Rabu, 16 November 2011

Tawaran Solusi untuk Gejolak di Papua

Tawaran Solusi untuk Gejolak di Papua
Jozep Ojong, DOKTER YANG TINGGAL DI PAPUA SEJAK 1983
Sumber : SINAR HARAPAN, 16 November 2011


Berbagai tayangan televisi belakangan ini tak henti-hentinya mengulas dan memberitakan gejolak di Papua dan semakin tampak pemerintah sudah hilang akal bagaimana mengurai benang kusut itu.

Padahal dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dikucurkan sejak diberlakukan UU Otsus telah mencapai Rp 28 triliun, bagi penduduk Papua yang hanya 2,3 juta. Sudah jelas penggelontoran dana Otsus bukan jawaban bagi kepelikan masalah Papua.

Harus diakui berbagai program di Papua yang menggunakan dana Otsus tak menyentuh akar permasalahan, malah telah berkembang menjadi bisul yang siap meletus sewaktu-waktu.
Misalnya, masalah kelaparan, kurang pangan, rendahnya mutu pendidikan, mundurnya pelayanan kesehatan, tingginya pengangguran, sulitnya transportasi dan komunikasi, pembalakan hutan dan laut. Itu semua hanyalah merupakan puncak gunung es yang terlihat kasat mata.

Teriakan “merdeka” merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat asli Papua, melihat realitas kehidupan yang sangat pahit di sana. Apalagi Otsus hanya makin memperlebar jurang kaya dan miskin. Rakyat Papua merasa terjajah di tanah airnya sendiri.

Bukan saja Otsus, efek dari program pemekaran wilayah yang tidak dibarengi pemikiran matang telah berakibat makin rumitnya masalah dan telah menciptakan peluang bagi korupsi dengan melahirkan kelompok elite yang tidak berpihak pada masyarakatnya sendiri.

Analisis Situasi

Di era Orde Baru, boleh dikatakan roda birokrasi yang menggerakkan berbagai program masih tampak berjalan walau dengan berbagai kekurangannya, namun kini seiring dengan pergantian pemerintahan dan birokrasi, dan pemekaran yang belum siap, berbagai masalah yang ada makin menjauhkan harapan kaum miskin.

Memang kalau dilihat dari sisi fisik sudah banyak dibangun sekolah dan puskesmas, namun apakah pernah dicek berapa banyak puskesmas yang lebih sering kosong karena tidak ada petugas? Atau berapa banyak murid yang masih tidak bisa menulis walau punya ijazah?

Di Papua sebagian besar masyarakat sangat berharap akan perbaikan nasib melalui penerimaan pegawai, baik sebagai pegawai negeri, anggota Polri atau TNI, maupun di perusahaan besar seperti Freeport, namun seberapa besar daya serap penerimaan pegawai negeri dan perusahaan?

Penyebab kegagalan Otsus terletak karena lebih menitikberatkan besarnya nilai anggaran dan bukan pada menciptakan lapangan pekerjaan dan keterampilan, pemerataan kesejahteraan dan ketersediaan kebutuhan dasar, tegaknya hukum dan keadilan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mereformasi sistem birokrasi dan memperkuat pengawasan.

Berbagai kelemahan ini akhirnya menciptakan kelompok elite Papua yang lebih sering berada di Jakarta ketimbang di daerahnya. Kelompok elite inilah yang mempunyai akses lebih untuk didengar di Jakarta melalui bantuan media massa.

Lalu akan timbul pertanyaan sederhana di benak rakyat Papua, mengapa dana yang puluhan triliunan tersebut tidak dirasakan manfaatnya oleh mereka. Di mana kesalahan perencanaan? Ke mana lari dana-dana itu? Bagaimana alokasi dananya yang telah dianggarkan?

Apakah memang masuk anggaran pembangunan yang tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat seperti bangunan fisik dan pengadaan barang? Atau lebih banyak habis untuk belanja rutin seperti gaji pegawai, perjalanan dinas, studi banding keluar negeri, sewa konsultan, rapat di hotel mewah di Jakarta?

Tawaran Solusi

Sebagai orang yang telah menetap lama dan bekerja di Papua, penulis menawarkan beberapa pemikiran yang dapat ditempuh agar gejolak di Papua dapat teratasi paling tidak dalam waktu dekat.

Pertama, harus dibentuk suatu badan khusus pengkajian Papua yang mengumpulkan data analisis situasi di masyarakat, mencari informasi dari masyarakat, maupun berbagai narasumber, selain juga mempelajari faktor sosio budaya dan sejarah.

Sebaiknya badan tersebut bekerja sama dengan para tokoh Papua, tokoh gereja, dan tokoh adat sebagai “think tank” Papua. Perlu dicatat bahwa kebanyakan masyarakat Papua masih akan mendengar suara dari para penatua gereja dan tokoh adat.

Badan tersebut mutlak perlu diberi wewenang untuk evaluasi kinerja maupun mengangkat pejabat birokrat profesional untuk menggerakkan roda birokrasi yang efektif dan kompeten, tanpa memandang suku dan latar belakang orangnya di jabatan strategis. Pejabat yang kompeten penting dalam upaya menggerakkan sistim birokrasi pemerintahan yang efektif.

Jadi langkah strategis awal pemerintah adalah mereformasi sistem birokrasi dengan memilih dan mengangkat para birokrat kompeten yang bersedia mengabdikan diri bagi perubahan di Papua.

Badan ini mutlak wajib mengawasi kinerja para birokrat di pemerintahan dengan memberi penilaian bagi integritas, kinerja, dan perilaku moral pejabatnya, agar roda pemerintahan senantiasa berjalan efektif.

Sejujurnya gejolak yang terjadi selama ini karena rakyat tidak merasakan adanya manfaat dari Otsus dan tampaknya ini akibat dari lemahnya pengawasan, profesionalisme, dan tumpang tindihnya birokrasi.

Sambil berjalan dengan langkah-langkah di atas, badan perlu membuat keputusan cepat agar “layanan publik" yang strategis seperti kesehatan dan pendidikan segera direformasi antara lain dengan mendatangkan tenaga seperti masa Trikora khusus tenaga kesehatan dan guru untuk wajib berada di tempat di pedalaman dengan masa kerja lima tahun.

Selain itu adakan perekrutan tenaga teknis kesehatan profesional wajib di RSUD dengan masa kerja lima tahun. Penulis yakin masih ada banyak orang di antara 240 juta rakyat Indonesia yang terpanggil dan rela berkorban membangun pedalaman Papua.

Selama itu salah satu kendala yang dihadapi adalah mobilisasi cepat dari tenaga kesehatan seperti dokter PTT yang bertugas hanya satu tahun, sehingga tidak ada kesinambungan program dan tidak berada di tempat tugas dari para pegawai negeri di pedalaman.

Lalu dirikan segera sekolah-sekolah kejuruan yang meliputi bidang perternakan, perikanan, budi daya, pertukangan, dan teknologi tepat guna, agar masyarakat tidak hanya bergantung untuk diterima sebagai pegawai negeri atau pegawai perusahaan.

Perlu segera percepat terbitnya Perdasus yang mengatur penggunaan dana Otsus, dan yang mengawasi pemakaiannya. Agar diperjelas pengimplementasian program, perlu ada perangkat peraturan yang mengatur agar program yang akan dijalankan tidak tumpang tindih dan perencanaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian, dapat menyentuh tuntutan rakyat selain diupayakan terciptanya kesempatan lapangan kerja dan yang dapat mempunyai daya ungkit bangkitnya perekonomian rakyat.

Sambil berjalannya reformasi di atas, perlu dilibatkan lembaga nonpemerintah yang sudah ada dan yang menjalankan pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan pembiayaan dari pemerintah, agar lebih mempercepat tercapai pemerataan public service.

Dengan langkah-langkah tersebut sebenarnya mudah mengatasi masalah gejolak di Papua, karena rakyat Papua sebenarnya hanya menuntut kebutuhan dasar masnusia, yaitu peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan hukum yang transparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar