|
KOMPAS,
16 Mei 2013
Beberapa minggu terakhir, wacana kenaikan
harga bahan bakar minyak dan menteri yang mencalonkan sebagai anggota
legislatif menghiasi wajah berbagai media. Menjelang kontestasi Pemilu 2014,
kedua isu ini memiliki keterkaitan yang kuat.
Dalam literatur politik ekonomi, kajian yang
mengaitkan siklus pemilu dengan kebijakan fiskal dikenal sebagai political
budget cycles (PBCs). Dalam kaitan ini, sudah menjadi fenomena umum petahana
kerap menggunakan instrumen kebijakan anggaran menjelang pemilu untuk
mendongkrak keterpilihannya kembali (Roggof, 1990).
Politisasi anggaran menjelang pemilu hadir
melalui berbagai bentuk. Sebutlah seperti perubahan pola pada struktur anggaran
secara agregat ataupun spesifik.
Manipulasi fiskal
Menjelang pemilu, penerimaan anggaran akan
cenderung menurun dan belanja meningkat dengan diikuti defisit yang besar.
Secara khusus, kenaikan belanja-belanja sosial dan yang bersifat ekspansi
ekonomi juga sebagai penanda eksistensi PBCs.
Boleh jadi pemilih lebih peduli pada belanja
publik yang dialokasikan lebih besar daripada kondisi defisit yang terjadi.
Rakyat kebanyakan lebih nyaman dengan belanja infrastruktur padat karya dan
dana bantuan langsung tunai (BLT) meskipun utang negara terus meningkat.
Kehadiran manipulasi fiskal di tahun pemilu
dapat terjadi pada negara berkembang dan baru dalam berdemokrasi. Tingkat
korupsi yang tinggi, terjadinya asimetri informasi anggaran, diskresi fiskal
pada eksekutif, dan polarisasi politik juga menjadi media suburnya praktik PBCs
(Alt dan Lassen, 2005; Streb, Lema, dan Torrens, 2005). Kriteria tersebut
terpenuhi dalam konteks Indonesia saat ini.
Tarik ulur opsi kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi yang telah genap berumur satu tahun dibahas sejak APBN
Perubahan 2012 mendeskripsikan kebijakan fiskal lebih kental didominasi
pertimbangan politik kekuasaan menjelang pemilu. Meskipun UU APBN 2013
memberikan diskresi kepada pemerintah untuk mengurangi beban subsidi BBM,
pemerintah tidak serta-merta berani mengambil risiko kehilangan popularitas
menjelang pemilu karena kebijakan ini.
Melempar persoalan ini ke legislatif
merupakan langkah aman. Tujuannya, getah dari kebijakan tidak populer ini tidak
menjadi sasaran pada partai berkuasa saja, tetapi merupakan keputusan bersama
seluruh partai politik di DPR. Sementara DPR berada pada posisi dilematis. DPR
mau tidak mau harus menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi atau defisit akan
jebol, dan BLT sebagai kompensasinya. BLT dianggap sebagai obat mujarab
menangkal kekecewaan publik.
Kalkulasi politiknya, kenaikan harga BBM
secara signifikan tak akan memengaruhi preferensi pemilih di kalangan kelas
menengah. Sebagai kompensasinya, BLT yang terbukti efektif menjadi instrumen
menarik simpati pemilih pada pemilu lalu dapat digunakan kembali hingga
menjelang Pemilu 2014. Kalangan masyarakat awam dengan literasi fiskal rendah
akan sangat sulit membedakan terjadinya politisasi kebijakan BLT.
Jika ”manipulasi fiskal” absen, akan muncul
bentuk lain untuk memengaruhi pemilih walaupun tidak mengubah seluruh anggaran,
melainkan cukup komposisi anggaran. Dalam konteks ini, PBCs dapat hadir dalam
bentuk peningkatan belanja sosial seperti BLT dengan target kalangan miskin.
Menteri menjadi caleg
Sinyalamen ini juga terlihat dari adanya
kenaikan bantuan sosial pada 10 kementerian yang dikuasai enam partai politik
koalisi. Fitra (2012) melihat kecenderungan adanya kenaikan bantuan sosial pada
10 kementerian tersebut dari Rp 22 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp 26,5
triliun tahun 2013.
Karena itu, terbuka peluang menteri yang juga
calon anggota legislatif (caleg) melakukan manipulasi fiskal sebagai instrumen
kampanye. Dalam konteks tersebut, petahana tidak hanya terdefinisi sebagai
pejabat yang mencalonkan kembali untuk jabatan yang sama, tetapi juga mereka berniat
mempertahankan posisi sosial eksklusif kelompoknya pada pemerintahan melalui
akses terhadap sumber-sumber kekayaan, sebagaimana istilah oligarki yang
dikemukakan Winters (2011).
Tidak hanya dalam bentuk bantuan sosial,
menteri calon anggota legislatif juga dapat mengakses sumber-sumber lain yang
berasal dari anggaran negara. Menteri dapat memanfaatkan iklan layanan
masyarakat kementeriannya untuk melakukan kampanye gratis. Misalnya,
menampilkan keberhasilan kinerjanya ataupun program-program populis untuk
mendongkrak keterpilihannya.
Boleh jadi praktik ini tidak dianggap ”tabu”
dan menjadi kewajaran politik. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD justru memberikan legalisasi melalui
pengecualian bakal calon anggota legislatif yang masih menjabat sebagai menteri
tidak diharuskan untuk mengundurkan diri.
Meski kerangka hukum yang tersedia tidak
memadai, praktik ini mencederai asas pemilu yang adil, alih-alih akan
memperkuat kaum oligarkis dan para kartel politik melakukan pembajakan negara.
Bencana demokrasi
Dengan banyaknya kasus korupsi yang
melibatkan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin premis Winters mengenai
oligarki di Indonesia mengalami perwujudannya. Tidak hanya PBCs—siklus anggaran
politik—yang akan terjadi, tetapi juga tingkatan yang paling ekstrem, yakni
menjadi political corruption cycle atau siklus korupsi politik pada tahun-tahun
pemilu.
Dengan model politik oligarki seperti itu,
sulit mengharapkan legislatif menjalankan mekanisme check and balance dapat
bekerja efektif. Karena itu, diperlukan ruang untuk mengisi mekanisme
penyeimbang untuk menguji kebijakan fiskal yang diambil pemerintah. Pemilih
harus memperoleh informasi fiskal yang simetri sehingga dapat menilai apakah
kebijakan fiskal sesuai dengan realitas atau sekadar alat merebut hati
konstituen.
Jika tidak, demokrasi yang seharusnya bisa
menjadi alat untuk mencapai cita-cita bernegara malah berbalik arah menjadi
bumerang. Bencana demokrasi akan terus menimpa bangsa ini jika elite politisi
oportunis kembali berkuasa mengeruk uang negara yang ongkosnya pun berasal dari
negara dengan instrumen ”manipulasi fiskal”.
Mungkinkah politisasi anggaran efektif
bekerja pada Pemilu 2014? Hanya dua kemungkinan bisa terjadi, sesuai temuan
Brender dan Drazen (2003): pertama, sudah terbukti secara luas dapat mendukung
perolehan suara; kedua, pemilih justru menghukum petahana yang melakukan
manipulasi fiskal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar