"Fairport", Bukan Freeport
Effendi Gazali, PENELITI KOMUNIKASI POLITIK
Sumber : KOMPAS, 15 November 2011
Tiba-tiba
Presiden SBY menyatakan, ada pihak-pihak yang tak waras. Entah kepada siapa
pernyataan itu ditujukan. Saya menonton langsung siarannya di TVRI. Situs
Presiden pun mengutip pernyataan Pak Beye di sela-sela arahan untuk rapat
terbatas membahas Papua di Kantor Presiden (9/11/2011).
Lengkapnya,
Pak Beye menyebut tidak waras kalau ada yang menuduh pertemuannya dengan Sri Mulyani
sebagai ”Konspirasi Century”. Juga kedatangannya ke acara HUT Golkar yang
dianggap sebagai ”Konspirasi Lapindo”. Ia pun membandingkan ”ketidakwarasan”
pihak yang mengkritik atau menuduhnya dengan ”kewarasan” pihak luar negeri yang
justru mengapresiasi apa yang sudah dilakukan pemerintah.
Fenomena
komunikasi politik waras dan tak waras ini jadi menarik karena beberapa
pertimbangan. Pertama, ini ungkapan yang terasa tegas dan keras dari Pak Beye.
Jika dianalogikan pada zaman Pak Harto, kira-kira ungkapannya seperti: ”Tak
gebuk!”
Kedua,
rapat terbatas di Kantor Presiden itu sebetulnya dikhususkan untuk membahas
Papua; tetapi yang terdengar nyaring keluar adalah bantahan defensif soal Bank
Century dan Lapindo. Ini pun sebuah sinyal bahwa pemerintah tidak fokus pada
persoalan Papua.
Ia
dengan gampang tergeser oleh sesuatu yang dianggap lebih ”panas”. Akibatnya,
kewarasan atau ketidakwarasan cenderung dipertarungkan pada isu-isu lain, bukan
pada substansi Papua itu sendiri!
Ketiga,
rupanya dalam komunikasi politik, pemimpin di Indonesia sering sekali
dipertentangkan antara kewarasan pihak di antara rakyat Indonesia dan pihak di
luar negeri. Perbandingan ini dibuat begitu linier seakan kedua pihak memiliki
kepentingan yang persis sama terhadap tanah dan air Indonesia.
”The
Other”
Dari
poin-poin di atas, tampak kesan bahwa Papua diposisikan oleh pemerintah kita
sebagai ”the other”. Katakanlah semacam fenomena ”bukan (persis) saya atau
kita”. Walhasil, mereka tidak fokus ke sana. Dengan begitu, tentulah tak bisa merasakan
persis dukanya (kalau memetik sukanya mungkin ada). Namun, ini tidak hanya
eksklusif untuk elite politik. Untung ada rekan-rekan dari Walhi, Jaringan
Advokasi Tambang, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), serta pemerhati HAM lain. Namun, untuk—ambil contoh—sebagian aktivis
mahasiswa, tema ini masih relatif bagaikan isu ”the other”.
Kewarasan
aneka pihak tentang ”the other” ini juga jauh berbeda! Beberapa sumber
menghitung, kurun waktu 1967-2010 (43 tahun), penambangan Freeport sudah
menghasilkan 7,3 juta ton tembaga plus 724,7 juta ton emas. Hitung-hitungan
mereka menyebutkan, setiap tahun, Freeport mendulang hasil penjualan Rp
8.426,744 triliun. Setelah dipotong bermacam-macam biaya, hasil bersih sekitar
Rp 8.000 triliun per tahun. Bandingkan dengan volume APBN kita (Rp 1.202
triliun).
Nah,
berapa yang diperoleh Indonesia? Salah satu sumber adalah Hatta Taliwang,
mantan anggota DPR yang rajin mengumpulkan data untuk kewarasan rakyat
versinya. Menurut Taliwang, Indonesia hanya mendapat sekitar 1 persen atau Rp
80 triliun per tahun. Sebagian media bahkan memperkirakan Rp 15 triliun-Rp 20
triliun setiap tahun.
Saya
tak mengatakan sumber ini yang benar. Pasti segera akan ada yang menyebut
perhitungan nan beredar luas di media sosial tersebut naif. Situs Freeport,
misalnya, menyatakan, sejak dimulainya kontrak yang berlaku saat ini dengan
pemerintah pada 1992, manfaat langsung bagi Indonesia seluruhnya mencapai lebih
dari 8 miliar dollar AS. Kontribusi tak langsung, antara lain, berupa investasi
senilai lebih kurang 6 miliar dollar AS pada berbagai proyek. Di luar itu, ada
pembelian barang dan jasa dalam negeri serta dana kemitraan. Belum lagi dana
untuk kepolisian yang belakangan bikin heboh.
Persoalan
utamanya, jika reduction of uncertainties menjadi salah satu prinsip utama
komunikasi politik, siapakah yang pernah jadi mediator independen dari
perbedaan kewarasan ini? Jika belum ada, kewarasan versi saya (sebagai contoh)
membayangkan seharusnya Papua itu sudah tumbuh begitu rupa sehingga saat kita
mendarat di sana kita seperti menyaksikan emirat bernama Abu Dhabi! Inilah
kewarasan yang amat mungkin didukung oleh kewarasan rakyat biasa lainnya. Masih
banyak kewarasan lain yang terlihat bertentangan tajam. Pemerintahan Pak Beye sering
menyatakan, hanya terjadi pelanggaran HAM kecil di Papua. Sementara Kontras
punya data tentang pelanggaran-pelanggaran serius berbasis pada laporan
(kewarasan) warga. Koordinator Kontras Usman Hamid dengan tegas menyatakan,
mereka juga mencatat dan bersuara sekalipun yang jadi korban adalah aparat.
”Fairport”
Sekarang
ini mengerucut soal kewarasan domestik dan luar negeri. Jelang terpilihnya
Obama, November 2008, dalam berbagai diskusi di Indonesia ataupun di AS, saya
terus mengilik soal Papua dan Freeport. Untuk Indonesia, setidaknya isu ini
bisa jadi indikator untuk membuktikan apakah Obama memang lebih hebat (baik)
dari Bush Junior. Tak mungkin Obama tak tahu soal kewarasan yang berbeda-beda
ini. Faktanya, saat Obama datang ke Indonesia, tidak nyaring kita dengar
kata-kata ”Papua” (di luar kata-kata pulang kampung, sate, bakso, dan lainnya).
Yang
lebih substansial justru apa yang disampaikan Richard Greene, penulis buku
Words that Shook the World. Ia datang pada saat yang sama dengan Obama dan
memberikan kuliah umum ”Komunikasi Politik Seorang Pemimpin” (9/11/10). Greene
tuntas menyatakan, ”Poin utama dalam komunikasi politik adalah kejujuran dan
ketulusan. Tanpa itu, politisi hanya akan dipandang sebagai manipulator.” Untuk
aneka kasus yang berat, ia memberikan tips mengedepankan keterbukaan tentang
beratnya hal tersebut dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak memiliki agenda
manipulatif. Terhadap krisis Papua—menurut hemat saya—jangankan pemimpin
Indonesia, Obama pun mungkin belum pernah menjalankan tips ini.
Berangkat
dari pemikiran Richard Greene, sebagian pencinta makna mungkin mulai berharap
posisi Freeport di Papua seharusnya berganti menjadi ”Fair- port”. Keadilan dan
kejujuranlah yang harus jadi referensi menentukan sebesar-besarnya manfaat alam
tersebut untuk (sesuai dengan kewarasan) rakyat Papua, bangsa Indonesia,
pemimpin Indonesia, para pemilik perusahaan tambang, sampai ke Obama Sang
Penerima Nobel Perdamaian!
Akhirnya,
mungkin bangsa ini boleh bermimpi tentang sebuah isyarat, misalnya pada
peringatan kemerdekaan RI di Istana. Jika kita sayang Papua, selain lagu-lagu
wajib dan tambahan lagu-lagu Pak Beye, semestinya sudah lama ada lagu
pendamping tentang Papua. Bayangkan kalau warga Papua mendengarkan di akhir
acara yang sakral tersebut mengalun syair seperti (lagu ”Aku Papua” Franky
Sahilatua), Tanah Papua, tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi. Seluas
tanah, sebanyak batu, adalah harta harapan.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar