Renegosiasi Kontrak Tambang
Marwan Batubara, DIREKTUR INDONESIAN RESOURCES STUDIES
Sumber : KOMPAS, 15 November 2011
Pada
peringatan Hari Pancasila 1 Juni 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan pemerintah sedang mengkaji ulang kontrak-kontrak investasi asing
yang berkaitan dengan sumber daya alam. Sebenarnya, sesuai Pasal 169 Ayat b dan
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, renegosiasi otomatis harus dilakukan dan telah dimulai sejak 14
Januari 2010.
Menurut
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, proses renegosiasi dilakukan terhadap 118 kontraktor, 42 kontraktor
kontrak karya (KK), dan 76 kontraktor perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara (PKP2B).
Meskipun
UU No 4/2009 memerintahkan harus selesai dalam satu tahun setelah ditetapkan,
ternyata setelah lebih dari dua tahun, hasil renegosiasi masih jauh dari
harapan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan proses tersebut
selesai akhir 2011.
Ada
enam isu strategis yang menjadi fokus renegosiasi, yaitu luas wilayah kerja,
perpanjangan kontrak, penerimaan negara (pajak dan royalti), kewajiban
divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan
barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Hingga Oktober 2011, 9 kontraktor KK
sudah menyetujui seluruh klausul renegosiasi, 23 setuju sebagian, dan 5
menolak, terutama karena alasan kesucian kontrak (sanctity of contract), yaitu
Freeport, Nabire Bakti Mining, Irja Eastern Minerals, Pasik Masao, dan Pasifik
Masao.
Sementara
untuk PKP2B, belum satu pun yang setuju renegosiasi, terutama terkait royalti
dan kewajiban pemurnian, dengan alasan royalti batubara sudah cukup tinggi
(13,5 persen) dan batubara adalah barang siap pakai yang tidak perlu diolah.
Penolakan
Reaksi
keras datang pertama kali dari Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia
Ted Osius yang mengatakan, ”Saya rasa itu (renegosiasi) akan sulit. Begitu Anda
menandatangani kontrak dan mau mengevaluasi kontrak, bahkan mau mengubah
kontrak, investor langsung menyebutnya ketidakpastian. Itu seperti mengubah
aturan main di tengah-tengah permainan. Itu akan memberikan sinyal kurang baik
bagi investor.”
Pada
September 2011, melalui juru bicara Ramdani Sirait, Freeport kembali menegaskan
penolakan terhadap renegosiasi dengan menyatakan hanya akan menghormati dan
mematuhi ketentuan KK yang ditandatangani pada 1991.
Penolakan
lain datang dari Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining
Association/IMA) yang menyatakan akan berpegang pada ketentuan Pasal 169 Ayat a
UU No 4/2009. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa KK dan PKP2B yang
ditandatangani sebelum penetapan UU No 4/2009 harus dihormati sampai masa
berlakunya berakhir.
IMA
meminta agar Pasal 169 Ayat b yang menjadi acuan renegosiasi oleh pemerintah
dicabut, dan jika tetap dipaksakan, pemerintah dapat digugat di arbitrase
internasional. IMA juga mengingatkan bahwa besarnya royalti emas yang berlaku
secara internasional umumnya 2 persen, lebih rendah dari ketentuan PP No
45/2003 yang diberlakukan pemerintah sebesar 3,75 persen.
Sikap
Kita
Ancaman
penarikan, pembatalan, atau gangguan iklim investasi akibat renegosiasi harus
dijawab pemerintah dengan tegas melalui berbagai langkah alternatif seperti
penunjukan konsorsium BUMN dan/atau pemilihan negara/perusahaan dari negara
lain sebagai mitra investasi.
Ancaman
seperti ini telah membelenggu dan menyandera Indonesia sekian lama tanpa
berbuat sesuatu kecuali tunduk patuh dan takluk. Sekarang saatnya bagi
Indonesia untuk melawan dan menghadapi semua tantangan tersebut dengan penuh
percaya diri sebagai negara yang mandiri, berdaulat, dan bermartabat.
Ancaman
gugatan arbitrase internasional merupakan senjata lain yang sering digunakan
asing untuk tetap mendominasi dan selama ini pun telah cukup ampuh menundukkan
pemerintah.
Ketundukan
ini umumnya lebih karena sikap pejabat yang lemah, pengecut, berkhianat, atau
berkolaborasi dengan asing untuk berburu rente atau dalam rangka mendapat
dukungan politik. Dalam kasus arbitrase Karaha Bodas (2006), misalnya, oknum
pengkhianat sangat berperan membantu asing sehingga strategi yang sedang disiapkan
Indonesia untuk menghadapi sidang arbitrase dalam waktu singkat telah bocor
kepada pihak lawan.
Hal
ini tidak boleh berulang, dan pemerintah harus mampu menghadapi dan
mempersiapkan gugatan secara saksama karena kita telah mempunyai UU yang baru
(UU Pertambangan Mineral dan Batubara No 4/2009) dan hukum yang digunakan dalam
sidang arbitrase adalah hukum negara tuan rumah.
Dalam
hal royalti emas, tak benar bahwa yang berlaku umum di dunia rata-rata 2
persen. Di Kanada, rate yang berlaku di tiga negara bagian (British Columbia,
Ontario, dan Quebec) sebesar 15 persen hingga 20 persen.
Untuk
Amerika Latin berlaku rate: Argentina 3 persen, Cile 3 persen, dan Venezuela 3
persen. Untuk Afrika berlaku rate: Angola 5 persen, Botswana 5 persen, Ghana 3
persen, dan Mozambik 3-8 persen. Untuk Asia berlaku rate: China 4 persen,
Uzbekistan 5 persen, Indonesia 3,75 persen, dan Papua Niugini 2 persen;
sedangkan untuk Eropa berlaku: Rusia 6 persen, Polandia 10 persen, dan
Azerbaijan 3 persen.
Dengan
data ini, rate royalti 3,75 persen yang diberlakukan Indonesia justru dapat
dianggap sedikit di bawah rata-rata. Mengapa dikatakan tinggi?
Pada
praktiknya, meskipun telah didukung oleh PP No 45/2003 yang berisi antara lain
rate royalti emas, perak, dan tembaga masing-masing 3,75 persen, 3,25 persen,
dan 4 persen, ternyata pemerintah tidak mampu menerapkan. Saat ini royalti yang
dibayar Freeport untuk emas 1 persen, perak 1 persen, dan tembaga 1,5 persen.
Aneka Tambang sebagai BUMN pun telah membayar 3,75 persen.
Dengan
memperhatikan kondisi obyektif dunia tambang yang memberlakukan rate royalti
lebih dari 3 persen—peraturan yang berlaku sejak 2003 dan perusahaan milik
negara sendiri pun telah menjalankan—sangat tak wajar jika perusahaan asing
seperti Freeport masih membayar royalti 1 persen!
Apakah
sikap arogan, membangkang, dan mengangkangi aturan negara yang ditunjukkan
Freeport ini akan terus dibiarkan?
Freeport
menyatakan, setelah menjalankan operasi di Indonesia selama lebih dari empat
dasawarsa, total kontribusi hingga Juni 2011 sebesar 12,8 miliar dollar AS.
Jumlah tersebut terdiri atas royalti 1,3 miliar dollar AS, dividen 1,2 miliar
dollar AS, PPh Badan 7,9 miliar dollar AS, PPH karyawan dan pajak lain 2,4
miliar dollar AS. Namun, Freeport tak menyebutkan jumlah keuntungan yang telah
diraih.
Faktanya,
Freeport memperoleh jauh lebih besar dibandingkan dengan 12,8 miliar dollar AS
yang diterima negara, yang diperkirakan lebih dari dua kali lipat. Sebagai
pemilik sumber daya, negara RI seharusnya menerima lebih besar sebagaimana yang
terjadi pada kontrak-kontrak migas. Hal ini jelas tidak adil!
Selain
itu, selama menambang di Eastberg pada fase awal, Freeport tidak melaporkan
produksi emas, kecuali hanya produksi perak dan tembaga. Manipulasi dan ketidakadilan
ini telah menjadikan Freeport berubah dari perusahaan tambang kecil menjadi
salah satu perusahaan raksasa dunia.
Kepentingan
Nasional
Renegosiasi
kontrak mutlak harus segera dituntaskan demi kedaulatan negara, harga diri
bangsa, rasa keadilan, transparansi pengelolaan, dan peningkatan penerimaan
untuk kesejahteraan. Pemerintah harus memosisikan negara sebagai pengendali
sektor strategis ini.
Renegosiasi
merupakan amanat rakyat dalam undang-undang baru yang harus dipatuhi oleh siapa
pun yang berkontrak di negara ini. Untuk itu pemerintah harus bersikap tegas,
berani, dan mempersiapkan strategi negosiasi secara saksama, termasuk
memanfaatkan isu lingkungan dan kerja sama internasional alternatif.
Selain
renegosiasi kontrak, ke depan rakyat perlu mendapat kepastian bahwa seluruh
wilayah tambang yang habis masa kontraknya harus dikembalikan kepada negara.
Selanjutnya, untuk menjamin dominasi negara, optimasi pendapatan dan
kesinambungan produksi, cadangan, dan operasional tambang harus dikuasai perusahaan
negara. Cadangan yang dimiliki harus menjadi underlying asset untuk peningkatan
kapital pemerintah dan pemberdayaan BUMN kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar