Rabu, 16 November 2011

Efektivitas Penanganan Konflik Sosial


Efektivitas Penanganan Konflik Sosial

Dave McRae, RESEARCH FELLOW, LOWY INSTITUTE FOR INTERNATIONAL POLICY, SYDNEY
Sumber : KOMPAS, 16 November 2011


Kerusuhan Ambon yang terjadi September lalu merupakan insiden kekerasan antarkelompok terbaru yang terjadi dalam kurun setahun terakhir. Sebelumnya, kekerasan berdarah mewarnai proses pilkada di Papua, Juli lalu.

Pada Februari, jemaah Ahmadiyah diserang di Cikeusik, Banten. Sementara pada September 2010, Kota Tarakan di Kalimantan Timur lumpuh selama beberapa hari akibat kerusuhan. Dalam kasus-kasus tersebut, respons dini dari aparat keamanan dan pemerintah terlihat lemah. Meningkatnya kekerasan selama beberapa hari terjadi akibat pihak berwenang gagal mencegah eskalasi yang semestinya bisa dilakukan sejak dini.

Berbagai kegagalan ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah dan aparat keamanan punya kapasitas dan wewenang yang dibutuhkan untuk mengantisipasi dan menangani konflik kekerasan antarkomunitas? Di daerah pascakonflik seperti Ambon, upaya pemerintah dan aparat keamanan dalam konsolidasi perdamaian sejak 2004-2005 juga patut dipertanyakan.

Perlu Direvisi

Berbagai peristiwa konflik ini ikut mendorong DPR agar segera merampungkan RUU Penanganan Konflik Sosial, yang diajukan koalisi masyarakat sipil pada 2008. Meski demikian, tanpa revisi mendalam, RUU yang ada itu tak akan berkontribusi banyak dalam mencegah terjadinya kekerasan pada masa depan.

Bagian RUU yang menyangkut pencegahan konflik terkesan kabur. Fungsi pengamanan tak diatur secara jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum baru. Rancangan ini juga tak menyentuh masalah kepentingan ekonomi dan politik yang sering kali ada dalam tiap kekerasan sehingga menjadikan aparat keamanan lalai melindungi warga.

Rancangan yang ada sekarang dikritik luas oleh kelompok masyarakat sipil, bahkan oleh salah satu anggota pansus yang bertugas membahas RUU ini. Jika RUU ini dinilai perlu, isinya perlu dirombak sebelum dikesahkan oleh DPR.

Tiga pendekatan pencegahan konflik tertuang dalam naskah RUU: pemeliharaan kondisi damai; penyelesaian perselisihan secara damai; serta peredaman potensi konflik. Tidak ada yang salah. Namun, kecuali menetapkan mekanisme sistem peringatan dini, RUU ini tak menetapkan langkah operasional lainnya untuk mencapai tujuan tersebut, kecuali hanya prinsip umum. Misalnya, pemerintah bertanggung jawab ”melaksanakan pembangunan yang sensitif konflik” atau ”setiap perselisihan di masyarakat diutamakan penyelesaian perselisihan secara damai”.

Di luar pencegahan, ada tiga masalah pokok menyangkut pengaturan keamanan dalam RUU ini. Pertama, mekanisme resolusi konflik tak diatur secara rinci dan tak dilengkapi ”aturan main”-nya. Hal ini bisa dilihat secara jelas dengan diadopsinya pranata adat sebagai mekanisme resolusi konflik yang utama serta dapat membuat keputusan final dan mengikat.

Pada praktiknya, di banyak situasi konflik di Indonesia tidak ada konsensus antara berbagai pihak tentang kedudukan adat. Kebanyakan konflik melibatkan baik masyarakat migran maupun kelompok etnis setempat sehingga tidak ada satu sistem adat yang bisa diterima oleh semua pihak. Lembaga adat justru sering terkait dengan salah satu pihak dalam konflik.

Penelitian Bank Dunia juga menyimpulkan bahwa pendekatan adat hanya efektif menyelesaikan konflik dalam konteks tertentu, terutama jika konflik berada dalam satu desa dan melibatkan satu kelompok etnis saja. Perlu ada pengakuan dalam naskah RUU bahwa pendekatan adat hanya cocok bagi konflik tertentu sehingga perlu diatur proses bagi pihak yang terkait agar dapat memilih untuk tidak menggunakan pranata adat.

Standar prosedural dasar juga dibutuhkan, demikian halnya dengan perlunya proses banding atau peninjauan oleh lembaga peradilan formal. Tanpa ”aturan main” semacam ini, RUU ini bisa dipakai untuk membenarkan penyalahgunaan adat yang tak adil.

Kedua, sejumlah pasal dalam RUU pada intinya melimpahkan wewenang atas keamanan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pelimpahan ini menimbulkan risiko di mana keputusan menyangkut keamanan justru akan diambil oleh pihak yang sebenarnya berkepentingan dalam konflik.

Pelimpahan paling jelas adalah diberikannya wewenang menetapkan ”keadaan konflik”—intinya keadaan darurat sipil—kepada gubernur untuk konflik tingkat provinsi dan bupati untuk konflik tingkat kabupaten. Dalam ”keadaan konflik”, kepala daerah memperoleh wewenang luar biasa melarang orang memasuki atau meninggalkan daerahnya, membatasi orang di luar rumah, memindahkan penduduk, serta melarang orang berkumpul dalam jumlah berapa pun. Menurut UU sekarang, hanya presiden yang berwenang menetapkan keadaan darurat sipil.

Kewenangan menetapkan keadaan darurat oleh pemerintah daerah bisa menimbulkan masalah karena tak jarang pemerintah daerah terlibat langsung dalam konflik. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam konflik pemekaran wilayah seperti yang terjadi di Mamasa, Sulawesi Barat, pada 2003-2005. Konflik ini menyebabkan 10 korban tewas, sementara ribuan orang mengungsi.

Ketiga, RUU ini menimbulkan tiga jenis ketidakpastian hukum baru: wewenang tertentu diberikan kepada lebih dari satu pihak; hal yang diatur dalam UU lain juga diatur dalam RUU ini; dan adanya wewenang luas yang baru yang hampir pasti akan diadukan ke Mahkamah Konstitusi.

Salah satu contoh wewenang ganda menyangkut status daerah konflik: pemimpin sipil dapat menetapkan ”keadaan konflik”, sementara pihak kepolisian diberi wewenang menetapkan ”zona konflik”. Tidak ada penjelasan tentang perbedaan kedua konsep ini.

Wewenang baru yang terluas dalam RUU adalah wewenang kepolisian melarang orang berkumpul dalam jumlah berapa pun (batas minimal tidak disebutkan). Pemimpin sipil juga diberi wewenang yang sama dalam keadaan konflik. Wewenang ini lebih luas daripada yang tertera dalam undang-undang darurat yang ada sekarang, yang notabene ditetapkan pada masa pemerintahan otoriter.

Pembatasan Wewenang

Aturan RUU soal penyelesaian konflik di luar pengadilan juga perlu dilengkapi pembatasan wewenang. Menurut RUU ini, penyelesaian apa pun di luar pengadilan final dan mengikat. Namun, salah satu ”aturan main” penting yang perlu ditambahkan adalah adanya mekanisme banding bagi keputusan yang diambil oleh badan penyelesaian konflik mana pun di luar pengadilan.

Pada akhirnya, penyusunan undang-undang merupakan satu bagian saja dari upaya pencegahan konflik kekerasan. Mencari cara untuk mendorong pihak berwenang agar secara efektif mengintervensi juga tidak kalah pentingnya.

Jika masalah-masalah yang ada dalam RUU ini diperbaiki serta ada pengaturan yang jelas tentang mekanisme mendeteksi dan menyelesaikan berbagai ancaman yang timbul, RUU ini dapat menjadi alat baru yang berguna dalam mencegah kekerasan pada masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar