Senin, 10 September 2012

Bacaan Anak sebagai Kekuatan Literer


Bacaan Anak sebagai Kekuatan Literer
Sofie Dewayani ;  Pengajar di ITB dan Penulis Buku Anak
MEDIA INDONESIA, 10 September 2012


KONGRES internasional bacaan anak ke-33 yang diselenggarakan International Board on Books for Young People (IBBY) di London, Inggris, akhir Agustus lalu, baru saja usai. Kongres yang diselenggarakan setiap dua tahun itu kali ini mengusung tema Crossing the boundary: translation and migration. Melalui perbincangan kritis tentang persoalan konstruksi identitas dan pemaknaan ‘masa kanak-kanak’ (childhood) dalam cerita, penulis, ilustrator, penerjemah, penerbit, pustakawan, pendongeng, dan peneliti dari seluruh dunia membahas makna dan peran bacaan anak di era keragaman budaya ini.

Multikulturalisme telah menjadi isu kontemporer dunia saat ini. Anak-anak bukan hanya menjadi saksi, melainkan juga korban alienasi sosial, intoleransi, dan penghakiman dari mayoritas sebagai akibat dari meningkatnya migrasi antarnegara, juga kekerasan dalam konflik antarras dan agama di banyak negara.

Buku anak tidak hanya merekam pengalaman itu, tapi juga menyebarkannya ke penjuru dunia. Melalui buku, anak mengenali fenomena sosial di belahan dunia lain yang beragam, kompleks, dan sering tidak adil.

Subjektivitas dalam Seni

Sebagai media pembelajaran, buku anak sering berfungsi untuk mengajarkan nilai pluralisme, toleransi, dan keadilan sosial. Namun, tujuan edukatif itu kini dianggap terlalu tendensius. Beberapa karya yang diperbincangkan dalam kongres--seperti The Arrival dan The Lost Thing, karya penulis dan ilustrator Shaun Tan, juga puisi-puisi Michael Rosen--meneguhkan nilai pluralisme itu tidak diajarkan secara eksplisit, tetapi dikonstruksi pembaca anak melalui kisah-kisah yang ditulis secara jujur dan subjektif.

Kongres IBBY ke-33 memberikan apresiasi tinggi kepada buku anak yang menyuguhkan tema-tema pluralisme secara artistik. Dalam penyajian itu, anak disuguhi potret jujur tentang kegamangan, pencarian identitas, dan kehilangan.

Semuanya disajikan melalui kisah keseharian, misalnya cerita makhluk aneh yang tak seorang pun tahu dari mana dia berasal (The Lost Thing, Shaun Tan). Tema-tema ‘muram’ itu tentunya menggambarkan evolusi paradigma masyarakat Barat tentang anak-anak (childhood). Pada awal kemunculannya di abad ke-19, cerita anak dituntut menyiarkan kegembiraan dan pesan moral yang eksplisit karena anak-anak diyakini sebagai makhluk polos yang harus dididik tentang banyak hal. Selain itu, anak-anak harus selalu bergembira karena kesedihan akan merapuhkan mereka.

Shaun Tan, Michael Rosen, dan banyak penulis buku anak lain agaknya menafsirkan ‘kegembiraan’ itu dengan pendekatan berbeda. Di tangan mereka, kegembiraan diramu dengan cara pandang khas anak dalam menghadapi problema hidup. Dalam The Sad Book misalnya, Michael Rosen bercerita tentang kesedihannya saat anak lelakinya meninggal. Ilustrasi karya Quentin Blake membungkus cerita sedih itu dengan humor. Pembaca akan dibuat tersenyum saat Michael Rosen menegaskan bahwa kesedihan itu wajar dan banyak cara bisa dilakukan untuk mengatasinya. Anakanak mengatasi kesedihan dengan caranya sendiri. Cara pandang khas anak itu menjadi kekuatan buku-buku yang didiskusikan dalam kongres.

Michael Rosen dibesarkan dalam keluarga Yahudi yang miskin sehingga puisi-puisinya memuat pertanyaan dan ekspresi naif Michael kecil, misalnya tentang mengapa ibunya memenuhi lemari dapur dengan daging kaleng (corned beef), juga tentang mengapa bapaknya berbohong kepada sebuah toko mainan agar mendapatkan pengganti mainan yang dirusaknya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut lumrah ditanyakan anak di seluruh dunia. Yang unik mungkin ialah pertanyaan itu disajikan tanpa dikemas dalam nasihat dan pesan moral yang kentara.

Buku anak merupakan teks yang tak final, kata Shaun Tan. Tugas pembaca anak yaitu menyempurnakannya dengan interpretasi, imajinasi, dan daya kritis mereka. Buku-buku Shaun Tan yang miskin teks-bahkan sering tanpa teks sama sekali--menampilkan gambargambar makhluk tak bernama yang merasa canggung, terasing, bahkan kesepian. Karena lahir sebagai keturunan campuran beberapa ras--China, Malaysia, dan Kaukasia--Shaun Tan tak mengelak bahwa kisah-kisah itu merefleksikan sebagian dari dirinya. Namun, keterasingan itu universal.

Anak-anak akan membangun konsep alienasi dengan pengalaman mereka yang unik. Melalui gambar FREDY makhluk-makhluk fantasi ciptaannya, Shaun Tan mengundang anak untuk menciptakan kisah mereka sendiri, lalu membaca refleksi diri mereka dalam kisah itu. Anak adalah pembaca yang aktif mengonstruksi makna. Penulis-penulis itu, sebagaimana ditegaskan juga oleh kongres, menegaskan bahwa buku sebaiknya tidak menganggap anak sebagai pembaca pasif yang hanya dijejali makna ciptaan orang dewasa.

Tak Ada Dikotomi

Di negara tempat buku-buku tersebut beredar, buku anak digunakan sebagai media dialog. Buku-buku fiksi anak memicu pertanyaan dan refleksi kritis di ruang kelas dan perpustakaan. Dengan fungsi itu, tak ada lagi dikotomi antara buku fiksi komersial dan buku pelajaran. Ketika anak menemukan kenikmatan dan daya kritis mereka terusik saat membaca kisah fiksi, mereka telah mempelajari sesuatu yang sangat berharga. Terlebih, buku-buku fiksi juga menyajikan tema-tema kesetaraan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Selain itu, buku-buku bergambar disajikan dengan ilustrasi manual yang detail dan artistik. Estetika tersebut tidak hanya mengembangkan rasa keindahan anak, tetapi juga memanjakan mata pembaca dewasa. Maka, anggapan bahwa buku anak hanya dapat dinikmati anak pun terpatahkan. Kongres juga menunjukkan ilustrasi buku anak dapat bernuansa monokrom, sephia, putih, atau hanya didominasi beberapa warna tertentu. 
Tren kuno bahwa buku anak harus berwarna-warni dan mencolok mata pun ditinggalkan.

Dalam rentang sejarah evolusi buku anak, kondisi perbukuan di Indonesia agaknya dapat disetarakan dengan situasi di awal abad ke-20 di Eropa dan Amerika. Di masa itu, anak-anak dianggap berada dalam fase the age of innocence sehingga buku-buku yang sesuai dengan mereka hanyalah buku yang ‘menghibur’ dan sarat nilai moral. Setiap negara tentu memiliki derap laju literasi yang unik dan mengakar pada kebutuhan dan konteks budaya lokal. Namun tanpa kreativitas dan inovasi dalam menggali potensi artistik khas Indonesia, nama Indonesia akan terdengar semakin samar di panggung literasi anak dunia.

Sebagai perbandingan, negara-negara yang masih bergelut dengan angka buta huruf seperti India, Thailand, dan Kamboja telah berupaya mengejar standar literer dunia Barat dengan menggunakan potensi budaya mereka. Negara Asia seperti Singapura, Korea, dan Jepang sudah terlebih dulu mencuri perhatian dengan kisah yang sederhana tetapi fi losofi s, juga ilustrasi imajinatif yang khas anak. Perlu juga dicatat, peta perbukuan anak tidak lagi didominasi negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Perhatian mulai teralih kepada negara-negara seperti Meksiko, Slovenia, dan Iran yang secara inovatif mulai memproduksi buku untuk anak berkebutuhan khusus. Penghargaan tertinggi dalam kreasi buku anak, yaitu Hans Christian Andersen Award, bahkan diraih penulis Maria Teresa Andruetto dari Argentina dan ilustrator Peter Sis dari Republik Ceko.

Sementara itu, Indonesia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Produksi buku anak masih berfokus kepada buku-buku yang mudah diserap dan memanjakan selera pasar. Penerbit pun belum berani berspekulasi dan bereksperimen dengan memproduksi buku-buku artistik yang tentu lebih mahal.

Penghargaan finansial kepada ilustrator masih belum memadai sehingga ilustrator buku anak belum mengerahkan kemampuan artistiknya secara maksimal. Dengan minat baca dan daya beli masyarakat yang masih rendah, tak mengherankan apabila dunia perbukuan anak masih didominasi buku bergambar terjemahan--karena membeli hak cipta jauh lebih murah-dan buku sarat pesan moral yang sudah terbukti dikehendaki pasar.

Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia untuk mengatasi ketertinggalan di kancah literasi anak dunia. Dalam lingkup nasional, kritik dan apresiasi terhadap sastra anak masih berada di wilayah marginal dunia sastra.

Kita membutuhkan forum penghargaan sastra anak untuk mendorong produksi buku anak secara artistik, baik secara visual, narasi, maupun kedalaman makna. Apresiasi sastra diperlukan untuk menciptakan standar literer dalam bacaan anak dan memberikan alternatif terhadap dominasi pasar dalam produksi buku anak. Akhir kata, selamat merayakan Hari Literasi Internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar