Defisit
Perdagangan
Helmi Arman ; Country
Economist Citibank Indonesia
|
KOMPAS,
22 September 2012
Dengan semakin membengkaknya
defisit neraca perdagangan, kenaikan harga bahan bakar minyak merupakan
kebijakan yang perlu diusulkan kembali.
Selama beberapa bulan
terakhir, neraca perdagangan Indonesia mulai beranjak dari surplus menjadi
defisit. Hal ini terjadi menyusul turunnya kinerja ekspor, seiring melemahnya
perekonomian global dan harga-harga komoditas mentah. Sementara itu, kebutuhan
impor tetap tinggi seiring dengan kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik.
Defisit perdagangan
Indonesia memang belum mencapai tahap membahayakan dan pertumbuhan impor sejauh
ini ditopang pula oleh barang-barang modal, yang pada akhirnya bisa
meningkatkan kapasitas industri domestik. Namun, respons kebijakan tetaplah
diperlukan agar defisit tersebut bisa dikendalikan ke tingkat yang lebih aman.
Cadangan devisa berada pada tren menurun beberapa kuartal terakhir, seiring
meningkatnya tekanan pembelian dollar di pasar valas. Bila tren ini terus
berlanjut, ketahanan Indonesia dalam menghadapi berbagai gejolak eksternal akan
berangsur melemah.
Indikator Kerentanan
Beberapa indikator
kerentanan eksternal, seperti rasio cadangan devisa terhadap utang luar negeri
dan rasio utang luar negeri terhadap ekspor, kelihatan mulai berbalik arah
beberapa kuartal terakhir. Padahal, perbaikan rasio-rasio ini selama satu
dasawarsa terakhir merupakan faktor penting dalam perbaikan peringkat utang
Indonesia (jadi investment grade) sejak akhir 2011.
Masalah ini memang sudah
mulai mendapat perhatian dari otoritas moneter. BI mulai legawa merefleksikan
tekanan neraca perdagangan pada nilai tukar dan juga telah menaikkan suku bunga
Fasilitas Simpanan Bank Indonesia 0,25 persen pada Agustus. Nilai tukar rupiah
yang lebih lemah seyogianya bisa membantu mengurangi defisit perdagangan karena
barang impor jadi lebih mahal, sementara kenaikan suku bunga mungkin akhirnya
bisa membantu menahan laju pertumbuhan konsumsi.
Namun, dari sisi otoritas
fiskal, belum jelas betul apakah perhatiannya berada pada tingkat sama. Memang
sudah ada beberapa kebijakan mikrosektoral untuk mengurangi impor, yakni
insentif-insentif untuk perpanjang rantai produksi dan investasi pada industri
pembuat barang modal. Namun, hasil kebijakan-kebijakan ini baru terlihat dalam
jangka panjang, sementara dibutuhkan juga respons kebijakan yang berdampak
lebih cepat. Data perdagangan hingga Juli menunjukkan impor nonmigas masih
tumbuh relatif cepat.
Pertumbuhan konsumsi domestik pun terlihat masih cukup
kuat, seperti ditunjukkan oleh indeks keyakinan konsumen yang masih meningkat,
Agustus. Kebijakan bank sentral dan pemerintah yang terkoordinasi dan
antisipatif terhadap kemungkinan memburuknya defisit perdagangan jelas sangat
dibutuhkan.
Belakangan ini terjadi
perdebatan di ranah publik mengenai kemungkinan perekonomian Indonesia sudah
overheating atau tumbuh terlalu cepat dibandingkan tingkat potensialnya.
Menurut sejumlah pejabat publik, Indonesia tak mengalami overheating, merujuk
pada inflasi yang masih di kisaran 4-5 persen. Tingkat inflasi, baik di level
konsumen maupun perdagangan, besar memang masih terkendali. Namun, penentuan
kebijakan haruslah memperhatikan pula keseimbangan eksternal (neraca
perdagangan), selain keseimbangan internal (inflasi).
Berbagai industri manufaktur
hilir dan hulu kita secara struktural mengalami kelebihan permintaan.
Contohnya, pasar produk baja dan tekstil yang kapasitas produksi domestik terbatas
dan produk-produk impor beredar secara luas. Dalam keadaan demikian,
pertumbuhan permintaan yang tinggi memang tak mesti berakibat pada naiknya
harga-harga barang, tetapi akan lebih terlihat pada relatif tingginya nilai
impor dan gangguan pada keseimbangan eksternal.
Fiskal Stimulatif
Kebijakan-kebijakan dalam
RAPBN 2013 haruslah memperhatikan perkembangan ini. Banyak pengamat dan
politisi mengatakan, RAPBN 2013 kurang stimulatif terhadap perekonomian.
Mungkin perlu diingat lagi bahwa subsidi energi yang dianggarkan Rp 275 triliun
(setara 3 persen dari PDB) merupakan stimulus yang sangat besar bagi
pertumbuhan konsumsi domestik. Ia juga berdampak langsung pada defisit neraca
perdagangan melalui tingginya impor migas.
Sejak paruh pertama tahun
ini, surplus ekspor gas sudah tidak bisa lagi menutupi defisit pada neraca
minyak sehingga neraca migas ikut menyumbang pada memburuknya defisit neraca
perdagangan Indonesia. Dengan harga minyak dunia yang belakangan ini merangkak
naik, tekanannya bisa semakin tajam ke depannya. Apalagi rencana lanjutan
kebijakan konversi BBM dan pembatasan konsumsi selalu mengalami berbagai
kendala dalam implementasinya.
Jelas bahwa salah satu
kebijakan di ranah fiskal yang bisa dilakukan dalam rangka mengelola defisit
perdagangan adalah kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM bersubsidi
memang akan menyebabkan kenaikan tingkat inflasi. Namun, ia akan mengurangi
impor BBM sekaligus menahan laju pertumbuhan konsumsi domestik ke tingkat yang
lebih berkesinambungan (yang pada akhirnya membantu menurunkan defisit
perdagangan). Ia juga akan membuat postur APBN menjadi lebih sehat mengingat
belanja subsidi saat ini sudah jauh melebihi anggaran belanja infrastruktur.
RAPBN 2013 sudah tak
seharusnya dirancang dalam konteks memberikan ”stimulus fiskal bagi
perekonomian” (mengutip Nota Keuangan RAPBN 2013). Langkah-langkah yang telah
diambil otoritas moneter untuk mengelola defisit perdagangan hendaklah diikuti
kebijakan fiskal yang selaras agar penyesuaian-penyesuaian yang terjadi pada
nilai tukar dan suku bunga tak terlalu tajam, seperti pada pengalaman 2005 dan
2008.
Kesinambungan pertumbuhan ekonomi jangka panjang haruslah diutamakan di
atas pertimbangan politik jangka pendek. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar