Gelembung
Bernama Partai Demokrat
Yunarto Wijaya, DIREKTUR RISET CHARTA POLITIKA INDONESIA
Sumber
: SINDO, 3
Februari 2012
Ada yang menyebutnya sebagai“partai
mercy”, ada juga yang menyebutnya “partai biru”, dan yang paling sering kita
dengar tentu saja istilah “partainya SBY”.
Apa pun istilahnya, harus diakui partai ini telah menghasilkan pencapaian elektoral fenomenal dalam usianya yang masih belia.Pertanyaannya kemudian, apakah ini bersifat kontinu atau hanya sebuah gelembung yang rentan untuk pecah pada kondisi tertentu. Disebut gelembung manakala partai ini memang lebih terlihat sebagai sebuah mesin politik seorang tokoh dibandingkan tampil sebagai organisasi modern. Hal ini terlihat dari bagaimana kuatnya ketergantungan partai tersebut kepada sosok SBY yang ditempatkan sebagai ketua dewan pembina, ketua majelis tinggi, sekaligus ketua dewan kehormatan.
Kondisi inilah yang membantah klaim bahwa partai ini bisa diasosiasikan sebagai role model dari catch all party ala Kircheimer (1966) ataupun electoral professional party ala Panebianco (1988). Ketergantungan yang kuat seperti ini tentu saja menimbulkan pertanyaan banyak pihak mengenai bagaimana masa depan elektoral Partai Demokrat pasca-SBY lengser di 2014. Logika bahwa Partai Demokrat akan mengalami proses declining ketika tidak lagi memiliki magnet elektoral menjadi sangat masuk akal buat siapa pun yang mendengarnya.
Tantangan bertambah manakala situasi politik menempatkan partai ini menjadi pusat pemberitaan selama hampir setengah tahun terakhir. Sayangnya, pemberitaanpemberitaan ini didominasi oleh tone negatif dari kasus “Nazaruddin” yang kemudian memunculkan beberapa nama petinggi teras partai tersebut. Analisis media tracking Charta Politika Indonesia di enam media cetak nasional menemukan fakta bahwa Partai Demokrat adalah partai yang paling banyak diberitakan dimulai dari bulan Mei 2011 dengan 24% dari seluruh pemberitaan. Adapun pemberitaan tersebut didominasi oleh pemberitaan kasus Nazaruddin sebesar42% yangdidominasioleh tonenegatif sebesar 69%.
Residu Pascakongres
Permasalahan hukum sebenarnya bukan hanya dihadapi Partai Demokrat saja.Hampir semua partai besar pernah menghadapi kasus korupsi politikyangmelibatkankadernya. Bahkan Golkar pernah menghadapi situasi pada 2002 lalu ketika Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum harus ditahan sebagai tersangka dalam kasus dana non-budgeter Bulog.Yang mengejutkan adalah fakta bahwa Golkar malah kemudian berhasil memenangi Pemilu Legislatif 2004.
Dari perbandingan itu jelas terlihat bahwa permasalahan yang dihadapi Partai Demokrat bukan hanya kasus hukum, tetapi juga “kegagapan” secara institusional dalam menyikapi kasus tersebut. Pertarungan tone antarkader tanpa sadar telah mendegradasi kewibawaan partai ini baik di hadapan kader sendiri ataupun publik secara umum. Suka atau tidak,publik akan mengaitkan konflik internal ini dengan pertarungan yang terjadi di kongres bulan Mei 2010 lalu. Sulit untuk menghindari persepsi bahwa isu “pelengseran” Anas akan sangat ditentukan oleh hasil pertarungan antarfaksi sebagai residu pascakongres.
Faksionalisasi itu sendiri sebenarnya adalah suatu hal lumrah yang terjadi di sebuah partai politik. Ada tiga faktor yang biasanya membuat faksifaksi ini terpelihara: patronase, financial resources, dan struggle for power. Naif apabila kita berharap ada partai yang bisa menghilangkan tiga faktor tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana mengelolanya menjadi proses dialektika yang bersifat konstruktif. Dialektika yang berujung pada terbentuknya sintesis yang mengakomodasi kepentingan semua stakeholder partai.
Menuju 2014
Aura kompetisi menuju 2014 sudah mulai terasa.“Tsunami politik” yang mengguncang partai ini membuatnya beberapa langkah ketinggalan dalam persiapan secara elektoral. Ketika partai lain sudah berbicara mengenai calon presiden yang digadangnya,partai ini bahkan belum selesai dalam pertarungan menghadapi “dirinya”sendiri. Pembiaran kondisi seperti ini tentu saja akan berpengaruh pada tingkat elektabilitas Partai Demokrat.
Logika ini diamini oleh salah seorang Dewan Pembina yang mengakui bahwa dilihat dari survei internal, Partai Demokrat secara elektoral sudah berada di bawah Golkar dan PDIP. Secara taktis ada beberapa tindakan akselerasi yang seharusnya bisa dilakukan oleh partai ini dalam mengatasi ketertinggalannya. Pertama, tentu saja proses rekonsolidasi dari tingkat pusat sampai ke level daerah.
Konsolidasi ini harus dilakukan baik secara ad hoc berkaitan dengan kasus hukum yang dihadapi atau secara lebih luas berkaitan dengan pemenangan menuju 2014. Konsolidasi ini akan membutuhkan keterlibatan penuh SBY yang telanjur menjadi satu-satunya faktor pemersatu di tubuh partai. Dalam kasus hukum,SBY harus berani mengarahkan proses pembuatan keputusan internal partai yang memberikan kepastian secara politik. Jangan sampai kader dibiarkan menerka-nerka sikap politik SBY.
Secara lebih teknis, harus ada penegasan, apakah partai ini akan mendahulukan proses politik atau hukum dalam menempatkan kader-kadernya yang disebut dalam kasus Nazaruddin. Termasuk tentu saja bagaimana posisi Anas Urbaningrum sebagai ketua umum. Kepastian inilah yang kemudian harus ditaati oleh seluruh kader dalam menyikapi pertanyaan- pertanyaan baik dari media ataupun konstituen. Kedua, perlu dibuat suatu penyusunan strategi komunikasi politik disertai pembagian tugas yang bersifat otoritatif.
Partai harus membentuk tim khusus yang bertugas menjadi juru bicara berkaitan dengan kasus-kasus yang dihadapi sehingga bisa dipastikan bahwa apa yang keluar dari mulut mereka adalah suara resmi partai. Apabila kedua hal tersebut sudah berhasil dilakukan, partai juga bisa melakukan suatu terobosan dalam proses pencarian calon presiden di 2014 pada pemilu mendatang. Hal ini penting dilakukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada seorang tokoh yang sudah tidak lagi mencalonkan dirinya pada 2014 nanti.
Diperlukan suatu mekanisme demokratis yang betulbetul melibatkan seluruh pengurus daerah dalam memilih magnet elektoral baru ini. Karena harus bisa dipastikan bahwa nama yang muncul adalah nama yang bisa diterima oleh semua pihak dalam pemilu nanti.Langkah ini juga akan berfungsi sebagai jembatan dari proses transformasi partai ini dari sekedar mesin politik menjadi sebuah organisasi yang modern.
Tentu saja paparan di atas hanyalah sekelumit dari kompleksitas permasalahan yang dialami Partai Demokrat. Masih banyak tantangan yang akan dihadapi, bukan sekadar untuk bertahan di 2014, tetapi juga bagaimana partai ini bisa betul-betul eksis sebagai agen masyarakat dan bukan sekadar gelembung politik yang hanya bisa bertahan di ketinggian tertentu. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar