Digitalisasi
Televisi
Amir
Effendi Siregar, Pengamat Penyiaran dan Dosen Komunikasi
Universitas Islam Indonesia
Sumber
: KOMPAS, 20
Februari 2012
Tiga hal terkait penyiaran sedang terjadi
saat ini. DPR membahas Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang baru, Koalisi
Independen untuk Demokratisasi Penyiaran mengajukan uji materi tentang
pemusatan kepemilikan ke Mahkamah Konstitusi, dan pemerintah mengeluarkan PP No
22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial
Penerimaan Tetap Tidak Berbayar.
Di banyak negara, pengaturan penyiaran
berdasarkan prinsip diversity of ownership dan diversity of content untuk
kesejahteraan rakyat.
Pengaturan berlangsung ketat karena pertama,
lembaga penyiaran mempergunakan frekuensi yang menjadi milik publik.
Kedua, frekuensi itu terbatas (limited
resources). Dengan teknologi digital, jumlah lembaga penyiaran bisa lebih
banyak, tetapi tetap terbatas. Sebagai contoh, sebuah kanal frekuensi yang
dalam teknologi analog hanya memuat satu program siaran televisi, dengan
teknologi digital dapat menampung 12 program siaran televisi sekaligus
(multipleksing dengan teknologi terbaru DVB-T2). Kanal frekuensinya adalah band
IV dan V UHF, yaitu kanal 28 sampai 45.
Ketiga, siaran televisi dapat memasuki dan
menembus rumah kita secara serentak dan meluas tanpa kita undang (pervasive
presence theory). Itu sebabnya mengapa industri penyiaran harus diatur ketat.
Amerika
Serikat
Di Amerika Serikat, pengaturan kepemilikan
dan penguasaan stasiun televisi diatur ketat berdasarkan luas jangkauan stasiun
televisi yang berbadan hukum. Kepemilikan dapat banyak
selama total jangkauan tidak melebihi 39
persen dari nation’s tv homes atau rumah tangga yang memiliki pesawat televisi
(Federal Communications Commission/FCC, 2011).
FCC menghitung jangkauan TV dengan UHF
separuh dari perhitungan VHF. Maka, sebenarnya daya jangkau televisi
berjaringan di Amerika 5-63 persen (TVNewsCheck April 7, 2010). Di Amerika, 99
persen rumah tangga memiliki televisi.
FCC melarang merger antarstasiun jaringan
televisi nasional pada peringkat pertama hingga ke-4 secara komersial, seperti
ABC, CBS, FOX, dan NBC. Namun, FCC memperkenankan sebuah badan hukum memiliki
dua stasiun televisi lokal di satu wilayah siaran/pasar dengan mengikuti
syarat: (1) pelayanan setiap stasiun televisi tak berimpit (contour overlap);
(2) salah satu stasiun televisi tak berada dalam peringkat pertama hingga ke-4
(market share) dalam satu wilayah dan paling sedikit masih terdapat 8 stasiun
independen di situ (FCC, 2011).
Di Amerika Serikat, setiap empat tahun ada
penilaian kembali terhadap kebijakan kepemilikan televisi. Pada 22 Desember
2011, FCC mengeluarkan Notice of Proposed Rulemaking. Secara khusus untuk
televisi, FCC mengusulkan untuk mempertahankan aturan kepemilikan televisi saat
ini dengan beberapa modifikasi, yaitu menghapus ketetapan contour overlap
karena tidak relevan dalam televisi digital sejak 12 Juni 2009.
Di AS, dengan penduduk 300 juta jiwa, sistem
stasiun jaringan berjumlah 30-an dan ribuan stasiun lokal. Terdapat 1.750
stasiun televisi lokal, 380 di antaranya nonkomersial. Ada yang milik jaringan
atau kelompok, termasuk berafiliasi pada kelompok independen (Dominick, 2012).
Australia
Di Australia, berdasarkan Gardiner-Garden
(2006), seseorang atau suatu badan hukum tak boleh menguasai—melalui
kombinasi—izin televisi yang menjangkau lebih dari 75 persen penduduk. Juga
tidak boleh lebih dari satu izin di satu daerah.
Di Australia, dengan penduduk 22 juta jiwa,
terdapat 56 izin televisi komersial dengan 6 kelompok perusahaan sebagai
berikut: (1) The Seven Network (Seven Network Ltd) memiliki 6 izin dan
menjangkau 73 persen penduduk; (2) The Nine Network (PBL) memiliki 4 izin dan
menjangkau 52 persen: (3) Network Ten (Ten Network Holdings Pty Ltd) memiliki 5
izin dan menjangkau 66 persen; (4) Southern Cross Broadcasting (Australia) Ltd
memiliki 15 izin dan menjangkau 42 persen; (5) WIN Television (WIN Corp P/L)
memiliki 14 izin dan menjangkau 26 persen; dan (6) Prime Television Ltd
memiliki 9 izin dan menjangkau 25 persen.
Program beberapa stasiun jaringan utama juga
disiarkan oleh stasiun independen sehingga pengaruhnya bisa lebih luas. Stasiun
televisi nasional (lembaga penyiaran publik) Australian Broadcasting
Corporation juga memiliki jaringan dan ditonton secara meluas di Australia
dengan 13 juta orang setiap minggu.
Saat ini, berdasarkan Australian
Communication and Media Authority (2012), terdapat 69 izin televisi komersial.
Ini berarti regulasi berdasarkan daya jangkau—seperti juga di AS—mampu
mengakomodasikan perkembangan teknologi digital.
UUD
1945 dan Penyiaran
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan upaya
pengembangan desentralisasi melalui otonomi daerah dan jaminan terhadap hak
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, Republik Indonesia seharusnya bergerak
dari sistem otoriter yang sentralistis ke demokratis yang desentralistis. Maka,
untuk Indonesia, sistem yang tepat adalah sistem penyiaran dengan stasiun
televisi berjaringan dan stasiun lokal.
Untuk menghindari konsentrasi dan pemusatan
kepemilikan berlebihan seperti sekarang, Amerika Serikat dan Australia adalah
contoh yang baik. Pembatasan dilakukan berdasarkan daya jangkau dari stasiun televisi
yang dimiliki.
Lantas, bagaimana dengan Permen Nomor 22
Tahun 2011? Permen ini mengkhawatirkan karena memunculkan model baru lembaga
penyiaran yang tak terdapat dalam Undang-Undang Penyiaran, yaitu Lembaga
Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM).
Apalagi yang bisa mendirikan LPPM adalah
lembaga yang sudah mempunyai izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan izin
penyelenggaraan penyiaran. Itu adalah lembaga penyiaran yang kini eksis!
Kemudian LPPM dapat melayani lebih dari 1 zona, padahal terdapat 15 zona di
seluruh Indonesia. Setiap zona melayani beberapa wilayah, seluruh Indonesia ada
216 wilayah.
Kita juga harus mempersoalkan mengapa Lembaga
Penyiaran Publik TVRI hanya diperkenankan jadi LPPM pada 1 dari 6 kanal yang
ada, sementara 5 kanal lain diberikan kepada pihak swasta. Bukankah ini
liberalisasi berlebihan?
Semua memperlihatkan, permen berpeluang
melanggengkan pemusatan kepemilikan yang berlebihan dan oligarki yang terjadi
pada industri penyiaran saat ini. Juga menyulitkan munculnya pemain alternatif
atau pemain baru yang bukan kelompoknya.
Kita memang memasuki era digitalisasi, tetapi
harus dengan peraturan yang menguntungkan semua pihak, menguntungkan seluruh
masyarakat Indonesia, agar demokratisasi penyiaran berjalan secara sehat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar