Calon
Perseorangan dan Adangan Parpol
Bawono Kumoro, PENELITI
POLITIK THE HABIBIE CENTER
Sumber
: SINAR HARAPAN, 31
Januari 2012
Dalam beberapa bulan mendatang DKI Jakarta
akan menggelar perhelatan akbar lima tahunan berupa pemilihan umum gubernur dan
wakil gubernur (pilgub). Salah satu isu menarik dalam Pilgub DKI
Jakarta kali ini adalah kemunculan bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari
luar jalur partai politik (calon perseorangan).
Bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari
jalur independen yang diprediksi turut ambil bagian dalam kontestasi Pilgub DKI
Jakarta, antara lain Faisal Basri (pengamat ekonomi) dan Hendardji Supandji
(mantan Danpuspom TNI).
Kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan
umum kepala daerah (pilkada) merupakan amanat keputusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya hanya memperbolehkan
kehadiran calon melalui jalur partai politik.
Keikutsertaan mereka dalam pilkada tentu akan
menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Hal itu
diharapkan dapat membawa perbaikan kondisi politik Indonesia di saat tingkat
kepercayaan publik terhadap partai politik berada pada level terendah seperti
saat ini.
Hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia
(LSI) tentang “Pemilih Mengambang dan Prospek Perubahan Kekuatan Partai
Politik” mengonfirmasi hal itu. Melalui survei yang dilakukan pada 15-25 Mei
2011 tersebut terungkap jumlah pemilih yang merasa memiliki kedekatan dengan
partai politik tertentu hanya 20 persen.
Sementara itu, 78,8 persen pemilih tidak
merasa memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu. Keengganan sebagian
besar pemilih kit untuk melekatkan diri terhadap partai politik tertentu sangat
mungkin disebabkan buruknya kinerja partai politik selama ini.
Dalam konteks itu, kehadiran calon
perseorangan dalam pilkada dapat dilihat sebagai ikhtiar politik untuk memperbaiki
kualitas demokrasi di Indonesia.
Hambatan
Namun, dibukanya peluang calon perseorangan
dalam pilkada ternyata tidak langsung memberikan jalan lapang bagi mereka yang
hendak maju dari luar jalur partai politik itu. Ada sejumlah hambatan yang akan
mengadang mereka untuk sampai pada tahap penetapan sebagai calon sah kepala
daerah.
Pertama, jumlah dukungan. Pasal 59 Ayat (2a)
poin c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan pasangan calon
perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur apabila memenuhi syarat dukungan 4 persen dari jumlah penduduk.
Dalam konteks Pilgub DKI Jakarta, diketahui
jumlah penduduk DKI Jakarta ditetapkan 10.183.498 orang.
Dengan demikian, jumlah dukungan yang harus
diserahkan calon independen kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI untuk
memenuhi persyaratan pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur 407.340
orang, sebagaimana tercantum dalam Keputusan KPU DKI Jakarta No
04/Kpts/KPU-Prov-010/2011 tentang Persyaratan Dukungan dan Jumlah Sebaran
Paling Rendah Pasangan Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Umum Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012.
Bukan hal mudah bagi para bakal calon
gubernur dan wakil gubernur dari luar jalur partai politik untuk mengumpulkan
dukungan sebesar itu.
Kedua, verifikasi dukungan. Hambatan lain
yang akan dihadapi calon perseorangan dalam mencalonkan diri sebagai calon
gubernur dan wakil gubernur adalah verifikasi dukungan yang akan dilakukan KPU.
Berdasarkan Peraturan KPU No 13 Tahun 2010
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, verifikasi faktual dilakukan dengan cara mencocokkan dan
meneliti secara langsung setiap nama pendukung untuk seluruh pendukung bakal
pasangan calon.
Untuk keperluan verifikasi faktual itu tim
suskes calon independen diminta menghadirkan para pendukung mereka di suatu
tempat untuk dilakukan pencocokan dan penelitian oleh Panitia Pemungutan Suara
yang telah ditetapkan KPU DKI Jakarta.
Meskipun soal teknis, bukan hal mudah untuk
melakukan mobilisasi pendukung untuk berkumpul di suatu tempat. Kendala lain
yang mungkin muncul terkait verifikasi dukungan ini adalah kemungkinan
ketidaksesuaian antara data dan fakta, serta dukungan ganda terhadap calon
perseorangan lain.
Dua hambatan di atas agaknya dapat
menggambarkan tingkat kesulitan yang akan dihadapi bakal calon gubernur dan
wakil gubernur dari luar jalur partai politik dalam menghadapi Pilgub DKI
Jakarta nanti.
Meskipun pintu bagi kehadiran calon
perseorangan telah dibuka Mahkamah Konstitusi, ketentuan perundang-undangan
yang ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sarat dengan upaya-upaya penjegalan
agar calon perseorangan tidak dapat melangkah mulus.
Hal itu dapat dipahami mengingat DPR
merupakan kumpulan kader-kader partai politik. Mereka tentu tidak rela bila
harus berbagi kavling pencalonan dalam pilkada dengan calon perseorangan.
Padahal, pembatasan calon hanya dari jalur
partai politik sesungguhnya merupakan bentuk halus dari penghilangan hak-hak
politik warga negara. Memang, partai politik merupakan wahana bagi publik guna
menyalurkan hak-hak politik mereka.
Namun, itu bukan berarti secara otomatis
menempatkan partai politik sebagai satu-satunya wahana bagi publik untuk
menyalurkan hak politik mereka. Jika partai politik dijadikan sebagai
satu-satunya wahana bagi publik untuk menyalurkan hak politik mereka, besar
kemungkinan akan terjadi pemasungan hak politik warga negara yang ingin
berpolitik tanpa bergabung dengan partai politik.
Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
merupakan bukti bahwa bukan masalah jika calon perseorangan hadir dalam langgam
politik Indonesia. Menjadi ironi ketika partai politik memperbolehkan anggota
DPD dipilih tanpa jalur partai, tetapi pada saat yang sama cenderung bersikap
resisten terhadap kehadiran calon kepala daerah dari jalur perseorangan.
Atas dasar itu, penulis berpandangan perlu
dilakukan peninjauan kembali secara sungguh-sungguh terhadap sejumlah syarat
yang dirasakan sangat memberatkan bagi calon perseorangan untuk maju dalam
pilkada sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Partai politik hendaknya dapat menerima
sepenuh hati kehadiran calon perseorangan dalam pilkada tanpa disertai niat
tersembunyi untuk menjegal mereka melalui penetapan sejumlah syarat memberatkan
di dalam undang-undang.
Kehadiran calon perseorangan harus dimaknai
sebagai momentum bagi partai politik untuk melakukan self correction agar lebih
well organized di masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar