Senin, 10 September 2012

Akar Budaya Pertumbuhan Gerakan Teroris

Akar Budaya Pertumbuhan Gerakan Teroris
Al Chaidar ;  Dosen Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
MEDIA INDONESIA, 10 September 2012


UNTUK memahami gerakan teroris yang terjadi akhir akhir ini di Surakarta dan Jakarta, kita harus menilik beberapa kejadian teror yang melibatkan kalangan radikal dan fundamentalis Islam sejak 1999.

Gerakan Jamaah Islamiyah (JI), yang pada awalnya Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII), membuat sebuah doktrin gerakan yang disebut dengan `Doktrin Hambali'. Doktrin tersebut memerintahkan serangan pada Syawal terhadap orang-orang atau lembaga yang dianggap sebagai hegemoni bukan muslim. Jika Hari Raya Idul Fitri secara kebetulan berdekatan dengan 17 Agustus, serangan akan ditujukan kepada aparat atau orang-orang yang dianggap sebagai wakil dari momen nasional. Maka, polisi pun diserang pada 17, 18, dan 19 Agustus 2012 di Surakarta, Jawa Tengah. Doktrin itu mulai dipraktikkan sejak 2000 dengan menyerang simbol-simbol dan lembaga yang diwakili simbol yang bukan muslim. Pada 2000, perayaan Idul Fitri kebetulan berdekatan dengan Hari Natal dan serangan dilakukan ke gereja di 17 kota pada malam Natal.

Teroris dengan muatan target lokal tidak meninggalkan target tradisional mereka, yaitu Amerika Serikat dan sekutu Baratnya. Serangan 11 September 2001, dan pengeboman di Casablanca, Istanbul, Riyadh, Madrid, London, Mumbai, dan tempat lain telah meningkatkan kekhawatiran tentang ancaman teroris dan panggilan baru untuk lebih memahami akar atau penyebab terorisme.

Secara historis, ada pandangan berbeda tentang pertanyaan tersebut dan terorisme telah dinyatakan disebabkan peningkatan populasi, peningkatan kemiskinan, urbanisasi yang cepat, penurunan otoritas globalisasi, tradisional, dll. Terorisme menunjukkan adanya perspektif yang berbeda, yang mencerminkan filsafat, agama, politik, dan perbedaan lainnya, tidak hanya akademik, karena mereka dapat memengaruhi pemahaman kita baik tentang ancaman maupun tanggapan terhadap terorisme.

Penciptaan Dukungan

Membicarakan fenomena terorisme terlalu kompleks dan beragam penyebab. Setiap manifestasi dari terorisme harus dipahami dalam konteks dan kondisi yang mendasari, faktor yang berkontribusi terhadap risiko terorisme dan bahkan mung kin penyebab munculnya tindakan tertentu. Terkait dengan penyebab (nyata dan dirasakan) kasus terorisme, salah mengatasi penyebab bisa menjadi kontraproduktif. Respons terhadap munculnya ancaman akan terpengaruh oleh paham penyebab terorisme, termasuk kondisi yang menciptakan dukungan terhadap terorisme dan bantuan perekrutan.

Sejumlah serangan lain setelah 11 September 2001 telah meningkatkan kekhawatiran tentang ancaman teroris dan panggilan baru untuk lebih memahami akar lebih memahami atau penyebab terorisme. Secara historis dan hari ini, ada pandangan berbeda pada pertanyaan itu, yang mencerminkan filsafat, agama, perbedaan politik, dan lainnya.

Kita mungkin dapat membedakan terorisme dengan kondisi yang mendasari, kontribusi terhadap risiko terorisme, dan bahkan mungkin penyebab tindakan tertentu. Tanggapan terhadap ancaman yang timbul mungkin tidak dipengaruhi pengetahuan kita tentang motivasi teroris, tetapi pemahaman kita tentang terorisme determinan. Kondisi yang menciptakan dukungan terhadap terorisme dan perekrutan bantuan pun sangat penting.

Jika, misalnya, seseorang percaya bahwa terorisme memiliki akar politik yang muncul dalam kondisi politik tertentu seperti konflik etnik atau nasionalis, untuk memeranginya butuh pengubahan kondisi politik dari mana ia muncul. Demokrasi sering dipandang sebagai solusi dalam konteks tersebut. Jika seseorang percaya terorisme tumbuh subur di tengah kemiskinan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi merupakan pusat solusi. Dengan demikian, kita harus melakukan segala kemungkinan untuk memahami alasan terorisme dilakukan, termasuk serangan oleh jihadis global pada 11 September 2001 dan akibatnya.

DI, suatu komunitas keagamaan Islam yang bersifat tertutup dan radikal di Indonesia, memang tidak mengakui pemisahan kegiatan manusia dalam domain-domain kegiatan keagamaan di satu pihak, dengan domaindomain kegiatan sekuler (duniawi) di pihak lain. Islam mewujudkan dirinya sebagai dien atau cara hidup yang seimbang dengan konsepsi yang komprehensif mengenai ibadah, meliputi keseluruhan aspek kehidupan individu dan sosial, berdasarkan prinsip-prinsip tauhid, mulkiyah, khilafah, risalah, syariah, dan ijtihad.

Jihad dan Ijtihad

Di dalam Islam ada dua istilah yang menjadi pilar kemajuan dan kekuatan Islam. Keduanya berasal dari kata yang sama, yakni jihad dan ijtihad. Kedua-duanya berasal dari kata jahada, yang bermakna bersungguh-sungguh, memaksimalkan daya dalam melaksanakan sesuatu. Pada masa awal pergerakan DI di 1940-an dan 1950-an, jihad mereka berdasarkan ijtihad melalui proses diskursus yang panjang.

Dalam perkembangan gerakan DI berikutnya (1962 hingga 1998), kata jihad dan ijtihad digunakan untuk lapangan yang berbeda. Jihad bermakna bersungguh-sungguh bekerja bekerja keras, memaksimalkan daya, dana, dan cara untuk menegakkan ajaran Islam. Adapun ijtihad bermakna bersung bersungguh-sungguh bekerja cerdas, memaksimalkan daya, dan cara untuk mengilmui ajaran Islam. Jihad diaplikasikan di bidang amal, sedang ijtihad diterapkan di bidang ilmu. Keduaduanya diklaim komunitas DI jadi prasyarat bagi kejayaan Islam. Namun secara bawah sadar, mereka telah meninggalkannya. Faktor-faktor dan situasi-situasi fungsional dan struktural apa yang telah memengaruhi proses devaluasi tersebut?

Terorisme yang berbasis agama sangat banyak dan beragam. Dari kalangan umat Islam, dikenal beberapa kelompok teroris yang umumnya terdiri dari kelompok radikal dan kaum fundamentalis. Kaum fundamentalis terlibat dalam konflik dengan musuh-musuh sekuler yang dicurigai membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan secara frontal dengan agama. Kaum fundamentalis tidak menganggap pertentangan frontal itu sebagai sebuah `arena bermain' (play ground), melainkan sebuah `medan perang' (battle field) yang serius, yang bukan sekadar sebuah perlawanan politik konvensional, melainkan menganggapnya sebagai sebentuk `perang kosmis' (cosmic war) antara kekuatan-kekuatan yang hak dan batil.

Untuk menghindarkan diri mereka dari `dunia buruk' dan menutup diri dari kontaminasi `perang kosmis' itu, kaum fundamentalis sering kali mundur dan menyempal dari mainstream masyarakat untuk menciptakan budaya tandingan (counter culture); dan kaum fundamentalis bukanlah kaum yang bermimpi di siang bolong. Mereka menyerap rasionalisme pragmatis dari modernitas, dan, di bawah bimbingan para pemimpin kharismatik kharismatik mereka, menyaring apa yang diperlukan dari dunia teknis un tuk membuat rencana aksi yang sering kali bersifat destruktif.

Kaum fundamentalis merasa mereka berperang melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam nilai-nilai yang sangat suci dari komunitas mereka dan reaksi mereka akan bersifat teror politik. Adapun kaum radikal Islam justru memandang memahami agama secara mengakar jauh lebih penting sebelum membuat rencana aksi yang cenderung bersifat kekerasan.

Garis Perjuangan

Kaum radikal Islam yang bangkit dengan garis yang berbeda, bahkan secara diametral berlawanan dengan fundamentalis, merupakan taksonomi pergerakan Islam yang mesti dilihat secara berhati-hati. Fakta bahwa fundamentalisme telah muncul dalam ledakan-ledakan kecil dan besar di semua budaya, baik budaya agama monoteis maupun politeis, mengindikasikan sebuah kekecewaan yang meluas terhadap masyarakat modern tempat banyak di antara kita malah merasakannya sebagai sesuatu yang membebaskan, menyenangkan, dan memberdayakan. Proyek-proyek yang secara kasatmata dipandang baik oleh kaum liberal, tempat kaum radikal Islam juga termasuk di dalamnya--seperti demokrasi, penciptaan perdamaian, kepedulian terhadap lingkungan, pembebasan wanita, atau kebebasan berbicara--dapat dipandang buruk, bahkan haram, oleh kaum fundamentalis.

Kaum fundamentalis sering kali mengekspresikan diri dengan kekerasan. Kekerasan itu ialah cara atau jalan paling sederhana yang memancar dari ketakutan mereka yang mendalam akan hancurnya komunitas, tradisi, nilai, dan budaya yang mereka anggap luhur. Bila dilihat dari latar belakang pendidikan, mereka adalah kaum intelektual--yang oleh Bruce Hoffman disebut sebagai violent intellectual--yang berusaha mencapai tujuan karena dimotivasi doktrin-doktrin agama yang mereka persepsikan secara berbeda (out of mainstream).

Menurut Scott Appleby, kemapanan kaum sekuler bertujuan menghapuskan keberadaan mereka sebagai kaum beragama dari muka bumi ini, sekalipun di AS sendiri. Kaum fundamentalis yakin respons mereka dengan kekerasan merupakan sebentuk perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang telah menakut-nakuti mereka selama ini.

Mustahil untuk menggeneralisasi bentuk-bentuk ekstrem kelompok agama karena mereka bukan hanya berbeda di tiap-tiap negara, tapi juga berbeda di tiap-tiap kota bahkan di tiap-tiap kampung dan desa. Hanya sebagian kecil kelompok fundamentalis yang setia dengan aksi-aksi teror, sedangkan banyak kaum radikal Islam bahkan sangat bersahabat, menginginkan perdamaian, berpengharapan pada hukum dan tata aturan, dan menerima nilai-nilai positif dari masyarakat modern.

Kaum teroris sebenarnya bukanlah kelompok baru dalam dunia pergerakan radikal dan fundamentalis di Indonesia. Kaum teroris merupakan gabungan dari inti ajaran fundamentalis dan radikal yang bertemu dalam satu titik perencanaan perang melawan apa yang mereka persepsikan sebagai `kezaliman'. Di Indonesia, kelompok yang dianggap teroris berjumlah kecil, yaitu Jamaah Islamiyah dan Darul Islam (terbatas pada faksi tertentu).

Ilustrasi pada naskah ini bisa menjelaskan hal tersebut. Dari ilustrasi itu, jelas terlihat bahwa terorisme Islam terbentuk dari overlapping of interest dari fundamentalisme dan radikalisme Islam. Dengan demikian, cara mengatasi terorisme pun, secara ideologis, ialah dengan memisahkan antara fundamentalisme Islam dan radikalisme Islam untuk tidak bertemu dalam satu wadah yang utuh. Jika pemisahan itu bisa dilakukan, terorisme akan mengalami kematian secara pelan-pelan.

Terorisme akan tumbuh subur ketika simbol dan hakikat bertemu. Jamaah Islamiyah pada awalnya bukanlah organisasi teroris, sedangkan Darul Islam yang mempraktikkan terorisme hanyalah sebagian kecil. Bagi kaum fundamentalis Islam di Indonesia, mereka merasa kultur liberal yang umumnya berasal dari Barat telah begitu menghancurkan entitas nilai-nilai luhur yang hidup dan bersemi di dalam komunitas mereka sejak lama.

Komando Jihad (1978), Usroh (1982), Teror Warman (1984), Peledakan Candi Borobudur (1985), Cicendo (1986), Pembajakan Pesawat Woyla (1987), Talangsari Jamaah Warsidi (1989), Bom Malam Natal (2000), Bom Bali, hingga Bom Hotel JW Marriott merupakan ekspresi emosi keagamaan kaum fundamentalis dan radikal Indonesia.

Di Indonesia, kaum fundamentalis berkembang ke arah kaum skripturalis. Mereka diidentifikasi dengan adanya literal interpretation terhadap teks-teks agama dan penajaman doktrin-doktrin inti tertentu seperti jihad dan syariat.
Dua inti ajaran itu ternyata sangat berpengaruh terhadap problem disharmoni antara kaum fundamentalis dan kaum sekuler, yang bisa berubah menjadi medan perang.

Pada gerakan-gerakan kaum fundamentalis Islam tertentu, yang di antaranya sangat tersohor dan berpengaruh seperti kaum Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI-TII), respons global terhadap kultur modern itu ditunjukkan dengan motivasi yang bersifat patologis-psikologis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar