Menuntut Keadilan Undang-Undang
Mochammad Maksum Machfoedz ; Guru Besar UGM, Ketua PBNU 2010-2015
|
REPUBLIKA,
13 September 2012
Pada 15 September 2012, musyawarah nasional alim ulama dan konferensi
besar yang diselenggarakan PBNU di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, resmi
dimulai. Beragam agenda, mulai dari pameran, kirab kader NU Cirebon dan
sekitarnya, maupun agenda lain dilaksanakan pada masa munas maupun pramunas.
Tema besarnya “Kembali ke Khitthah Indonesia 1945“ telah
dirumuskan menjadi isu sentral yang dijabarkan menjadi beberapa tindak
kejamiahan NU untuk melakukan evaluasi diri menghadapi aneka tantangan
kebangsaan dan merumuskan penguatan khidmat NU dalam mengawal semangat
Proklamasi Kemerdekaan 1945, mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat,
adil, dan makmur. Munas alim ulama inilah lembaga tertinggi setelah muktamar
yang melambangkan supremasi ulama dalam mengawal perjalanan NU.
Supremasi Alim Ulama
Supremasi pemikiran bagi NU adalah supremasi ulama dan
direpresentasikan oleh kelembagaan Syuriah NU. Karena itu, sejumlah seminar dan
diskusi yang tersentral dalam bahtsul
masa'il (BM), forum pembahasan aneka persoalan kemasyarakatan dan
kebangsaan, menjadi kegiatan utama dengan pelibatan para alim ulama
se-Indonesia. Tidak pernah ada kontroversi. BM inilah sumber segala eksistensi
NU serta didasari kekuatan syar'i dan khazanah akademik Aswaja NU dalam
mencermati dinamika kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam konteks supremasi keulamaan inilah, pemikiran yang
berkembang pada tingkat BM menjadi landasan kuat bagi orientasi program kerja
NU. Ini kemudian dijabarkan lebih lanjut pada tingkat keorganisasian menjadi
landasan operasional bagi NU dengan se gala perangkat organisasinya dalam
mengawal kiprah politik kebangsaan, pengembangan kebudayaan, pembangunan
sosial, kritik kebijakan konstruktif, gugatan perundangan, dan sejumlah langkah
politik kebangsaan lainnya.
Subtema yang menyebut peningkatan khidmat NU bagi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat adil dan makmur sudah tentu menempatkan anasir
kedaulatan keadilan-kemakmuran sebagai alat ukur terpenting dalam perspektif NU
ketika BM membahas isu-isu kemasyarakatan dan kebangsaan yang sementara ini
sangat memerlukan pemikiran ulang para kiai. Kajian yang dilakukan komisi BM Qanuniyyah, misalnya, dalam membahas
sejumlah perundangan bermasalah tidak pernah terlepas dari tiga anasir itu:
kedaulatan-keadilan-kemakmuran.
Menggugat Ketidakadilan
Paling menarik dalam munas adalah keprihatinan ulama ketika
mencermati dinamika perekonomian nasional. Realitasnya, mayoritas warga bangsa
dan nahdliyyin nyaris tidak pernah
terhela serta dalam mobilitas vertikal sebagaimana ditunjukkan oleh kemajuan
perekonomian nasional, kalau tidak boleh disebut justru semakin termarjinalkan
dalam ekonomi kapitalistik-neoliberalistik.
Berdasarkan kajian syar'i
dan telaah akademik para kiai melalui serangkaian kegiatan pramunas, tampak
sekali bagaimana mayoritas warga bangsa kian tersisihkan sebagai korban utama, the most disadvantaged people, bagi
usaha ekonomi segelintir pemilik kapital. Menurut majelis kiai, persoalan
politiknya menjadi semakin serius ketika ternyata tersisihnya mayoritas justru
terjadi secara struktural via perundangan yang memiliki sejumlah cacat
kedaulatan dan legalitas.
Berbasis fakta inilah, telaah saksama dilakukan terhadap berbagai
produk perundangan yang pantas disinyalir penuh kezaliman dan biang kemerosotan
perekonomian rakyat, penyangga kehidupan mayoritas warga Indonesia. Sejumlah
undang-undang sarat kezaliman telah dibahas dalam pramunas.
Beberapa akan ditindaklanjuti melalui finalisasi munas, antara
lain, (i) UU No 3/2004 tentang BI yang semau gue dan tidak melirik rakyat
kecil; (ii) UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang memanjakan investasi
asing; (iii) UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menafikan masyarakat
setempat; (iv) UU No 4/2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batu Bara yang
menistakan ekologi dan penduduk asli; (v) UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air
yang bersyahwat privatisasi, komersialisasi, dan antipartisipasi; (vi) RUU
Pangan yang sarat semangat importasi; (vii) UU NO 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang liberalistis dan komersialis.
Secara garis besar, ketidakadilan terjadi akibat melencengnya
perundangan dari amanat kebangsaan dalam mengawal kepentingan kerakyatan,
kedaulatan, dan keadilan sosial. Sementara, dalam perspektif legal
undang-undang ekonomi tidak lagi mengindahkan Pasal 33 UUD 1945, Pembukaan UUD
1945, dan Pancasila.
Undang-undang nirkeadilan ini sudah sepantasnya ditinjau kembali
dan atau diberedel demi hukum. Ketidakadilan undang-undang insya Allah tuntas
dibahas dalam munas yang melibatkan lebih banyak kiai.
Keprihatinan NU yang teramat
multidimensional meliputi keprihatinan syar’i,
legal, dan akademik adalah perenungan jangka panjang dalam merespons dinamika
kemasyarakatan dan kebangsaan. Sudah pasti pembenahannya menjadi tanggung jawab
bersama, utamanya lembaga legislatif kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar