjuangan
mereka hanya pindah arena. Jika dulu mereka tersebar di jalanan, maka kini
mereka akan berada di Senayan secara lebih elegan dan terhormat.
Tentu dengan komitmen memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memperjuangkan
kepentingan pribadi atau kepentingan partai politik semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar