Otonomi
Pengelolaan SDM
Irfan Ridwan Maksum, GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UI
Sumber
: KOMPAS, 3
Februari 2012
Makin gencarnya Parade Nusantara yang
memperjuangkan status aparatur desa agar menjadi pegawai negeri sipil menjadi
catatan tersendiri agenda otonomi daerah tahun 2012.
Beberapa saat sebelumnya para guru juga
mempertanyakan nasib mereka yang selama ini dikelola oleh pemda. Mereka ingin
dikelola oleh pusat agar kualitas hidup mereka meningkat. Hal lain yang semakin
merumitkan persoalan sumber daya manusia (SDM) daerah adalah tuntutan nasib
para honorer daerah agar dipastikan menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Desain pengelolaan SDM daerah memang patut
dikaji ulang agar persoalan tersebut segera diatasi dengan perspektif dan
instrumen yang tepat.
Pilihan
Model
Di dunia ini terdapat tiga sistem pengaturan
sumber daya manusia terkait dengan kedaerahan. Jurnal Perserikatan
Bangsa-Bangsa (1966: 7-8) menyebutkan ada sistem pengaturan personel yang
terpisah untuk setiap pemerintahan daerah, sistem personel pemerintahan daerah
yang terpadu, serta sistem personel pemerintahan daerah dan pusat yang
terintegrasi.
Pada sistem yang pertama, setiap pegawai
pemerintah daerah dari satu unit tidak dapat berpindah ke unit lain, apalagi ke
dalam unit pemerintah pusat.
Sistem tersebut menganut kewenangan
mengangkat dan memberhentikan pegawai sepenuhnya di tangan daerah-otonom. Pusat
hanya membuat code of conduct dan mengawasi pelaksanaannya.
Dalam sistem yang kedua, setiap pegawai
pemerintah daerah dapat pindah menjadi pegawai unit yang ada dalam pemerintah
daerah lain, tetapi tidak diperkenankan pindah menjadi pegawai pemerintah
pusat. Dibentuk sebuah badan-otoritatif di tingkat nasional yang dibentuk atas
prakarsa daerah-daerah untuk mengelola kepentingan manajemen SDM ini.
Sistem ketiga memungkinkan adanya perpindahan
pegawai pemerintah daerah tertentu menjadi pegawai pemerintah daerah lain dan
bahkan menjadi pegawai pemerintah pusat.
Indonesia tampaknya tergolong dalam sistem
ketiga. Namun, sebenarnya ada catatan menarik dalam perkembangan pengelolaan
SDM daerah ini.
Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Kepegawaian Negara diperbarui dengan
keluarnya UU No 43/1999.
UU No 22/1999 mengarah ke ”separate system”
bersandar pada pengaturan Pasal 7 dan Pasal 75 UU tersebut. Namun, karena
kemampuan daerah dalam mengembangkan sistem kepegawaiannya masih rendah,
situasi politik nasional dan lokal yang belum kondusif serta pola integrasi
(sentralistik) yang sudah tertanam lama, ”separate system” tidak terwujud.
UU No 43/1999 sama sekali tidak mengarah pada
paradigma yang sama. Padahal, hampir semua pasal undang-undang tersebut wajib
menjadi acuan daerah otonom dalam mengelola SDM-nya.
Dalam UU pemerintahan daerah yang berlaku
sekarang, UU No 32/2004 Pasal 129 mengatur bahwa (1) Pemerintah melaksanakan
pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan
penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. (2) Manajemen
pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi
penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan
hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.
Tampak aturan UU No 32/2004 di atas
memperkuat kedudukan pengaturan kepegawaian daerah berdasarkan UU No 43/1999.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu mempersempit ruang gerak daerah otonom
dalam mengelola pegawai.
Kebimbangan terjadi dalam praktik terkait
makna otonomi khusus, munculnya animo otonomi desa, dan mengenai siapa yang
berhak mengatur usulan penetapan honorer daerah agar menjadi PNS. Desain dalam
UU No 32/2004 dan UU No 43/1999 tidak cukup jelas, bahkan bertabrakan mengenai
otonomi SDM desa ini.
Perlu
Ketegasan
Jika pilihan integrasi diambil, sangat wajar
jika para kepala desa menuntut diperlakukan secara adil. Honorer juga menuntut
agar diperlakukan dengan lebih proporsional secara nasional. Pemerintah pusat
menjadi lebih banyak pekerjaan dan sebaliknya daerah otonom seakan lepas tangan
jika bermasalah.
Oleh karena itu, pilihan terhadap salah satu
model harus diikuti oleh ketegasan sistem yang dikembangkan, dalam hal ini
Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi bertanggung jawab mengembangkan.
Dalam desain ini harus terdapat instansi
vertikal BKN yang terjangkau daerah. Dana yang digunakan adalah dana APBN,
bukan dana dekonsentrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar