Efektivitas Penanganan Konflik Sosial
Dave McRae, RESEARCH FELLOW, LOWY INSTITUTE FOR INTERNATIONAL POLICY, SYDNEY
Sumber : KOMPAS, 16 November 2011
Kerusuhan
Ambon yang terjadi September lalu merupakan insiden kekerasan antarkelompok
terbaru yang terjadi dalam kurun setahun terakhir. Sebelumnya, kekerasan
berdarah mewarnai proses pilkada di Papua, Juli lalu.
Pada
Februari, jemaah Ahmadiyah diserang di Cikeusik, Banten. Sementara pada
September 2010, Kota Tarakan di Kalimantan Timur lumpuh selama beberapa hari
akibat kerusuhan. Dalam kasus-kasus tersebut, respons dini dari aparat keamanan
dan pemerintah terlihat lemah. Meningkatnya kekerasan selama beberapa hari
terjadi akibat pihak berwenang gagal mencegah eskalasi yang semestinya bisa
dilakukan sejak dini.
Berbagai
kegagalan ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah dan aparat keamanan
punya kapasitas dan wewenang yang dibutuhkan untuk mengantisipasi dan menangani
konflik kekerasan antarkomunitas? Di daerah pascakonflik seperti Ambon, upaya
pemerintah dan aparat keamanan dalam konsolidasi perdamaian sejak 2004-2005
juga patut dipertanyakan.
Perlu
Direvisi
Berbagai
peristiwa konflik ini ikut mendorong DPR agar segera merampungkan RUU
Penanganan Konflik Sosial, yang diajukan koalisi masyarakat sipil pada 2008.
Meski demikian, tanpa revisi mendalam, RUU yang ada itu tak akan berkontribusi
banyak dalam mencegah terjadinya kekerasan pada masa depan.
Bagian
RUU yang menyangkut pencegahan konflik terkesan kabur. Fungsi pengamanan tak
diatur secara jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum baru. Rancangan ini
juga tak menyentuh masalah kepentingan ekonomi dan politik yang sering kali ada
dalam tiap kekerasan sehingga menjadikan aparat keamanan lalai melindungi
warga.
Rancangan
yang ada sekarang dikritik luas oleh kelompok masyarakat sipil, bahkan oleh
salah satu anggota pansus yang bertugas membahas RUU ini. Jika RUU ini dinilai
perlu, isinya perlu dirombak sebelum dikesahkan oleh DPR.
Tiga
pendekatan pencegahan konflik tertuang dalam naskah RUU: pemeliharaan kondisi
damai; penyelesaian perselisihan secara damai; serta peredaman potensi konflik.
Tidak ada yang salah. Namun, kecuali menetapkan mekanisme sistem peringatan
dini, RUU ini tak menetapkan langkah operasional lainnya untuk mencapai tujuan
tersebut, kecuali hanya prinsip umum. Misalnya, pemerintah bertanggung jawab
”melaksanakan pembangunan yang sensitif konflik” atau ”setiap perselisihan di
masyarakat diutamakan penyelesaian perselisihan secara damai”.
Di
luar pencegahan, ada tiga masalah pokok menyangkut pengaturan keamanan dalam
RUU ini. Pertama, mekanisme resolusi konflik tak diatur secara rinci dan tak
dilengkapi ”aturan main”-nya. Hal ini bisa dilihat secara jelas dengan
diadopsinya pranata adat sebagai mekanisme resolusi konflik yang utama serta
dapat membuat keputusan final dan mengikat.
Pada
praktiknya, di banyak situasi konflik di Indonesia tidak ada konsensus antara
berbagai pihak tentang kedudukan adat. Kebanyakan konflik melibatkan baik
masyarakat migran maupun kelompok etnis setempat sehingga tidak ada satu sistem
adat yang bisa diterima oleh semua pihak. Lembaga adat justru sering terkait
dengan salah satu pihak dalam konflik.
Penelitian
Bank Dunia juga menyimpulkan bahwa pendekatan adat hanya efektif menyelesaikan
konflik dalam konteks tertentu, terutama jika konflik berada dalam satu desa
dan melibatkan satu kelompok etnis saja. Perlu ada pengakuan dalam naskah RUU
bahwa pendekatan adat hanya cocok bagi konflik tertentu sehingga perlu diatur
proses bagi pihak yang terkait agar dapat memilih untuk tidak menggunakan
pranata adat.
Standar
prosedural dasar juga dibutuhkan, demikian halnya dengan perlunya proses
banding atau peninjauan oleh lembaga peradilan formal. Tanpa ”aturan main”
semacam ini, RUU ini bisa dipakai untuk membenarkan penyalahgunaan adat yang
tak adil.
Kedua,
sejumlah pasal dalam RUU pada intinya melimpahkan wewenang atas keamanan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pelimpahan ini menimbulkan risiko di
mana keputusan menyangkut keamanan justru akan diambil oleh pihak yang
sebenarnya berkepentingan dalam konflik.
Pelimpahan
paling jelas adalah diberikannya wewenang menetapkan ”keadaan konflik”—intinya
keadaan darurat sipil—kepada gubernur untuk konflik tingkat provinsi dan bupati
untuk konflik tingkat kabupaten. Dalam ”keadaan konflik”, kepala daerah
memperoleh wewenang luar biasa melarang orang memasuki atau meninggalkan
daerahnya, membatasi orang di luar rumah, memindahkan penduduk, serta melarang
orang berkumpul dalam jumlah berapa pun. Menurut UU sekarang, hanya presiden
yang berwenang menetapkan keadaan darurat sipil.
Kewenangan
menetapkan keadaan darurat oleh pemerintah daerah bisa menimbulkan masalah
karena tak jarang pemerintah daerah terlibat langsung dalam konflik. Ini bisa dilihat,
misalnya, dalam konflik pemekaran wilayah seperti yang terjadi di Mamasa,
Sulawesi Barat, pada 2003-2005. Konflik ini menyebabkan 10 korban tewas,
sementara ribuan orang mengungsi.
Ketiga,
RUU ini menimbulkan tiga jenis ketidakpastian hukum baru: wewenang tertentu
diberikan kepada lebih dari satu pihak; hal yang diatur dalam UU lain juga
diatur dalam RUU ini; dan adanya wewenang luas yang baru yang hampir pasti akan
diadukan ke Mahkamah Konstitusi.
Salah
satu contoh wewenang ganda menyangkut status daerah konflik: pemimpin sipil
dapat menetapkan ”keadaan konflik”, sementara pihak kepolisian diberi wewenang
menetapkan ”zona konflik”. Tidak ada penjelasan tentang perbedaan kedua konsep
ini.
Wewenang
baru yang terluas dalam RUU adalah wewenang kepolisian melarang orang berkumpul
dalam jumlah berapa pun (batas minimal tidak disebutkan). Pemimpin sipil juga
diberi wewenang yang sama dalam keadaan konflik. Wewenang ini lebih luas
daripada yang tertera dalam undang-undang darurat yang ada sekarang, yang notabene
ditetapkan pada masa pemerintahan otoriter.
Pembatasan
Wewenang
Aturan
RUU soal penyelesaian konflik di luar pengadilan juga perlu dilengkapi
pembatasan wewenang. Menurut RUU ini, penyelesaian apa pun di luar pengadilan
final dan mengikat. Namun, salah satu ”aturan main” penting yang perlu
ditambahkan adalah adanya mekanisme banding bagi keputusan yang diambil oleh
badan penyelesaian konflik mana pun di luar pengadilan.
Pada
akhirnya, penyusunan undang-undang merupakan satu bagian saja dari upaya pencegahan
konflik kekerasan. Mencari cara untuk mendorong pihak berwenang agar secara
efektif mengintervensi juga tidak kalah pentingnya.
Jika
masalah-masalah yang ada dalam RUU ini diperbaiki serta ada pengaturan yang
jelas tentang mekanisme mendeteksi dan menyelesaikan berbagai ancaman yang
timbul, RUU ini dapat menjadi alat baru yang berguna dalam mencegah kekerasan
pada masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar