Menyegarkan
Peran NU
M. Ridwan Lubis, DOSEN UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 31
Januari 2012
Secara
pemikiran, paham ahlusunah wal jamaah yang men jadi kerangka berpi kir bagi
jamiah NU telah terbentuk jauh sebelum lahirnya NU pada 1926. Namun demikian, tanggal 16 Rajab 1344 Hijriah bertepatan dengan 31 Januari 1926
dinyatakan sebagai tahun berdirinya jamiah Nahdlatul Ulama atau NU.
NU
didirikan oleh para ulama yang menaruh keprihatinan terhadap perkembangan
Islam, baik di Nusantara maupun di belahan bumi yang lain. Latar belakang
berdirinya NU didasari atas pola pemahaman dan pembentukan tradisi pemikiran
keislaman yang berkembang sebelumnya cenderung menjurus kepada sikap ahistoris
sehingga dikhawatirkan Islam sebagai pedoman hidup yang diwariskan Rasulullah
SAW kepada umatnya akan hilang di tengah arus perubahan.
Faktor Barat
Sejak
abad ke-18 sampai abad ke-20, dunia Barat demikian angkuhnya menancapkan
kuku-kuku kolonialisme dan imperialismenya yang dilandasi oleh tiga egoisme Barat
yang dibungkus dengan kemasan yang sepintas kelihatannya indah, yaitu untuk
mencerdaskan bangsa-bangsa Timur. Bangsa Timur yang mencakup Asia, Afrika,
maupun Amerika Latin adalah kelompok bangsa yang diberi stigma sebagai bangsa
barbar, moro, inlandeer, uncivilized.
Target
utama dari politik etis ini adalah menggabungkan bangsa Timur berada di bawah
perlindungan serta bimbingan dari budaya Barat yang disebut strategi asosiatif.
Di kalangan pejuang bangsa Indonesia tidak sedikit yang masih memiliki kesadaran
terhadap jati dirinya sebagai bangsa yang memiliki karakter khasnya.
Tokoh
pejuang kebangsaan ini sebagai elite Indonesia modern memilih bulan Rajab
sebagai titik berangkat membangun kesadaran baru dengan berkaca kepada
terjadinya peristiwa agung, yaitu kekuasaan Allah dalam sejarah kehidupan
manusia. Rasulullah mengikuti skenario Allah dengan melakukan perjalanan
panjang (isra) yang dilanjutkan naik secara vertikal untuk berjumpa dengan
hadirat-Nya (mi’raj).
Titik
sentral dari gerakan kebangkitan ulama ini diawali de ngan pelurusan kembali
hakikat Islam. Agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukanlah agama yang hanya
memperturutkan logika semata sekalipun pertimbangan akal itu penting. Islam me
miliki landasan yang kokoh, yaitu akidah, syariat, dan akhlak yang berbeda
dengan agama dan kepercayaan sebelumnya.
Umat
Islam telah berusaha me lakukan pemahaman, penghayat an, dan pengamalan
terhadap ajaran Islam dengan didasarkan pada perenungan terhadap haki kat Islam
dan selanjutnya dalam implementasinya melakukan pe nyesuaian dengan kondisi
sosiopolitis dan sosio-ekonomi. Akhir nya, sekalipun Islam pada mula nya adalah
agama baru yang diba wa ke nusantara, dalam pemahaman masyarakat kemudian, agama
ini telah menjadi milik asli dari masyarakat.
Pesantren
menjadi ikatan kuat yang tergambar dalam pembagian tugas keulamaan, yaitu
spesialisasi pendalaman keilmuan dalam bi dang tertentu yang memungkinkan
terjadi perbedaan disiplin ke ilmuan antara satu ulama atau pe santren dan
ulama atau pesan tren lainnya. Demikian pula, ulama pada masa lalu dengan meminjam
istilah Fred von den Mehden, yaitu elite Indonesia modern melakukan perombakan
cara berpikir masyarakat yang semula melihat agama hanya terkait de ngan urusan
kerohanian berubah menjadi agama adalah urusan yang holistik dunia dan akhirat.
Sumbangan
pemikiran yang dilahirkan oleh gerakan besar yang bernama ‘kebangkitan ulama’
dan menghimpun diri dalam sebuah organisasi yang diberi na ma NU adalah sebagai
berikut. Pertama, dari sudut pemahaman terhadap substansi ajaran Islam. Ulama
telah mendorong umat Islam bergerak menuju substansi Islam dan tidak bergantung
pada simboliknya. Dengan kerangka pemikiran yang demikian, maka umat Islam
lebih memiliki harapan masa depan terwujudnya Islam sebagai rahmat.
Kedua,
ulama mendeklarasikan kesatuan agama dan kehidupan secara sungguh-sungguh
karena tuntunan kehidupan yang menjadi tujuan seorang Muslim adalah ke baikan
di dunia dan akhirat. Dengan demikian, akan terjadi in tegrasi yang simetris
antara dua tugas manusia, yaitu tugas manajemen kehidupan dan tanggung jawab
kepada Allah.
Ketiga,
melalui NU, ulama memperkenalkan cara pendekatan baru dalam merumuskan
interaksi aspek kerohanian dan kebendaan yang memiliki saling keterkaitan,
namun manusia tidak berhenti pa da tujuan jangka pendek keduniawian. Keputusan
Rais Akbar Hasyim Asy’ari untuk mengeluar kan resolusi jihad pada 22 Oktober
1945 merupakan titik kulminasi dari rentetan perjuangan melawan Belanda.
Akan
tetapi, sayangnya, sumbangan besar dari pemikiran para ulama dan pemimpin
pondok pesantren itu setelah kemerdekaan kurang memperoleh perhatian yang
sewajarnya dari pemerintah. Hal itu dapat dilihat dari berbagai hal sebagai
berikut. Lembaga pendidikan pesantren yang bertebar an di seantero nusantara
didirikan oleh para ulama semata-mata dengan modal kekuatan sendiri tanpa
mengharapkan dukungan orang lain, apalagi pemerintah.
Hal
ini lalu dijadikan alasan bah wa pesantren tidak memerlukan penguatan, baik
yang bersifat sarana, prasarana, pengakuan, maupun proses pengembangan masa
depan. Akibatnya, terjadi kelambatan pesantren saat bersentuhan dengan
modernitas, bahkan cenderung bersikap reaktif terhadap pembaruan.
Akibatnya,
pondok pesantren mengalami keterlambatan dalam pengembangan profesionalitas.
Tentulah cita-cita bangsa menuju bangsa yang produktif dan berkeunggulan sesuai
dengan cita-cita Pancasila sulit terwujud. Tidak bisa dibayangkan dampak masa
depan bangsa apabila dasar filo sofi bangsa, yaitu Pancasila tidak lagi menjadi
sumber nilai yang hidup dalam kerangka berbangsa dan bernegara.
Posisi Ulama
Pada
masa lalu sebagian ulama telah memberikan contoh dalam mempraktikkan cara hidup
yang rukun dengan cara yang cukup radikal pada masa itu sehingga sampai
sekarang tradisi hidup yang rukun tersebut masih terus berlanjut. Oleh karena
itu, setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh, menghayati, dan
menikmati arti kebahagiaan berdasar keimanan yang diyakininya.
Kekuatan
posisi ulama pada masa lalu adalah akibat kedekatan mereka dengan warga yang
diayominya. Sehingga, apabila terjadi gesekan antarwarga, dapat dengan mudah
dilakukan penyelesaian. Namun, pada masa kini, ada kesan semakin menjauhnya
sebagian ulama dari komitmen membangun jaringan kedekatan hubungan dengan umat
akibat kesibukan mereka dalam hal-hal yang bersifat pragmatis, seperti
persaingan politik, organisasi, dan sebagainya.
Dalam
kaitan itu, selayaknya NU dapat mengambil peran kembali melakukan penguatan
terhadap visi dan misi keulamaan agar umat tidak terombang-ambing dalam
menapaki jalan menuju modernisasi. Sikap apatisme sebagian masyarakat terhadap
kondisi sosial akibat dari berbagai persaingan politik, kondisi sosial ekonomi
yang masih ada sekarang ini, diharapkan akan dapat dibangkitkan kembali harapan
mereka oleh para ulama untuk membangun masa depan.
NU
tentunya diharapkan masyarakat bukan sebagaimana organisasi kemasyarakatan
biasa, melainkan memiliki peran yang lebih luhur lagi sesuai dengan lambang
yang disandangnya sebuah bola dunia yang diikat oleh tali yang belum tersimpul
seluruhnya. Atas dasar itu, konsep ahlusunah waljamaah hendaknya tidak hanya
tinggal sebagai teori besar yang cenderung normatif filosofis, tetapi juga
menjadi konsep yang dioperasionalkan.
Oleh
karena itu, bidang penting yang segera menjadi prioritas NU adalah pembangunan
lembaga pendidikan yang memadukan keislaman, profesionalitas, dan kebangsaan
sampai ke pendidikan tinggi. Dalam kaitan inilah, NU membentuk pusat-pusat
kajian guna meneliti berbagai persoalan umat Islam dan bangsa untuk dirumuskan
pemecahannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar