Kembali
ke UUD 1945 Asli?
Arie F. Batubara, PEKERJA SENI; PENGAMAT DAN AKTIVIS POLITIK, MENETAP DI TANGERANG
Sumber
: KOMPAS, 3
Februari 2012
Sebuah ”gelitikan” menarik tentang ”realitas”
demokrasi kita dewasa ini dilontarkan Kiki Syahnakri. Menurut Kiki, empat kali amandemen UUD 1945
(1999-2002) telah mengubah platform kenegaraan kita secara total dan mendasar.
Konstitusi kita menjadi amat liberal dan tak lagi sesuai dengan jiwa Pancasila
(Kompas, 12 Januari 2012).
Ia mengingatkan, ”Kini saatnya bangsa
Indonesia bergegas, kembali membenahi sistem demokrasi kita yang sudah
tercemar. Sebelum terlambat, kita harus mengkaji ulang UUD 1945 hasil
amandemen, yang berarti menyelaraskan kembali batang tubuh dengan jiwa pembukaannya,
mengembalikannya kepada roh Pancasila, bukan kembali kepada UUD 1945 asli.”
Inilah yang saya rasakan menggelitik. Di satu
sisi dibuka opsi untuk mengkaji ulang amandemen, tetapi di sisi lain
kemungkinan kembali kepada UUD 1945 yang asli diharamkan.
Meski tak pernah diakui secara terbuka, tidak
bisa dimungkiri bahwa sekarang kita memang berada dalam sistem demokrasi yang
sangat liberal, bahkan jika dibandingkan dengan negara kampiun demokrasi
semacam Amerika Serikat sekalipun.
Kiki bukanlah orang pertama yang tak hendak
kembali kepada UUD 1945 asli. Sebelumnya, ada banyak tokoh dan pakar yang tidak
setuju jika negeri ini kembali ke UUD 1945 yang asli. Dari berbagai argumentasi
yang diajukan, muaranya sama: UUD 1945 yang asli sangat tidak sempurna dan kembali
kepadanya adalah langkah mundur!
Belum
Dilaksanakan
Sebagai ”sistem” konstitusi yang final, UUD
1945 yang asli memang belum sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para
pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD
1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara. Maka,
dalam aturan tambahan dinyatakan: (2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan
Rakyat dibentuk, Majelis bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Namun, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
yang dimaksud itu tak pernah terbentuk, apalagi bersidang untuk menetapkan
Undang-Undang Dasar (UUD). Perjalanan sejarah bangsa justru bergerak ke arah
lain. Pecahnya perang kemerdekaan disusul lahirnya Republik Indonesia Serikat
(RIS) telah membuat kita tak pernah sempat menetapkan UUD melalui sidang MPR,
apalagi melaksanakannya. Yang pernah dilaksanakan—meski sebentar—justru UUD
Sementara dan Konstitusi RIS.
Sesudah penyerahan kedaulatan dan
terbentuknya Dewan Konstituante melalui Pemilu 1955, UUD yang berlaku adalah
UUD Sementara. Bung Karno yang menjabat Presiden RI ketika itu, pada 5 Juli
1959 memang mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali kepada UUD 1945 (yang
asli), tetapi Bung Karno sesungguhnya justru melanggar. Salah satunya adalah
dengan menerima pengangkatan sebagai presiden seumur hidup.
Hal serupa terjadi pada era Orde Baru. Pak
Harto memang tak pernah diangkat sebagai presiden seumur hidup.
Namun, pelaksanaan UUD 1945 yang asli secara murni dan konsekuen
tak pernah sungguh-sungguh dijalankan. Yang berlangsung hanya
bersifat pro forma dan prosedural, tidak secara substansial.
Salah satu contohnya adalah ”kedaulatan yang
berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat” (Pasal 1 Ayat 2). Ketentuan ini sama sekali tak pernah dijalankan
karena keberadaan MPR sebagai pelaksana kedaulatan telah terdistorsi akibat
kekuasaan presiden yang mutlak. Padahal, menurut konstruksi UUD 1945, presiden
sebenarnya hanya ”mandataris” MPR.
Penuh
Prasangka
Maka, ketika Orde Baru tumbang dan era
Reformasi menggantikannya, para elite negeri ini bukannya berusaha memahami UUD
1945 yang asli, tetapi justru memprasangkainya. Salah satunya mengenai
kekuasaan presiden yang terlalu besar.
Maka, dilakukanlah amandemen yang tidak
tanggung-tanggung: empat kali dalam kurun waktu relatif singkat: 1999-2002.
Bayang-bayang ”stigma” kekuasaan presiden membuat amandemen tidak sekadar
mengurangi kekuasaan presiden, tetapi juga melebar hingga ke tata cara
pemilihan presiden dari tak langsung menjadi langsung.
Tanpa disadari sebenarnya telah terjadi
perubahan mendasar dan esensial dalam sistem ketatanegaraan (awal) yang hendak
dibangun para pendiri bangsa. Pertama, perubahan dari pemilihan tidak langsung
ke pemilihan langsung telah mengubah format model demokrasi dari sistem
perwakilan dengan kesepakatan (musyawarah) ke sistem penunjukan dengan voting.
Kedua, sebagai konsekuensi dari perubahan
itu, rakyat tidak lagi berada pada posisi menyampaikan aspirasi perihal apa yang
ingin dilaksanakan oleh orang yang dipilihnya, tetapi lebih pada memutuskan
apakah ia setuju atau tidak dengan apa yang ditawarkan oleh si kandidat.
Hal ini bukan saja sangat berbeda, tetapi
bertolak belakang secara diametral dengan model yang semula hendak dibangun.
Seharusnya ada yang namanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
merupakan keinginan rakyat dan menjadi dasar atau titik tolak untuk menentukan
siapa yang akan diangkat sebagai presiden untuk menjalankan GBHN.
Memang benar, baik Bung Karno maupun kemudian
Soeharto kelihatan sedemikian berkuasa ketika keduanya menjabat presiden.
Sangat perlu dipahami bahwa sebenarnya hal itu bukan konstruksi UUD 1945,
melainkan karena keduanya kita ”beri” kekuasaan yang nyaris mutlak.
Maka, manakala persepsi mengenai kekuasaan
presiden yang sangat besar itu menjadi salah satu alasan melakukan amandemen,
hal itu bukan saja merupakan kekenesan berlebihan, tetapi juga layak
dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap para pendiri bangsa.
Sebenarnya kita tak perlu heran jika dengan
model demokrasi liberal yang kita anut sekarang, yang terjadi adalah kegaduhan.
Soalnya, model demokrasi semacam ini memang tidak kompatibel dengan latar
belakang sejarah, kultur, dan realitas sosial bangsa kita.
Tampaknya hal ini telah disadari para pendiri
bangsa sehingga mereka merumuskan suatu model demokrasi yang sangat berbeda,
dengan dasar pilar Pancasila yang dijabarkan dalam Preambule dan Batang Tubuh
UUD 1945. Meskipun pernah disebut bersifat sementara dan tidak sempurna,
sesungguhnya UUD 1945 telah memuat banyak hal fundamental untuk menegakkan
bangunan sistem demokrasi yang pas.
Dengan demikian, mengamandemen UUD 1945 yang
asli sebenarnya sangat tidak mudah. Pemikiran untuk mengkaji ulang amandemen
UUD 1945 tentu saja pantas disambut gembira, termasuk kemungkinan opsi kembali
ke UUD 1945 yang asli.
Kita patut mengakui, empat kali amandemen itu
lebih banyak dilandasi oleh prasangka, bukan bertolak dari kajian mendalam atas
hakikat dan esensi UUD 1945 yang asli. Kalau memang kita perlu kembali ke UUD
1945 yang asli, mengapa tidak? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar