Gigantisme
Politik Partai Demokrat
Rusmin Effendy, DIREKTUR EKSEKUTIF KOMISI KEBIJAKAN PUBLIK
Sumber
: SUARA KARYA, 7
Februari 2012
Perang terbuka antar elite Partai Demokrat (PD) bagaikan sinetron
berseri tentang perilaku elite-elite partai yang saling menjatuhkan, tidak
piawai dalam menghadapi konflik internal. Padahal, sudah menjadi rahasia umum
bahwa kondisi kepartaian di Indonesia memang tak lepas dari friksi internal.
Persoalannya, bagaimana kepiawaian elite partai dalam menghadapi
friksi dan konflik agar tidak menjadi komuditas politik. Tapi, apa yang terjadi
PD memang berbeda dengan parpol lainnya. Soliditas partai begitu rapuh dan yang
ada bagaimana elite partai memanfaatkan peluang konflik untuk saling
menjatuhkan dan mengejar kekuasaan.
Secara politis dapat dipahami, kemenangan Anas Urbaningrum (AU)
dalam Kongres II lalu telah memunculkan faksi-faksi di internal partai bahkan
memunculkan rivalitas politik. Kemenangan AU dalam pertarungan ketua umum,
bukan saja mengagumkan banyak orang, tapi juga menjadi beban politik SBY.
Artinya, calon yang sudah mendapat restu SBY dengan networking yang super
canggih tak mampu melawan keinginan arus bawah yang memunculkan figur muda.
Popularitas AU sebagai tokoh muda yang memiliki political branding
menjadi magnit perubahan kepemimpinan di PD. Sayangnya, kekuasaan yang
dinikmati tidak bakal bertahan lama karena tersandung pelbagai persoalan. Kini,
Partai Demokrat bukan saja menghadapi ujian, tapi juga dilanda gempa politik.
Dugaan keterlibatan AU dalam pelbagai kasus menjadi pintu masuk faksi-faksi
yang ada untuk mempercepat proses pendongkelan AU dari jabatan ketua umum. Baik
yang dilakukan terang-terangan maupun melalui gerakan senyap (silent
operation). Tidak mengherankan sebagai the rising stars dua kali pemilu, rumah
besar PD juga terdapat banyak opurtunis yang memanfaatkan situasi konflik,
bahkan sampai melobbi parpol koalisi untuk mendapatkan dukungan politis.
Yang menarik adalah pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina PD
Marzuki Alie bahwa bukan dirinya yang meminta AU mundur dari jabatannya sebagai
ketua umum, apalagi dirinya bukan pesaing di kongres. Secara implisit,
pernyataan Marzuki Alie dalam terminologi politik bisa jadi pembenaran. Ada
kegelisihan batin bahwa dirinya tidak mau disebut sebagai tertuduh dalam upaya
melengserkan AU. Padahal, publik cukup memahami gaya politik akrobatik yang
selalu dimainkan, apalagi sebagai ketua DPR yang seringkali mengundang
kontroversi dan terkesan tidak memiliki karakter sebagai politisi.
Gigantisme Politik
Saat ini, para elite PD memang tampak sibuk membangun image partai
yang sudah terlanjut terpuruk, bahkan bisa diprediksi PD tidak akan mampu
bertahan sebagai pemenang pemilu 2014. Problematik internal yang ada sekarang
ini bagaikan benang kusut yang sudah terlembaga, apalagi postur politik
elektoralnya mengalami penyakit kronis gigantisme.
Gigantisme sendiri adalah terma biologis yang bermakna problem
pertumbuhan yang menimpa seseorang karena bentuk pisik yang besar dan tinggi
badan berlangsung diatas batal normal. Jika dikorelasikan dengan term politik,
maka kemunculan PD yang menjadi magnit dua kali pemilu bukan karena kepiawaian
berpolitik para elite partai, tapi lebih disebabkan personalitas SBY.
Kenyataannya, persepsi awal masyarakat yang keliru sekarang sudah
muncul kesadaran baru. Setelah dua kali berkuasa, SBY bukanlah sosok pemimpin
yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Elektabilitas SBY terus merosot dan
berimbas terhadap PD sendiri.
Keterpurukan popularitas SBY itu juga terlihat dari serangkaian
aksi massa atau parlemen jalanan yang kerap kali menuntut mundur. Fakta-fakta
kebohongan publik yang dilakukan SBY dan pernah disuarakan pemuka agama akan
menjadi daftar dosa pemerintahan SBY yang berimbas terhadap partai. Apalagi
dalam menghadapi konflik internal partai, SBY kembali memainkan politik
pembiaran dan tidak bereaksi cepat dan mengamputasi permasalahan yang ada.
Karena itu, kondisi PD yang ada sekarang ibarat buah simalakama,
pilihan yang sulit dilakukan apalagi untuk mengembalikan citra dan image partai
kedepan. Artinya, publik juga menunggu ketegasan sikap SBY untuk berada di
barisan terdepan dalam menegakkan supremasi hukum, bukan sekedar retorika.
Khususnya untuk menyelesaikan kader-kader partai yang diduga terlibat dalam
persoalan hukum, baik di pusat maupun daerah. Apalagi image masyarakat sudah terbentuk
kehadiran PD hanya menjadi "bungker" para koruptor.
Karena itu, sebagai ketua dewan pembina, kualitas kepemimpinan
(quality of leadership) serta kepiawaian berpolitik SBY sedang diuji apakah
mampu menyelesaikan konflik internal partai atau tidak. Ketegasan bersikap ini
sedang ditunggu, sehingga tidak dikesankan lagi sebagai sosok pemimpin yang
plin-plan dan peragu. Jika masalah ini tidak diselesaikan secara tuntas, bukan
tidak mungkin membuat PD semakin terpuruk dan mengalami kehancuran.
Untuk mengembalikan kredibilitas dan citra partai, tidak ada cara
lain kecuali mengamputasi penyakit yang ada di tubuh partai, termasuk
membersihkan kader partai yang diduga terlibat dalam persoalan hukum. Idealnya,
siapapun yang terlibat harus diproses ke pengadilan demi tegaknya supremasi
hukum. Sejatinya, PD harus menjadi parpol yang mampu mempelopori penegakan
hukum agar stigma masyarakat terobati bahwa benar PD bukan menjadi rumah
perlindungan para koruptor.
Dengan demikian karut marut dan prahara yang dialami PD pada
hakekatnya hanyalah riak-riak kecil sekaligus fenomena parpol pemenang pemilu.
Hal yang sama juga pernah dialami PDIP saat ephoria demokrasi pada Pemilu 1999.
Semua ini menjadi pembelajaran politik yang berharga bagi PD kedepan.
Mudah-mudahan saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar