Tawaran Solusi untuk Gejolak di Papua
Jozep Ojong,
DOKTER YANG TINGGAL DI PAPUA SEJAK 1983
Sumber : SINAR HARAPAN, 16 November 2011
Berbagai
tayangan televisi belakangan ini tak henti-hentinya mengulas dan memberitakan
gejolak di Papua dan semakin tampak pemerintah sudah hilang akal bagaimana
mengurai benang kusut itu.
Padahal
dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dikucurkan sejak diberlakukan UU Otsus telah
mencapai Rp 28 triliun, bagi penduduk Papua yang hanya 2,3 juta. Sudah jelas
penggelontoran dana Otsus bukan jawaban bagi kepelikan masalah Papua.
Harus
diakui berbagai program di Papua yang menggunakan dana Otsus tak menyentuh akar
permasalahan, malah telah berkembang menjadi bisul yang siap meletus
sewaktu-waktu.
Misalnya,
masalah kelaparan, kurang pangan, rendahnya mutu pendidikan, mundurnya
pelayanan kesehatan, tingginya pengangguran, sulitnya transportasi dan
komunikasi, pembalakan hutan dan laut. Itu semua hanyalah merupakan puncak
gunung es yang terlihat kasat mata.
Teriakan
“merdeka” merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat asli Papua, melihat
realitas kehidupan yang sangat pahit di sana. Apalagi Otsus hanya makin
memperlebar jurang kaya dan miskin. Rakyat Papua merasa terjajah di tanah
airnya sendiri.
Bukan
saja Otsus, efek dari program pemekaran wilayah yang tidak dibarengi pemikiran
matang telah berakibat makin rumitnya masalah dan telah menciptakan peluang
bagi korupsi dengan melahirkan kelompok elite yang tidak berpihak pada
masyarakatnya sendiri.
Analisis
Situasi
Di
era Orde Baru, boleh dikatakan roda birokrasi yang menggerakkan berbagai
program masih tampak berjalan walau dengan berbagai kekurangannya, namun kini
seiring dengan pergantian pemerintahan dan birokrasi, dan pemekaran yang belum
siap, berbagai masalah yang ada makin menjauhkan harapan kaum miskin.
Memang
kalau dilihat dari sisi fisik sudah banyak dibangun sekolah dan puskesmas,
namun apakah pernah dicek berapa banyak puskesmas yang lebih sering kosong
karena tidak ada petugas? Atau berapa banyak murid yang masih tidak bisa
menulis walau punya ijazah?
Di
Papua sebagian besar masyarakat sangat berharap akan perbaikan nasib melalui
penerimaan pegawai, baik sebagai pegawai negeri, anggota Polri atau TNI, maupun
di perusahaan besar seperti Freeport, namun seberapa besar daya serap
penerimaan pegawai negeri dan perusahaan?
Penyebab
kegagalan Otsus terletak karena lebih menitikberatkan besarnya nilai anggaran
dan bukan pada menciptakan lapangan pekerjaan dan keterampilan, pemerataan
kesejahteraan dan ketersediaan kebutuhan dasar, tegaknya hukum dan keadilan,
dan yang tidak kalah pentingnya adalah mereformasi sistem birokrasi dan
memperkuat pengawasan.
Berbagai
kelemahan ini akhirnya menciptakan kelompok elite Papua yang lebih sering
berada di Jakarta ketimbang di daerahnya. Kelompok elite inilah yang mempunyai
akses lebih untuk didengar di Jakarta melalui bantuan media massa.
Lalu
akan timbul pertanyaan sederhana di benak rakyat Papua, mengapa dana yang
puluhan triliunan tersebut tidak dirasakan manfaatnya oleh mereka. Di mana
kesalahan perencanaan? Ke mana lari dana-dana itu? Bagaimana alokasi dananya
yang telah dianggarkan?
Apakah
memang masuk anggaran pembangunan yang tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat
seperti bangunan fisik dan pengadaan barang? Atau lebih banyak habis untuk
belanja rutin seperti gaji pegawai, perjalanan dinas, studi banding keluar
negeri, sewa konsultan, rapat di hotel mewah di Jakarta?
Tawaran
Solusi
Sebagai
orang yang telah menetap lama dan bekerja di Papua, penulis menawarkan beberapa
pemikiran yang dapat ditempuh agar gejolak di Papua dapat teratasi paling tidak
dalam waktu dekat.
Pertama,
harus dibentuk suatu badan khusus pengkajian Papua yang mengumpulkan data
analisis situasi di masyarakat, mencari informasi dari masyarakat, maupun berbagai
narasumber, selain juga mempelajari faktor sosio budaya dan sejarah.
Sebaiknya
badan tersebut bekerja sama dengan para tokoh Papua, tokoh gereja, dan tokoh
adat sebagai “think tank” Papua. Perlu dicatat bahwa kebanyakan masyarakat
Papua masih akan mendengar suara dari para penatua gereja dan tokoh adat.
Badan
tersebut mutlak perlu diberi wewenang untuk evaluasi kinerja maupun mengangkat
pejabat birokrat profesional untuk menggerakkan roda birokrasi yang efektif dan
kompeten, tanpa memandang suku dan latar belakang orangnya di jabatan
strategis. Pejabat yang kompeten penting dalam upaya menggerakkan sistim
birokrasi pemerintahan yang efektif.
Jadi
langkah strategis awal pemerintah adalah mereformasi sistem birokrasi dengan
memilih dan mengangkat para birokrat kompeten yang bersedia mengabdikan diri
bagi perubahan di Papua.
Badan
ini mutlak wajib mengawasi kinerja para birokrat di pemerintahan dengan memberi
penilaian bagi integritas, kinerja, dan perilaku moral pejabatnya, agar roda
pemerintahan senantiasa berjalan efektif.
Sejujurnya
gejolak yang terjadi selama ini karena rakyat tidak merasakan adanya manfaat
dari Otsus dan tampaknya ini akibat dari lemahnya pengawasan, profesionalisme,
dan tumpang tindihnya birokrasi.
Sambil
berjalan dengan langkah-langkah di atas, badan perlu membuat keputusan cepat
agar “layanan publik" yang strategis seperti kesehatan dan pendidikan
segera direformasi antara lain dengan mendatangkan tenaga seperti masa Trikora
khusus tenaga kesehatan dan guru untuk wajib berada di tempat di pedalaman
dengan masa kerja lima tahun.
Selain
itu adakan perekrutan tenaga teknis kesehatan profesional wajib di RSUD dengan
masa kerja lima tahun. Penulis yakin masih ada banyak orang di antara 240 juta
rakyat Indonesia yang terpanggil dan rela berkorban membangun pedalaman Papua.
Selama
itu salah satu kendala yang dihadapi adalah mobilisasi cepat dari tenaga
kesehatan seperti dokter PTT yang bertugas hanya satu tahun, sehingga tidak ada
kesinambungan program dan tidak berada di tempat tugas dari para pegawai negeri
di pedalaman.
Lalu
dirikan segera sekolah-sekolah kejuruan yang meliputi bidang perternakan,
perikanan, budi daya, pertukangan, dan teknologi tepat guna, agar masyarakat
tidak hanya bergantung untuk diterima sebagai pegawai negeri atau pegawai
perusahaan.
Perlu
segera percepat terbitnya Perdasus yang mengatur penggunaan dana Otsus, dan
yang mengawasi pemakaiannya. Agar diperjelas pengimplementasian program,
perlu ada perangkat peraturan yang mengatur agar program yang akan dijalankan
tidak tumpang tindih dan perencanaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan
demikian, dapat menyentuh tuntutan rakyat selain diupayakan terciptanya
kesempatan lapangan kerja dan yang dapat mempunyai daya ungkit bangkitnya
perekonomian rakyat.
Sambil
berjalannya reformasi di atas, perlu dilibatkan lembaga nonpemerintah yang
sudah ada dan yang menjalankan pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan
pembiayaan dari pemerintah, agar lebih mempercepat tercapai pemerataan public
service.
Dengan
langkah-langkah tersebut sebenarnya mudah mengatasi masalah gejolak di Papua,
karena rakyat Papua sebenarnya hanya menuntut kebutuhan dasar masnusia, yaitu
peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan hukum yang transparan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar