Absurditas
Sertifikasi Ulama
Karim Suryadi ; Guru
Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia
|
KOMPAS,
22 September 2012
Wacana menyertifikasi ulama
terkait menghangat kembali isu terorisme merupakan perkara absurd dan
berbahaya.
Absurd karena status
keulamaan tak diberikan oleh pemerintah atau lembaga apa pun bentukan
pemerintah. Status dan derajat keulamaan muncul dari pengakuan masyarakat atas
ilmu, pengalaman, kearifan, serta komitmen keumatan seseorang. Kadar keulamaan
tak ditentukan ijazah meski beberapa ulama memilikinya.
Di beberapa tempat, ulama
diperankan sebagai ajaran Islam yang hidup. Hal ini terjadi karena masyarakat
percaya sosok ulama. Pada saat penggalan zaman sudah jauh dari masa kenabian
dan para sahabat, ulama jadi tempat untuk bertanya. Terminologi ulama sarat
muatan moral dan etik. Karena itu, ulama yang zuhud tetap menjaga
independensinya dan memelihara informalitasnya.
Selain absurd, wacana
sertifikasi ulama pun berbahaya karena menempatkan ulama pada front yang
berbeda dalam menanggulangi isu terorisme. Selain tak ada pesantren yang
menyuruh santrinya berbuat onar, apalagi teror, seorang ulama hanya boleh
dicurigai bila ada hubungan langsung dengan aksi teror.
Di pesantren pula para ulama
menanamkan rasa cinta Tanah Air. Sejarah pergerakan kebangsaan mencatat, ulama
dan pondok pesantren menjadi aktor kebangkitan kesadaran nasional. Bukan hanya
kebangkitan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan kebangsaan, melainkan hadir
sebagai organisasi perlawanan rakyat. Bahkan, menurut salah seorang ulama,
syair lagu yang kemudian dikenal sebagai lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” sudah
di-nadom-kan (disenandungkan) di pesantren-pesantren sebelum dikenal sebagai lagu
kebangsaan.
Sesat Pikir
Wacana sertifikasi ulama
merupakan produk sesat pikir dan ahistoris akibat salah pandang tentang pondok
pesantren di satu sisi dan kepanikan menghadapi ancaman teror di sisi lain.
Sesat pikir tentang pondok pesantren bukan baru kali ini terjadi. Beberapa
tahun lalu sempat muncul usulan menyensus pondok pesantren, bahkan melakukan
sidik jari terhadap para santri. Usulan ini mengemuka karena beberapa orang
yang dituduh sebagai pelaku teror tercatat sebagai alumnus atau pernah menjadi
santri pondok pesantren tertentu.
Di pesantren memang dibahas
bab jihad, seperti halnya juga di sekolah umum terdapat materi jihad pada
pelajaran agama, tetapi tidak pernah lantas dibentuk organisasi teroris. Hal
ini tak ubahnya dengan mahasiswa jurusan ekonomi yang belajar tentang
investasi, efisiensi, dan kiat-kiat jitu melipatgandakan keuntungan. Namun,
bila ada alumnus jurusan ilmu ekonomi menyalahgunakan teori yang dipelajarinya
untuk mengorup uang negara, lantas dosen dan direktur sekolah tinggi ekonomi
haruskah disertifikasi bebas korupsi? Mengapa ketika Azahari Husin, seorang
doktor dan insinyur yang mahir merakit bom, menebar teror di Indonesia,
almamaternya di Malaysia, Australia, dan Inggris tidak digugat?
Karena itu, tiga hal harus
jadi perhatian penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertama, bebaskan
penanggulangan terorisme dari stigma buruk terhadap pesantren dan ulama.
Tuduhan dan stigma buruk akan memaksa orang untuk membela diri, termasuk
melakukan perlawanan yang lalu mengukuhkan tuduhan buruk dimaksud.
Kedua, pertajam mata
intelijen agar bisa melakukan deteksi dini sekaligus membedakan potensi ancaman
dan pihak-pihak yang perlu dilindungi. Akurasi menjadi kata kunci bagi
intelijen agar langkah-langkah yang diambil tidak memakan biaya sosial yang
mahal.
Ketiga, tugas semua orang
menumbuhkan preferensi antiteror dengan menciptakan air antiteror sehingga
ikan-ikan terorisme menyempit ruang geraknya lalu mati. Langkah ini hanya akan
bisa dibangun bila semua orang memiliki kepedulian terhadap keamanan
lingkungannya.
Di atas segalanya, perlu komitmen bersama membongkar akar
kekerasan di Tanah Air. Ini penting agar tak ada lagi pihak-pihak yang
berkomunikasi dengan jalan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian perkaranya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar