Sertifikasi Ulama, Perlukah?
Muhammad Azhar ; Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
13 September 2012
Isu tentang sertifikasi ulama yang
dilontarkan anggota BNPT mengundang pro-kontra di masyarakat, terkait dengan mencuatnya
kembali kasus terorisme di Tanah Air. Secara historis, tak dapat dibantah bahwa
kasus terorisme dewasa ini sebenarnya sudah dimulai sejak era awal Islam, yakni
berupa pelbagai peristiwa kekerasan yang terjadi dalam perjalanan Islam.
Umat tentu paham bahwa tiga khalifah Islam,
yakni Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, mati terbunuh.
Bahkan, di antaranya dilakukan oleh umat Islam sendiri. Demikian pula, pola kekerasan
terus berlanjut hingga munculnya sekte-sekte Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah,
dan sebagainya.
Banyak ahli sejarah menyatakan bahwa
kelahiran berbagai sekte tersebut
pada mulanya berawal dari konflik internal
umat yang belakangan berujung
pada munculnya aliran teologi. Era berikutnya,
muncul pula kasus mihnah
(inquisition) terhadap kelompok
pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang dilakukan oleh golongan Muktazilah. Pada
era lebih belakangan, giliran kelompok Muktazilah (rasionalisme Islam) yang mengalami
kasus mihnah. Dewasa ini, benih-benih dan kasus kekerasan terus berlanjut dengan
munculnya fenomena takfir (pengkafiran) oleh satu golongan kepada
golongan lainnya.
Konsep Dasar
Terkait munculnya gagasan tentang perlunya
sertifikasi bagi ulama di Tanah
Air dengan belajar dari Arab Saudi mau pun
“MUI” Singapura, dalam khazanah keislaman konsep ulama umumnya dipahami sebagai
seseorang atau segolongan umat yang memiliki pemahaman mendalam tentang Islam
(arrasikhuna fil-’ilm). Tugas para
ulama ini adalah menegakkan yang makruf dan
nahi mungkar, namun dengan cara-cara
yang makruf, bukan dengan cara mungkar atau menghalalkan segala cara,
seperti yang digunakan oleh kelompok teroris.
Almarhum Prof Deliar Noer juga melontarkan,
perlunya umat melahirkan
para intelektual yang ulama dan ulama yang
intelektual. Bila ulama ditengarai
sebagai orang yang ahli kitab kuning maka
intelektual ahli di bidang kitab
putih. Distingsi antara ulama dan intelektual
sebenarnya berawal dari era
Imam Ghazali yang membedakan antara ilmu yang
fardhu ‘ain (ilmu keislaman/
ulama) dengan ilmu yang fardhu kifayah (ilmu
umum/intelektual).
Akhir-akhir ini, khususnya di berbagai kampus
IAIN/STAIN/UIN, ingin mengintegrasikan kembali antara intelektual ulama
sebagaimana yang dikemukakan oleh Deliar Noer. Ulama masa depan, oleh almarhum
Prof Harun
Nasution, harus bergelar doktor, yang teruji
secara akademis dan harus memiliki
kemampuan mengintegrasikan antara IS (Islamic
studies) dan NS (natural sciences), SS (social sciences),
serta H (humanities).
Harapan tersebut mirip-mirip dengan apa yang
telah pernah ada dalam sejarah
keilmuan klasik, sebagaimana Ibnu Rusyd,
al-Farabi, al-Ghazali, Ibnu sina,
Ibnu Khaldun, dan sebagainya. Dengan semakin
terdiferensiasinya wawasan
keilmuan dewasa ini, tentu agak sulit menemukan
atau mencetak ulama plus
intelektual tersebut. Namun, paling tidak, pemahaman
ulama (doktor) masa depan tetap harus memiliki wawasan umum yang integrative, seperti disebut di atas (IS
+ NS, SS, dan H).
Solusi ke Depan
Pertama, gagasan tentang perlunya sertifikasi/
standardisasi ulama tentu
sesuatu yang ideal, seperti yang harus di
miliki para guru, dosen, dokter, pengacara, dan lain-lain. Standardisasi ini memang
patut dipertimbangkan sejalan dengan semakin kompleksnya tantangan dakwah yang
membutuhkan hadirnya ulama/dai andal sehingga nama baik Islam akan terhindar
dari “bajakan” dai yang unqualified/ low standard, seperti yang kini
banyak muncul di TV, fenomena dakun
(dai-dukun), dan dai penuh humor. Maka, perlu ada upgrading secara
periodik untuk para dai tentang wawasan IS + NS, SS, dan H.
Kedua, perlu ada semacam korp atau asosiasi
mubaligh yang ditentukan oleh
masing-masing ormas, MUI, Kemenag, dan ikatan
dai. Muhammadiyah sendiri,
melalui Majelis Tarjih, pernah berencana membuat
daftar ilmuwan/ ulama.
Ketiga, agar lebih fair maka upaya sertifikasi
yang sama juga perlu ditetapkan
kepada para calon pemimpin bangsa, sejak
calon presiden hingga calon lurah;
calon anggota DPR/DPRD, juga lainnya. Misalnya,
standar calon presiden, dia tidak memiliki rekam jejak sebagai pelanggar HAM,
korupsi, dan sejenisnya.
Keempat, standardisasi yang sama juga perlu
diberlakukan kepada pelbagai
media cetak dan audio visual/TV, juga film
untuk tidak menayangankan bentuk-bentuk violence dan pornoaksi yang
justru menjadi virus kekerasan yang banyak
melahirkan kegeraman anak muda yang selalu
ingin menjaga kesucian hati dan
pikiran. Mungkin, KPI harus lebih ketat lagi
dalam soal ini.
Kelima, khusus untuk aparat kepolisian di seluruh
Tanah Air, juga perlu
standardisasi dan profesionalitas kerja, serta
memberi keteladanan kepemimpinan di semua lini. Publik juga geram dan mendorong
munculnya benih kebencian ketika melihat kasus simulator yang terkesan
ditutup-tutupi oleh Polri. Pun fenomena polisi sebagai “tukang pukul” bagi
pengusaha kaya maupun “pelindung” aksi kriminal lain nya. Demikian pula anak-anak
muda geram melihat lembaga keagamaan semacam Kemenag yang terindikasi paling
korup di Tanah Air.
Keenam, anak-anak bangsa juga menjadi gemas
dan cenderung semakin radikal melihat rezim penguasa saat ini yang terus
“bermain-mata” dengan intervensi asing, terutama dalam pengelolaan SDA.
Ketujuh, anak-anak muda juga geram karena banyaknya kasus besar yang tidak
pernah tuntas, seperti pelanggaran HAM/korupsi: Munir, Century, Trisakti,
Mesuji, Sampang, Hambalang, dan sebagainya. Akhirnya, proyek deradikalisasi
harus lebih fokus pada “sarang” teroris dan oknum Densus 88 sendiri yang oleh
publik terkesan arogan dan sewenang-wenang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar