Hartati, Etnis Tionghoa, dan Korupsi
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis, Banyak menulis artikel masalah China atau
Tionghoa; Tinggal di Surabaya
|
SINAR
HARAPAN, 12 September 2012
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sudah menetapkan Hartati Murdaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan
suap penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Buol, Sulawesi
Tengah, (7 Agustus 2012).
Dia pada Jumat (7/9) diperiksa
KPK, tapi mendadak batal karena yang bersangkutan
konon sakit (kejang-kejang).
Penetapan itu bukan hanya
berdampak pada Hartati, tapi juga berimbas pada etnis Tionghoa. Jujur saja,
penulis sempat mendengar selentingan atau bisik-bisik, seolah semua etnis
Tionghoa yang jadi pengusaha di negeri ini dikenal gemar menyuap, mengemplang
pajak atau berkolusi dengan kekuasaan.
Etnis ini juga dianggap tidak
mendukung upaya pemberantasan korupsi, tidak berpihak pada KPK, karena adanya
tersangka korupsi yang kebetulan beretnis Tionghoa. Bahkan nilai-nilai
budayanya juga dianggap kontra produktif untuk pemberantasan korupsi.
Mungkin saja pendapat miring itu
ada benarnya untuk sekelompok kecil pengusaha Tionghoa, tapi jelas keliru bila
menggeneralisasi atau pukul rata seolah semua etnis Tionghoa tidak mendukung
upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Kambing Hitam
Generalisasi seperti itu muncul,
karena orang punya persepsi etnis Tionghoa itu homogen. Padahal faktanya, dari
latar belakang asal usul, agama, dialek, pilihan politik, etnis Tionghoa itu
heterogen.
Namun faktor rasisme mendorong
etnis ini untuk selalu dijadikan kambing hitam untuk semua hal buruk, termasuk
korupsi. Akibatnya ketika ada satu pengusaha Tionghoa dicap korup, etnis
Tionghoa yang lain juga merasakan dampaknya. Inilah tidak enaknya terlahir
sebagai etnis Tionghoa di Indonesia.
Lagi pula, siapa yang bisa
memilih mau terlahir sebagai etnis apa. Seorang peneliti dari Australia,
Charles Coppel, menggambarkan posisi etnis Tionghoa di Indonesia sering “serba
salah” (Tionghoa Indonesia dalam Krisis,
Jakarta: Sinar Harapan, 1993, hal 53).
Memang masyarakat belum bisa
disebut masyarakat yang sungguh bebas dari prasangka rasial, khususnya pada
etnis Tionghoa. Simak saja menjelang putaran kedua Pilgub DKI, Basuki Tjahaja
Poernama alias Ahok menjadi sasaran kampanye berbau SARA, karena agama dan
terlebih dia beretnis Tionghoa.
Adanya kampanye yang menyudutkan
Ahok adalah bukti betapa diskriminasi, tak mudah dihapus, meski sudah ada
regulasi tentang hal ini di negeri kita. Semua ini tentu tidak lepas dari
sejarah yang amat panjang mengenai pasang surut kehadiran etnis ini, mulai dari
era kolonialisme Belanda hingga sekarang.
Berdasar catatan sejarah, sejak
lama etnis Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”,
baik oleh raja-raja maupun penguasa kolonial. Di zaman prakolonial orang
Tionghoa sudah bekerja pada raja-raja kerajaan maritim, misalnya sebagai
syahbandar.
Misalnya Sultan Hamengku Buwono I
menugaskan orang Tionghoa untuk menarik pajak demi mengisi kas Kasultanan
Yogyakarta yang baru saja didirikannya (Peter
Carey:1984).
Kolonial Belanda yang memiliki
keterbatasan sumber daya manusia melihat Tionghoa bisa menjadi perantara antara
mereka dengan golongan pribumi. Belanda menjual berbagai macam pacht (atau hak pengelolaan) jalan,
candu, rumah gadai, dll.
Akhirnya golongan Tionghoa,
beberapa di antaranya menjadi sangat kaya karena memeras rakyat (atas perlindungan penguasa!) menjadi
minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, namun dibenci
rakyat.
Inilah yang sesungguhnya
diinginkan oleh penguasa kolonial, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau
“kambing hitam” di saat terjadi kerusuhan menentang penguasa (Sejarawan Didi Kwartanada, Manuskrip
Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern).
Akibatnya penilaian buruk
terhadap etnis ini tidak mudah hilang, meski negeri kita sudah 67 tahun
merdeka. Tidak heran ketika ada kesalahan satu orang atau segelintir etnis
Tionghoa maka ribuan bahkan jutaan Tionghoa lain akan ikut terkena getahnya.
Etnis ini hanya dipandang selalu punya pikiran licik dan niat jahat untuk
mengambil keuntungan dalam setiap kesempatan.
Dukung Pemberantasan Korupsi
Bukan bermaksud membuat
pembelaan, sebenarnya ada banyak elemen dan Ormas Tionghoa sejak lama mendukung
pemberantasan korupsi. Jadi secara umum, etnis Tionghoa, sebagaimana etnis
lain, punya kehendak baik dan tegas berada di belakang gerakan antikorupsi.
Dengan demikian, ketika ada upaya
kriminalisasi, pelemahan KPK, semisal dalam kasus simulator SIM dengan Polri, tentu
saja etnis Tionghoa berkeinginan semua bisa diusut tuntas. Siapa yang ingin
upaya pemberantasan korupsi yang sudah menampakkan hasil berkat kinerja KPK
sejak 2005 tiba-tiba menjadi “set back”
atau mundur.
Maka penulis berharap upaya
pemberantasan korupsi jangan sampai dibelokkan menjadi persoalan etnis, karena
seperti penulis ungkapkan berulang kali di berbagai media, persoalan korupsi
tak ada kaitanya dengan etnisitas. Coba simak para koruptor yang kini mendekam
di penjara berkat kinerja KPK. Korupsi ternyata dilakukan beragam etnis dari
Aceh hingga Papua.
Karena itu seperti harapan banyak
anak bangsa yang lain, segenap etnis Tionghoa yang punya integritas moral hanya
berharap pemberantasan korupsi dilakukan dengan tidak pandang bulu. Contohlah
China yang berani menghukum berat koruptor, bahkan mengeksekusi mereka di depan
umum, apa pun etnis dan agamanya.
Atau bila diperlukan, ada baiknya
Indonesia menyewa Tony Kwok Man-wai, investigator korupsi paling laris di dunia
saat ini. Bayangkan, Tony sudah berpengalaman selama 27 tahun (1975-2002) di
Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (ICAC).
Pada saat KPK-nya Hong Kong itu
pertama berdiri pada 1974, angka korupsi birokrasi mencapai 86 persen dari
semua laporan yang masuk. Pada 1999 angka itu tinggal 41 persen. Contoh
keberhasilan lain bisa dilihat di korupsi di kepolisian. Pada 1974, jumlahnya
mencapai 45 persen. Tapi, pada 1999, angkanya tinggal 16 persen.
Menurut Tony, kunci memberantas
korupsi adalah pencegahan, pendidikan, dan penciptaan hambatan supaya kejahatan
yang sama tidak muncul lagi. Tidak
heran, setidaknya pemerintahan di 21 negara di berbagai benua telah menggunakan
jasanya, termasuk 10 pemerintahan kota di China.
Negeri kita dijamin tidak akan
rugi jika mengontrak Tony, sebagaimana Filipina dan Nigeria yang telah
merasakan manfaat dari kehadiran Tony. Nama Tony sudah menjadi garansi
tersendiri dalam pemberantasan korupsi di level dunia. Bersama Tony,
pemberantasan korupsi bukan menjadi wacana belaka.
Jadi bila memang ada koruptor beretnis
Tionghoa, adili saja dan hukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di
negeri ini. Namun sekali-kali, jangan hukum semua etnis Tionghoa, yang tidak
korupsi dengan stempel negatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar