Rabu, 12 September 2012

Nasionalisme dan Buta Huruf


Nasionalisme dan Buta Huruf
Muhidin M Dahlan ;  Pengelola Radio Buku Live Streaming @radiobuku;
Tinggal di Yogyakarta
KORAN TEMPO, 12 September 2012


Buta huruf itu aib. Ibu negara Prancis, Carla Bruni-Sarkozy, juga sadar betul akan hal itu. Dalam wawancara dengan harian La Tribune pada 2009, Bruni pernah meradang atas adanya rilis data terbaru yang menyebutkan 3 juta warga Prancis buta huruf. 

Carla berang. Ia pun mendirikan yayasan untuk menggalang dana, terutama sekali untuk gelandangan, narapidana, dan kelompok masyarakat buta huruf. Istri Presiden Prancis Nicolas Sarkozy itu mengistilahkan tindakannya sebagai perang melawan buta huruf.
Jauh sebelum Bruni marah-marah, kamus nasionalisme sudah menegaskan bahwa, bagi negara berstatus merdeka, buta huruf adalah aib. 

A. Surjadi dalam buku Pembangunan Masyarakat Desa (1969) membuat pola pemberantasan buta huruf dari beberapa negara yang baru saja mengumumkan maklumat kemerdekaan. Simaklah kaum Komunis di Rusia sewaktu menumbangkan rezim Tsar pada 1917. Dalam dua tahun, Lenin bikin perintah untuk menghilangkan kebutahurufan. Turki memulai kampanye pemberantasan buta huruf segera setelah Kemal Attaturk menjadi presiden. 

Perkembangan yang cepat dalam kerja pemberantasan buta huruf di India merupakan akibat langsung dari pembentukan kekuasaan Kongres. Di Indonesia dan Ghana demikian juga. Pemberantasan buta huruf dilakukan setelah kemerdekaan nasional dimaklumatkan. 

Bagi pemerintah yang dipimpin kalangan nasionalis terpelajar dan revolusioner, buta huruf adalah aral yang merintangi kemajuan. Kata Lenin, "Seorang manusia buta huruf adalah di luar dunia politik." Dan ajaran minimum adalah mengetahui abjad alfabet. Pemerintah nasionalis beranggapan orang-orang yang melek huruf hanyalah satu-satunya dasar yang sehat untuk membangun masa depan bangsanya.

Sikap kaum nasionalis pada masalah buta huruf dimiliki pula oleh ratusan orang di pelbagai negara yang baru merdeka. Dengan usahanya, jumlah orang buta huruf yang berduyun-duyun untuk belajar makin bertambah, dan banyak orang yang pandai baca-tulis dikerahkan untuk mengajar secara sukarela. Semangat yang tumbuh dari gerakan kemerdekaan nasional berbarengan dengan gerakan pemberantasan buta huruf. Tanpa hal itu, diragukan apakah kampanye pemberantasan buta huruf akan berhasil cepat. 

Dengan rangsangan-rangsangan usaha tersebut, banyak juga yang tak mempergunakan kesempatan tersebut untuk belajar. Sebagian menganggap tak ada kegunaan belajar membaca. Yang lainnya lagi karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-harinya.

Hukuman 

Sadar bahwa buta huruf menghambat kemajuan, disiapkanlah serangkaian hukuman bagi warga yang buta huruf atau tak mampu memperbaiki kualitas keberaksaraannya. Di Rusia, penolakan untuk ikut kursus pemberantasan buta huruf diancam hukum denda, kerja paksa, kehilangan kartu makanan, atau dikeluarkan dari persatuan dagang. 

Hukuman Tiongkok yang menolak program pemberantasan buta huruf dikenai pajak yang diatur oleh undang-undang. Di Turki, pemerintah mengumumkan bahwa lapangan kerja di pemerintah hanya tersedia bagi orang-orang yang dapat membaca dan menulis. Tidak bagi yang buta huruf.

Sedangkan untuk kasus Indonesia bisa kita kutipkan Mass Education Handbook, "Pada kenyataannya kepentingan negara menuntut setiap warga negara memiliki kemampuan membaca dan menulis." Karena itu, dicoba jalan memaksa orang menjadi melek huruf dengan jalan perintah-perintah atau pengumuman. Bahwa setiap formulir diisi langsung oleh orang yang bersangkutan, dan memerintahkan setiap rumah dan tempat memakai papan nama. 

Pada satu kecamatan di Jawa, misalnya, lulus dari ujian pemberantasan buta huruf merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin nikah. Pada masa pemerintahan Sukarno yang masih labil, penanggulangan tuna-pendidikan waktu itu dikenal dengan sebutan pemberantasan buta huruf (PBH) atau kursus ABC. Bagian yang menangani buta huruf adalah Bagian Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK).

Pada 1951, misalnya, disusun program Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf dengan harapan semua penduduk Indonesia akan melek huruf dalam jangka waktu sepuluh tahun berikutnya. Namun, pada 1960, masih terdapat sekitar 40 persen orang dewasa yang buta huruf. Pada 1960 dikeluarkan Komando Presiden Sukarno untuk menuntaskan buta huruf sampai 1964. Hasilnya, 31 Desember 1964, penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf (Ali, 2007).

Pada masa awal Orde Baru, dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) tahun 1969, buta huruf sudah menjadi titik sorot. Program seperti Program Paket ABC distimulasi untuk melawan aib buta huruf. Rupanya, usaha semesta itu tak pernah berakhir, sebagaimana di Prancis. Aib itu pada 2011 masih bertengger di angka 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar