Minggu, 23 September 2012

Defisit Perdagangan


Defisit Perdagangan
Helmi Arman ;  Country Economist Citibank Indonesia
KOMPAS, 22 September 2012


Dengan semakin membengkaknya defisit neraca perdagangan, kenaikan harga bahan bakar minyak merupakan kebijakan yang perlu diusulkan kembali.

Selama beberapa bulan terakhir, neraca perdagangan Indonesia mulai beranjak dari surplus menjadi defisit. Hal ini terjadi menyusul turunnya kinerja ekspor, seiring melemahnya perekonomian global dan harga-harga komoditas mentah. Sementara itu, kebutuhan impor tetap tinggi seiring dengan kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik.
Defisit perdagangan Indonesia memang belum mencapai tahap membahayakan dan pertumbuhan impor sejauh ini ditopang pula oleh barang-barang modal, yang pada akhirnya bisa meningkatkan kapasitas industri domestik. Namun, respons kebijakan tetaplah diperlukan agar defisit tersebut bisa dikendalikan ke tingkat yang lebih aman. 

Cadangan devisa berada pada tren menurun beberapa kuartal terakhir, seiring meningkatnya tekanan pembelian dollar di pasar valas. Bila tren ini terus berlanjut, ketahanan Indonesia dalam menghadapi berbagai gejolak eksternal akan berangsur melemah.

Indikator Kerentanan
Beberapa indikator kerentanan eksternal, seperti rasio cadangan devisa terhadap utang luar negeri dan rasio utang luar negeri terhadap ekspor, kelihatan mulai berbalik arah beberapa kuartal terakhir. Padahal, perbaikan rasio-rasio ini selama satu dasawarsa terakhir merupakan faktor penting dalam perbaikan peringkat utang Indonesia (jadi investment grade) sejak akhir 2011.

Masalah ini memang sudah mulai mendapat perhatian dari otoritas moneter. BI mulai legawa merefleksikan tekanan neraca perdagangan pada nilai tukar dan juga telah menaikkan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia 0,25 persen pada Agustus. Nilai tukar rupiah yang lebih lemah seyogianya bisa membantu mengurangi defisit perdagangan karena barang impor jadi lebih mahal, sementara kenaikan suku bunga mungkin akhirnya bisa membantu menahan laju pertumbuhan konsumsi.

Namun, dari sisi otoritas fiskal, belum jelas betul apakah perhatiannya berada pada tingkat sama. Memang sudah ada beberapa kebijakan mikrosektoral untuk mengurangi impor, yakni insentif-insentif untuk perpanjang rantai produksi dan investasi pada industri pembuat barang modal. Namun, hasil kebijakan-kebijakan ini baru terlihat dalam jangka panjang, sementara dibutuhkan juga respons kebijakan yang berdampak lebih cepat. Data perdagangan hingga Juli menunjukkan impor nonmigas masih tumbuh relatif cepat. 

Pertumbuhan konsumsi domestik pun terlihat masih cukup kuat, seperti ditunjukkan oleh indeks keyakinan konsumen yang masih meningkat, Agustus. Kebijakan bank sentral dan pemerintah yang terkoordinasi dan antisipatif terhadap kemungkinan memburuknya defisit perdagangan jelas sangat dibutuhkan.

Belakangan ini terjadi perdebatan di ranah publik mengenai kemungkinan perekonomian Indonesia sudah overheating atau tumbuh terlalu cepat dibandingkan tingkat potensialnya. Menurut sejumlah pejabat publik, Indonesia tak mengalami overheating, merujuk pada inflasi yang masih di kisaran 4-5 persen. Tingkat inflasi, baik di level konsumen maupun perdagangan, besar memang masih terkendali. Namun, penentuan kebijakan haruslah memperhatikan pula keseimbangan eksternal (neraca perdagangan), selain keseimbangan internal (inflasi).

Berbagai industri manufaktur hilir dan hulu kita secara struktural mengalami kelebihan permintaan. Contohnya, pasar produk baja dan tekstil yang kapasitas produksi domestik terbatas dan produk-produk impor beredar secara luas. Dalam keadaan demikian, pertumbuhan permintaan yang tinggi memang tak mesti berakibat pada naiknya harga-harga barang, tetapi akan lebih terlihat pada relatif tingginya nilai impor dan gangguan pada keseimbangan eksternal.

Fiskal Stimulatif
Kebijakan-kebijakan dalam RAPBN 2013 haruslah memperhatikan perkembangan ini. Banyak pengamat dan politisi mengatakan, RAPBN 2013 kurang stimulatif terhadap perekonomian. Mungkin perlu diingat lagi bahwa subsidi energi yang dianggarkan Rp 275 triliun (setara 3 persen dari PDB) merupakan stimulus yang sangat besar bagi pertumbuhan konsumsi domestik. Ia juga berdampak langsung pada defisit neraca perdagangan melalui tingginya impor migas.

Sejak paruh pertama tahun ini, surplus ekspor gas sudah tidak bisa lagi menutupi defisit pada neraca minyak sehingga neraca migas ikut menyumbang pada memburuknya defisit neraca perdagangan Indonesia. Dengan harga minyak dunia yang belakangan ini merangkak naik, tekanannya bisa semakin tajam ke depannya. Apalagi rencana lanjutan kebijakan konversi BBM dan pembatasan konsumsi selalu mengalami berbagai kendala dalam implementasinya.

Jelas bahwa salah satu kebijakan di ranah fiskal yang bisa dilakukan dalam rangka mengelola defisit perdagangan adalah kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM bersubsidi memang akan menyebabkan kenaikan tingkat inflasi. Namun, ia akan mengurangi impor BBM sekaligus menahan laju pertumbuhan konsumsi domestik ke tingkat yang lebih berkesinambungan (yang pada akhirnya membantu menurunkan defisit perdagangan). Ia juga akan membuat postur APBN menjadi lebih sehat mengingat belanja subsidi saat ini sudah jauh melebihi anggaran belanja infrastruktur.

RAPBN 2013 sudah tak seharusnya dirancang dalam konteks memberikan ”stimulus fiskal bagi perekonomian” (mengutip Nota Keuangan RAPBN 2013). Langkah-langkah yang telah diambil otoritas moneter untuk mengelola defisit perdagangan hendaklah diikuti kebijakan fiskal yang selaras agar penyesuaian-penyesuaian yang terjadi pada nilai tukar dan suku bunga tak terlalu tajam, seperti pada pengalaman 2005 dan 2008. 

Kesinambungan pertumbuhan ekonomi jangka panjang haruslah diutamakan di atas pertimbangan politik jangka pendek. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar