Rabu, 12 September 2012

Nasionalisme Diaspora Indonesia


Nasionalisme Diaspora Indonesia
Achmad Adhitya ;  Kandidat Doktor Bidang Kelautan di Leiden University, Belanda; Penerima Indonesian Diaspora Awards: Youth Activism 2012
JAWA POS, 12 September 2012


PERTEMUAN APEC yang sedang dilaksanakan di Vladivostok, Rusia, baru-baru ini hanyalah merupakan salah satu pertemuan internasional yang rutin digelar untuk melakukan koordinasi maupun kerja sama antarnegara. Ada kesadaran bahwa kekuatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan militer di dunia sekarang ini tidak lagi bisa berdiri sendiri, namun bergerak seperti jaring yang saling mengikat dan membutuhkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan suatu negara tidak bisa dibangun hanya dari dalam negara itu sendiri, tapi juga harus dibangun dari luar negeri.

Negara-negara Barat menyadari hal itu sejak dulu, sehingga mereka memperluas basis ekonomi, militer, dan politik di luar batas negaranya. Dari sana, mereka kemudian membangun sebuah sinergi yang sangat kuat antara SDM yang dimiliki di dalam dan di luar negeri. 

Kesadaran yang sama kemudian muncul di India dan Tiongkok. Garry Peterson dalam The Economist edisi 21 November 2011 memetakan kekuatan diaspora Tionghoa dan India hampir di 20 negara di dunia. Menariknya, dua negara tersebut benar-benar membangun sinergitas kekuatan SDM mereka di luar dan di dalam negeri.

Ada sebuah konsep nasionalisme baru yang sangat baik dibangun Tiongkok pada akhir abad ke-19 melalui ''Open Door Policy''. Pada awal 1980-an, reformasi ekonomi dipelopori Deng Xiaoping untuk memperbolehkan generasi baru meninggalkan Tiongkok. Tapi, Deng mengundang generasi lama yang sudah makmur untuk kembali ke Tiongkok dan melakukan investasi ekonomi ke Tiongkok. Naisbitt mencoba melukiskan metode itu bahwa ada pergeseran jaringan kerja orang-orang Tionghoa yang tidak hanya dari dalam negeri ke luar negeri, namun juga dari luar negeri ke dalam negeri. Hasilnya? Kini Tiongkok menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang begitu mengagumkan.

Strategi Tiongkok tersebut kemudian diikuti India. Walaupun tidak sama persis, India terus mengonsolidasikan kekuatan sumber daya manusianya. Banyak perantau India yang bekerja di luar negeri memulai pekerjaan dengan upah rendah di berbagai perusahaan di seluruh dunia. Kemudian, setelah belasan atau puluhan tahun, mereka mulai menapaki kesuksesan dengan membangun bukan hanya jaringan SDM yang kuat, namun juga kekuatan ekonomi. Ketika berhasil, mereka mulai melakukan multiplikasi bisnis serupa di negara sendiri. Karena itu, tidak heran, IT Industrial Park yang dibangun di Bangalore bisa berkembang dengan pesat karena praktis hampir menggunakan jaringan SDM yang sama, yakni sesama orang India. Hasilnya pun bisa ditebak, India menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang diperhitungkan.

Lalu, bagaimana Indonesia? Sebagai salah satu negara berkembang dengan 240 juta penduduk, Indonesia menempati posisi keempat negara berpenduduk terbesar di dunia. Penduduk tidak hanya menunjukkan jumlah populasi suatu negara, namun juga potensi tenaga kerja serta potensi pasar konsumen yang penting. 

Artinya, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan pasar dalam negeri dengan distribusi produk dalam negeri buatan bangsa kita sendiri. Pertanyaan yang sering muncul, apakah kita mampu menciptakan produk dengan kualitas yang tinggi dan bersaing dengan produk asing, sehingga bisa merebut pasar dalam negeri? Pada titik inilah kemudian diaspora Indonesia harus mampu mengambil peran.

Kita harus mulai menghentikan perdebatan perihal brain drain atau brain gain atau, bahkan, brain circulation. Sekarang saatnya kita harus membuat rencana aksi untuk kemudian diikat dalam sebuah kebijakan yang memungkinkan guna menarik potensi sumber daya manusia dan ekonomi Indonesia di luar negeri. Kemampuan menerapkan strategi penggalangan sumber daya manusia tersebut memiliki dua dampak penting buat bangsa Indonesia nanti.

Pertama, kita akan mampu menciptakan produk buatan Indonesia dengan kualitas dunia. Sebab, SDM Indonesia dengan kualitas dunia berserakan di banyak perusahaan, institusi, atau universitas terkenal di dunia. Keahlian mereka yang selama ini dimanfaatkan negara lain harus mampu dimanfaatkan bangsa kita sendiri. Artinya, perlu ada insentif, pembangunan infrastruktur, dan rencana kerja yang jelas untuk menempatkan mereka ke dalam pusat-pusat industri dalam negeri. Tentu, hal itu tidak mungkin berhasil secara instan, tapi harus berani dimulai, saat ini juga. Sekarang.

Kedua, jika mampu menyinergikan kekuatan diaspora Indonesia di luar negeri dengan di dalam negeri, kita bisa menaikkan citra dan posisi tawar bangsa di mata dunia. Indonesia tidak boleh hanya dikenal sebagai negara pengekspor TKI yang disemena-menai negara lain. Tapi, kita harus mau dan harus bisa menunjukkan bahwa kita mampu mengekspor tenaga kerja terdidik dengan kemampuan kelas dunia. Dengan demikian, posisi tawar bangsa kita di mata dunia bisa meningkat dan kemampuan diplomasi Indonesia di mata dunia menguat.

Baru-baru ini ada semacam kebangkitan baru dari luar negeri dan muncul beragam kepedulian besar dalam membangun dan menyinergikan kemampuan diaspora Indonesia di luar negeri. Misalnya, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), dan Congress Indonesian Diaspora (CID). Hal itu menunjukkan bahwa momentum mulai dibangun. Tantangannya adalah tinggal bagaimana melakukan channeling dari momentum itu, sehingga kemudian kekuatan-kekuatan diaspora di luar negeri tersebut bisa bertransformasi menjadi sebuah kekuatan ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya yang mampu mengangkat bukan hanya citra bangsa di luar negeri, namun juga kemampuan ekonomi, teknologi, diplomasi, serta budaya bangsa Indonesia di luar negeri. Saatnya kita berbicara sebuah nasionalisme baru untuk Indonesia. Nasionalisme yang tanpa batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar