Minggu, 23 September 2012

Meredam Pertikaian Macan-macan Asia


Meredam Pertikaian Macan-macan Asia
Rene L Pattiradjawane ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 22 September 2012


Ancaman perang di kawasan Asia, khususnya atas Kepulauan Senkaku (Diaoyu menurut China), bisa menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Klaim tumpang tindih atas kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau tanpa penghuni di kawasan Laut China Timur itu memanas dalam beberapa pekan terakhir ini tanpa ada tanda-tanda peredaan ketegangan.

Ketegangan yang berkepanjangan atas Kepulauan Diaoyu, yang disebut Senkaku oleh Jepang, secara keseluruhan mencakup lingkup sejarah panjang dan perasaan nasionalisme yang ditimbulkan. Pihak Jepang mengklaim kepulauan tersebut pada akhir tahun 1800-an, yang dilihat oleh pihak China sebagai upaya awal kekuasaan imperial untuk memaksakan kehendak di wilayah tersebut.

Di sisi lain, ketegangan juga disebabkan karena sumber alam yang dikandung di kawasan tersebut. Persepsi tentang kekayaan alam minyak dan gas dimulai dari berbagai studi beberapa dekade terakhir ini, yang memperkirakan adanya cadangan minyak sangat besar di sekitar kepulauan tersebut.

Sepertinya kemenangan Yoshihiko Noda dari Partai Demokrat Jepang (DPJ) dalam pemilu internal partai, yang memperpanjang masa jabatannya sebagai PM Jepang, bisa mengarah pada konflik terbuka atas Kepulauan Senkaku dengan China.

Bibit-bibit nasionalisme di daratan China dan Jepang sepertinya berhasil mendorong agendanya sendiri ketimbang mengarahkan ketegangan dan meyakinkan publik masing-masing pihak bahwa konfrontasi akan merugikan semua pihak. Ini tampak jelas pada unjuk rasa anti-Jepang di daratan China. Sementara para penguasa di Tokyo pun terjebak pada pendapat umum dalam melihat kebangkitan China sebagai ancaman nyata di Asia.

Polemik Tersendiri
Emosi sentimen nasionalisme akibat konflik klaim tumpang tindih di Laut China Timur menjadi titik api yang bisa menyulut kembali perang di Asia. Alasannya sederhana. Sentimen nasionalisme dalam sejarah dunia menjadi dasar pemicu paling cepat terjadinya konflik yang menyebabkan banyak korban.

Kita memahami China menjadi sangat agresif ketika semua negara tetangganya bersekutu dengan AS dan dianggap melakukan pengepungan tajam menahan kebangkitan China. Ini yang terjadi dengan Jerman menjelang Perang Dunia II, dan dunia dianggap terlalu lamban menerima kehadiran kekuatan politik dan ekonomi baru.

Sengketa teritorial ini menjadi polemik tersendiri bagi para penguasa di Tokyo ataupun Beijing. Mereka tidak bisa menahan emosi nasionalistik yang mencuat karena perspektif sejarah masa lalu. Akibatnya, masing-masing pihak tidak memiliki strategi untuk keluar dari ancaman konflik terbuka karena tidak mau terlihat memiliki kelemahan yang bisa menguntungkan pihak lawan.

Taiwan, yang juga mengklaim Kepulauan Diaoyu juga memiliki sentimen terhadap Jepang akibat pendudukan sebelum Perang Dunia II. Masalahnya, para penguasa di Taipei tak memiliki platform politik luar negeri sendiri, dan condong membonceng strategi yang diterapkan penguasa Beijing.

Persoalan yang dihadapi China memang menjadi lebih berat. Perilaku dan keputusan strategis atas Kepulauan Senkaku bisa memberikan dampak luas atas klaim tumpang tindih lainnya di Laut China Selatan dengan beberapa negara anggota ASEAN. Ironisnya, konflik ini sudah berhasil mengganggu kerja mesin ekonomi yang selama ini menguntungkan kedua belah pihak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar