Mengkaji Sertifikasi Ulama
Wastun ; Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Magelang
|
REPUBLIKA,
12 September 2012
Rencana
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberikan sertifikasi kepada
ulama memunculkan beberapa asumsi di kalangan masyarakat mayoritas Muslim di
negeri ini. Upaya tersebut, menurut informasi, mengacu keberhasilan Singapura
yang sudah melaksanakan sertifikasi kepada para ulama. Tujuan BNPT memberikan
sertifikasi tidak lain ingin mencegah aksi terorisme di negeri ini banyak
dilakukan oleh yang bersimbol Islam.
Kalau
sertifikasi diberikan hanya untuk itu, rasanya tidak adil karena seolah-olah
ulama di Indonesia sebagai benteng untuk penanggulangan aksi terorisme. Tugas
pemberantasan terorisme adalah tugas kita bersama, bukan hanya tugas para ulama
atau tokoh agama tertentu.
Indonesia
sebagai negara besar serta plural, di dalamnya terdapat umat Islam yang menjadi
penduduk mayoritas. Melihat realitas ini, umat Islam kemudian diposisikan
sebagai kalangan `penentu' atas maju ataupun mundurnya bangsa ini. Karena
fenomena inilah, moral, mental, dan sikap positif kaum Muslim Indonesia begitu
spesial.
Apabila
negeri ini karut-marut dan buram maka pihak mayoritaslah yang pantas
disalahkan, umat Islam. Pula jika bangsa ini terwujud kemajuan atau kesuksesan
di segala bidang, tentunya tidak mustahil akan menjadi citra positif bagi umat
Islam sendiri, baik oleh internal penduduk bangsa Indonesia maupun
negara-negara yang lain.
Tonggak Agama
Dalam
pengertian asli, ulama adalah para ilmuwan, baik di bidang agama, humaniora,
sosial, maupun kealaman. Dalam pengertian yang sempit, kata ulama hanya
digunakan oleh ahli agama. Di Indonesia, ulama mempunyai sebutan yang berbeda
di berbagai daerah, seperti kiai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syekh
(Sumatra Utara/Tapanuli), buya (Minangkabau), dan tuan guru (Nusa Tenggara,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah).
Ulama
merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam banyak hal, mereka
dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad
sendiri. Salah satu hadis bahkan menyatakan, “Ulama merupakan pewaris para Nabi
(al-'ulama `waratsah al-anbiya').“
Wajar jika dalam Islam, posisi mereka dihormati. Pendapat mereka juga dianggap
mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah,
melainkan juga aspek kehidupan sehari-hari.
Signifikasi
peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai
penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran
dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian
akhlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial.
Kalau
kita lihat, ketika para ulama merebut kemerdekaan, mereka sangat mendominasi
kehidupan bermasyarakat. Ulama selalu menjadi ujung tombak pemerintah dalam
memberikan motivasi maupun meredam gejolak sehingga masyarakat tak mudah
terprovokasi.
Bukan Profesi
Pemberian
sertifikasi kepada ulama akan memberikan dampak yang negatif terhadap
pemerintah yang dirasa akan membatasi peran ulama dalam berdakwah. Dakwah
adalah perintah agama untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dalam hal
akidah, akhlak, dan ibadah. Ulama bukan sebagai pegawai pemerintah, melainkan
sebagai pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi,
membina, dan membimbing umat Islam, baik dalam masalah-masalah agama maupun
masalah sehari-hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan.
Kehadiran ulama di tengah-tengah masyarakat bukan semata untuk
mendapatkan nama, jabatan, dan bahkan material, melainkan kehadiran ulama untuk
memberikan nuansa perilaku yang penuh dengan nilai keagamaan.
Alquran
menyatakan bahwa ulama itu adalah pewaris para nabi, harus dipahami yang
diwariskan bukan status kenabian, melainkan peranannya dalam kehidupan umat
manusia. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka tidak ada lagi rasul dan nabi.
Karena itu, yang diwariskan kepada ulama adalah tugas dan peranan menjaga
agama, umatnya, dan harakat keislaman.
Di
dalam kenyataan sejarah, telah terjadi transformasi peranan ulama dari zaman ke
zaman. Mulai dari formasi tradisional ke formasi modernis. Pertama, ulama cukup
menjadi ustaz, buya, atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang
datang belajar atau minta fatwa. Kehidupannya, serahkan kepa da inisiatifnya
yang lain, profesi sampingannya, atau profesi utamanya yang lain.
Ulama
bukan profesi, melainkan fungsi pengabdian nonekonomis. Bahkan, ada anggapan
bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan pengajian, pengajian
hanyalah sebagai tu gas sucinya. Hemat penulis bahwa pemberian sertifikasi
kepada ulama akan memberikan nuansa keagamaan yang didasari dengan nilai profit
semata, bukan mengedepankan kepada panggilan suci keagamaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar