Kamis, 13 September 2012

Ketika Kekeringan Menjadi Bencana


Ketika Kekeringan Menjadi Bencana
Sutrisno ; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
MEDIA INDONESIA, 13 September 2012


SETIAP musim kemarau tiba, selalu muncul masalah kekeringan yang berakibat krisis air bersih dan kerusakan lahan pertanian. Kekeringan seolah menjadi penyakit tahunan yang selalu kambuh. Menurut Shelia B Red (1995), kekeringan didefinisikan sebagai pengurangan persediaan air atau kelembapan yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus. Dampak kekeringan muncul sebagai akibat kekurangan air, atau perbedaan-perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Apabila kekeringan sudah mengganggu tata kehidupan dan perekonomian masyarakat, kekeringan dapat dikatakan bencana.

Menurut informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sembilan provinsi mengalami krisis air pada musim kemarau tahun ini. Sembilan provinsi tersebut ialah Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, dan Papua Barat. Bencana kekeringan sangat mengganggu kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan air. Di Kabupaten Sragen, warga harus mengais di sumur yang jaraknya cukup jauh, memanfaatkan sisa kubangan air di persawahan atau sungai, dan berbagi air dengan ternak. Ada warga yang harus berutang dan mengangsur untuk membeli air (Solopos, 28/8/2012).

Ketika kekeringan sudah menjadi bencana, pihak yang paling menderita akibat kekeringan ialah makhluk hidup. Manusia khususnya dalam berbagai sendi kehidupannya mutlak memerlukan air untuk kelangsungan hidup. Bayangkan saja, dampak terhadap sektor pertanian yang umumnya dilakoni para petani seandainya kekeringan panjang terjadi. Mulai keringnya lahan, gagal panen, dan dampak lebih jauh laju proses pemiskinan akan semakin tidak dapat terkontrol. Kekeringan akan mengganggu ketersediaan pangan dan mengakibatkan ketidaktahanan pangan. 

Dampak lebih jauh ialah gagalnya program pembangunan yang dicanang kan pemerintah. Memang kekeringan tidak mengenal pemerintah.
Meski dampak kekeringan amat luar biasa, hingga kini belum ada upaya signifikan untuk menyelesaikan soal itu. Selama ini, penyelesaian masalah kekeringan dilakukan dengan reaktif, temporer, ad hoc, parsial, dan orientasi penciptaan proyek. Misalnya pemberian air bersih, bantuan pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, rehabilitasi sarana irigasi, dan membuat hujan buatan yang biayanya mahal dan hasilnya kerap kurang optimal. Ibarat sakit, yang diobati hanya gejala-gejala yang timbul, bukan mencari sumber penyebab penyakitnya sehingga akhirnya menjadi penyakit kambuhan.

Ironisnya, untuk mengatur hajat hidup orang banyak, seperti minyak, pemerintah membentuk BUMN Pertamina, sementara untuk air yang merupakan komponen utama penyusun manusia, urusannya malah diserahkan kepada pasar, bahkan dibuka pintu privatisasi dengan pengesahan UU sumber daya air yang sarat rekayasa.

Eksploitasi sumber mata air (natural spring water resources) dan air tanah (ground water) yang berlebihan tanpa kontrol untuk air kemasan dan industri yang tidak mengindahkan keberlanjutan ialah teladannya. Bila kondisi itu terus terjadi, dapat dipastikan berita penurunan produksi, puso, dan kekurangan air akan terjadi setiap tahun, bahkan terjadinya gurun pasir yang tidak balik (irreversible) yang selama ini hanya mimpi dapat menjadi kenyataan (Gatot Irianto, 2004).

Kebutuhan air untuk pertanian dan kehidupan sehari-hari sebenarnya menjadi faktor utama untuk menunjang fondasi perekonomian, baik dalam skala lokal maupun nasional. Ketika kekeringan menjadi topik utama untuk daerah kota/kabupaten, dan terjadi dalam skala regional, kekeringan berpotensi menjadi bencana. Untuk itu, perlu upaya secara komprehensif dan berkelanjutan mengatasi bencana kekeringan.

Pertama, pemerintah provinsi beserta wali kota/bupati sebagai pemegang kebijakan memanfaatkan dan mendayagunakan sumber-sumber air dan kearifan lokal mengatasi bahaya kekeringan. Termasuk yang masih terabaikan ialah pembenahan manajemen sumber daya air dan sistem irigasi. Dalam jangka pendek bisa diprioritaskan pengelolaan sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk air bersih. Juga menambah instalasi yang dapat difungsikan secara cepat, misalnya membuat unit pe ngolahan air bersih berkapasitas kecil khusus di daerah-daerah yang masih memiliki sumber baku. Daerah rawan air bersih (sebagaimana biasa) dibantu pasokan. Di daerah yang memiliki potensi air tanah sedang, dibangun sumur-sumur pompa tangan dalam, sumur resapan, atau pantek. Khusus untuk pertanian, perbaikan jaringan irigasi penting dilakukan untuk membantu para petani yang membutuhkan air.

Kedua, mengoptimalkan sumber-sumber air untuk berbagai kebutuhan. Cara sederhana yang bisa dipraktikkan ialah membuat embung (bak-bak penampung air hujan) dan sumur-sumur resapan, atau resapan dengan teknologi biopori. Jadi, air yang berlimpah pada musim hujan disimpan di bak-bak atau tandon yang dibuat dengan standar tertentu agar memenuhi syarat kesehatan. Selain itu, menjaga daerah tangkapan air dan mempertahankan kelestarian hutan tak kalah penting karena menjadi penentu kuantitas dan kualitas sumber air.

Ketiga, BMKG perlu menyampaikan keadaan aktual, kecenderungan, serta teknologi adaptasi dan mitigasinya. Penyusunan sistem informasi kekeringan untuk alokasi, pengoptimalan, dan pendayagunaan sumber daya antarsektor mendesak dilakukan. Pemerintah provinsi harus memanfaatkan sistem informasi itu. Dengan memanfaatkan data citra satelit Landsat TM, luas lahan sawah, luas tanam, luas panen, indeks kebasahan, serta kemampuan produksi pangan dapat diestimasi sebelumnya. Jangan sampai data hanya menjadi sebuah bacaan tanpa bermakna untuk kemaslahatan rakyat.

Keempat, terus menggencarkan kampanye pemanfaatan air dan sumbernya secara efi sien dan efektif, sudah saatnya ditempuh rehabilitasi dan konservasi kawasan tangkapan air, khususnya hutan di daerah hulu. Upaya itu mesti dipayungi peraturan dan sanksi keras bagi para pelanggar. Jangan lagi mengorbankan kawasan-kawasan yang bermanfaat untuk menangkap dan menyimpan air hanya untuk kepentingan ekonomi individu atau kelompok tertentu.

Kekeringan yang melanda setiap tahun dan menjadi bencana bagi pertanian ialah muara dari ketidakpedulian terhadap lingkungan yang disokong ketidaktegasan pemerintah memberikan sanksi terhadap masalah konservasi. Selama kesadaran akan lingkungan tidak tumbuh dan keberpihakan pemerintah pada pertanian tidak diaktualkan, bencana kekeringan pun akan terus berlanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar