Kamis, 13 September 2012

Tragedi WTC dan Terorisme di Indonesia


Tragedi WTC dan Terorisme di Indonesia
Nur Kholis Anwar ;  Director Center for Study of Islamic and Politic (CSIP)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 13 September 2012


Serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington DC pada 11 September 2001, secara langsung telah menggerakkan gelombang baru terorisme.

Mulai saat itu, Amerika Serikat (AS) mengobarkan semangat untuk menumpas terorisme global. Bahkan umat manusia seluruh dunia bersepakat bahwa peristiwa 11 September 2001 adalah tragedi kemanusiaan yang bertentangan dengan semua nilai luhur.

Kasus pengeboman tersebut tidak bisa hanya kita pandang sebagai peristiwa lokal di AS, dengan menghadapkan kekuatan negara Adidaya dengan gerakan Islam radikal.

Itu karena gerakan teror tersebut juga berdampak bagi Indonesia. Pascatragedi 11 September, di Indonesia terjadi serangan teror bom Bali pada 12 Oktober 2002. Hal inilah kemudian yang membawa arus internasionalisasi isu terorisme di Indonesia.

Di Indonesia, isu terorisme yang belakangan ini terjadi hendaknya kita sikapi dengan arif agar tidak merusak bangunan pluralisme dan kerukunan umat beragama. Hal yang lebih penting, dalam merespons isu terorisme hendaknya bangsa Indonesia tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, hak asasi manusia, dan tidak mengorbankan rakyat sipil.

Pada kampanye antiteroris yang dilakukan beberapa negara-negara ASEAN, secara langsung pihak negara Asia Tenggara menerapkan keamanan internal sebagai bentuk tanggung jawab dalam penangkapan teroris.

Namun seiring dengan terbentuknya keamanan internal itu, para teroris juga berafiliasi dan membendung kekuatan baru yang lebih besar untuk melancarkan misinya. Sampai saat ini, kekuatan teroris semakin menggelembung besar di Indoneisa.

Pada mulanya, terorisme tampak digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik terhadap masyarakat setempat. Terorisme juga menciptakan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, namun justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja.

Namun seiring dengan pergeseran waktu, terorisme semakin bertindak represif dalam melancarkan misinya. Tidak heran jika banyak teroris yang mengorbankan dirinya dengan melakukan bom bunuh diri.

Dalih jihad dan memberantas tindak kemunafikan selalu menjadi legitimasi ideologis mereka. Ideologi ini kemudian disebarluaskan kepada orang-orang yang sejalan dengan misinya. Hal inilah yang bisa menumbuhkembangkan benih-benih terorisme, terutama di Indonesia.

Mulyana W Kusumah dalam bukunya Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum (2002), menjelaskan terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).

Semangat Antiteror

Dengan sadar kita harus mengakui bahwa terorisme sudah mengakar kuat di Indonesia. Satu teroris mati maka akan tumbuh teroris-teroris baru yang lebih represif dan ekstrem. Fakta yang mengatakan bahwa matinya Amrozi CS secara langsung telah menyulut semangat terorisme yang lain untuk “membalas dendam” atas kematian Amrozi.

Itu karena terorisme sudah menjadi ideologi kuat yang bisa meruntuhkan negara. Terorisme bukan hanya gerakan jihad atau gerakan untuk mengungkap kebenaran, tapi juga gerakan yang mencoba merusak eksistensi negara.

Semangat Al-Khindi tentang kebenaran menjadi salah satu frame gerakan teroris untuk menjalankan misi jidahnya. Al-Khindi mengatakan bahwa kebenaran tidak bisa memihak. Kebenaran dimiliki oleh setiap manusia sesuai dengan kapasitas keilmuannya masing-masing. Namun, lanjut Al-Khindi, kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang pertama, yaitu Tuhan.

Kenyataan bahwa para teroris hanya mengambil serpihan kebenaran dari Al-Khindi yang mengambil langkah afirmasi. Pertanyaannya, mengapa dalam jihad di jalan Tuhan mereka harus menggunakan pengeboman? Hal ini tidak masuk akal dan tidak bisa diterima dalam negara.

Bahkan kekerasan simbolik seperti pengeboman gedung-gedung merupakan musuh negara. Dengan semangat, semua masyarakat Indonesia akan mengatakan bahwa terorisme adalah musuh negara yang harus dibasmi.

Saat ini Indonesia sedang berada dalam zona bahaya atau zona merah. Masivitas para teroris terus mengebiri keberadaan negara, bahkan presiden diancam akan dimusnahkan. Mau tidak mau, pemerintah harus bertindak tegas untuk memusnahkan ideologi terorisme yang mengakar kuat di indonesia.

Dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No 15 Tahun 2003, LN No 45 tahun 2003, TLN No 4284, Konsiderans jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional, serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme.

Menurut Mulyadi, tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se yang merupakan kejahatan terhadap hati nurani (crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh undang-undang (Mompang L Panggabean, 2003).

Semangat antiterorisme bangsa Indonesia menjadi senjata kita bersama untuk memusnahkan benih-benih terorisme. Di sinilah pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjaga keamanan dan stabilitas umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar