Minggu, 23 September 2012

Absurditas Sertifikasi Ulama


Absurditas Sertifikasi Ulama
Karim Suryadi ;  Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia
KOMPAS, 22 September 2012


Wacana menyertifikasi ulama terkait menghangat kembali isu terorisme merupakan perkara absurd dan berbahaya.

Absurd karena status keulamaan tak diberikan oleh pemerintah atau lembaga apa pun bentukan pemerintah. Status dan derajat keulamaan muncul dari pengakuan masyarakat atas ilmu, pengalaman, kearifan, serta komitmen keumatan seseorang. Kadar keulamaan tak ditentukan ijazah meski beberapa ulama memilikinya.

Di beberapa tempat, ulama diperankan sebagai ajaran Islam yang hidup. Hal ini terjadi karena masyarakat percaya sosok ulama. Pada saat penggalan zaman sudah jauh dari masa kenabian dan para sahabat, ulama jadi tempat untuk bertanya. Terminologi ulama sarat muatan moral dan etik. Karena itu, ulama yang zuhud tetap menjaga independensinya dan memelihara informalitasnya.

Selain absurd, wacana sertifikasi ulama pun berbahaya karena menempatkan ulama pada front yang berbeda dalam menanggulangi isu terorisme. Selain tak ada pesantren yang menyuruh santrinya berbuat onar, apalagi teror, seorang ulama hanya boleh dicurigai bila ada hubungan langsung dengan aksi teror.

Di pesantren pula para ulama menanamkan rasa cinta Tanah Air. Sejarah pergerakan kebangsaan mencatat, ulama dan pondok pesantren menjadi aktor kebangkitan kesadaran nasional. Bukan hanya kebangkitan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan kebangsaan, melainkan hadir sebagai organisasi perlawanan rakyat. Bahkan, menurut salah seorang ulama, syair lagu yang kemudian dikenal sebagai lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” sudah di-nadom-kan (disenandungkan) di pesantren-pesantren sebelum dikenal sebagai lagu kebangsaan.

Sesat Pikir
Wacana sertifikasi ulama merupakan produk sesat pikir dan ahistoris akibat salah pandang tentang pondok pesantren di satu sisi dan kepanikan menghadapi ancaman teror di sisi lain. Sesat pikir tentang pondok pesantren bukan baru kali ini terjadi. Beberapa tahun lalu sempat muncul usulan menyensus pondok pesantren, bahkan melakukan sidik jari terhadap para santri. Usulan ini mengemuka karena beberapa orang yang dituduh sebagai pelaku teror tercatat sebagai alumnus atau pernah menjadi santri pondok pesantren tertentu.

Di pesantren memang dibahas bab jihad, seperti halnya juga di sekolah umum terdapat materi jihad pada pelajaran agama, tetapi tidak pernah lantas dibentuk organisasi teroris. Hal ini tak ubahnya dengan mahasiswa jurusan ekonomi yang belajar tentang investasi, efisiensi, dan kiat-kiat jitu melipatgandakan keuntungan. Namun, bila ada alumnus jurusan ilmu ekonomi menyalahgunakan teori yang dipelajarinya untuk mengorup uang negara, lantas dosen dan direktur sekolah tinggi ekonomi haruskah disertifikasi bebas korupsi? Mengapa ketika Azahari Husin, seorang doktor dan insinyur yang mahir merakit bom, menebar teror di Indonesia, almamaternya di Malaysia, Australia, dan Inggris tidak digugat?

Karena itu, tiga hal harus jadi perhatian penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertama, bebaskan penanggulangan terorisme dari stigma buruk terhadap pesantren dan ulama. Tuduhan dan stigma buruk akan memaksa orang untuk membela diri, termasuk melakukan perlawanan yang lalu mengukuhkan tuduhan buruk dimaksud.

Kedua, pertajam mata intelijen agar bisa melakukan deteksi dini sekaligus membedakan potensi ancaman dan pihak-pihak yang perlu dilindungi. Akurasi menjadi kata kunci bagi intelijen agar langkah-langkah yang diambil tidak memakan biaya sosial yang mahal.

Ketiga, tugas semua orang menumbuhkan preferensi antiteror dengan menciptakan air antiteror sehingga ikan-ikan terorisme menyempit ruang geraknya lalu mati. Langkah ini hanya akan bisa dibangun bila semua orang memiliki kepedulian terhadap keamanan lingkungannya. 

Di atas segalanya, perlu komitmen bersama membongkar akar kekerasan di Tanah Air. Ini penting agar tak ada lagi pihak-pihak yang berkomunikasi dengan jalan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian perkaranya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar