Memperjelas Posisi Mr. Sjaf
Sugeng Priyadi,
DOSEN
SEJARAH UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
Sumber : SUARA MERDEKA, 15 November 2011
Presiden
SBY telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Buya Hamka, Sri
Susuhunan Paku Buwono X, Idham Chalid, IJ Kasimo, I Gusti Ketut Pudja, Ki Sarmidi
Mangoensarkoro, dan Sjafruddin Prawiranegara. Khusus untuk Mr Sjaf, sebutan
akrabnya, diwacanakan sebagai presiden kedua. Wacana itu sudah lama ketika Asvi
Warman Adam menulisnya di Kompas, 27 Oktober 2004. Artikel itu
dimuat dalam buku kumpulan tulisan berjudul Membongkar Manipulasi Sejarah:
Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (Penerbit Kompas, 2009).
Yang menjadi persoalan apakah wacana Asvi tadi dapat dipertahankan? Apakah memang tepat secara faktual? Penulisan dan pelurusan sejarah harus dimulai dengan ketersediaan data dan fakta. Data yang dapat diteliti adalah dokumen yang berisi telegram Presiden Soekarno kepada Mr Sjafruddin meskipun telegram itu tidak sampai di tangannya.
Jika kita cermati bunyi telegram itu maka Sjafruddin mendapat mandat untuk mengusahakan Pemerintah Darurat di Sumatra. Soekarno tidak menyerahkan jabatannya sebagai presiden kepada Sjafruddin meskipun ia ditawan Belanda. Di situ, Sjafruddin yang berkedudukan sebagai Menteri Kemakmuran untuk menjalankan kewajiban sebagai pemerintah yang bersifat darurat.
Sjafruddin ternyata mempunyai inisiatif menjadi penyelamat republik sebagai Ketua PDRI. Ia tidak pernah berinisiatif menjadi Presiden PDRI. Kedudukan Ketua PDRI menurut Asvi adalah sama dengan kedudukan presiden. Namun, Sjafruddin bukanlah presiden melainkan tetap pejabat Menteri Kemakmuran, yang menjalankan tugas presiden dan Soekarno tidak menyerahkan jabatannya kepada Sjafruddin.
Teks telegram Soekarno sebenarnya sudah sangat jelas bahwa ia hanya memberikan mandat. Penafsiran Sjafruddin sebagai presiden dalam pikiran Asvi mungkin diilhami dari salah tafsir terhadap Supersemar di kalangan orang-orang di sekitar Soeharto ketika mereka membaca teks tersebut yang baru diterima dari Presiden Soekarno. Ketika Soekarno menerima penyerahan mandat dari Sjafruddin, ia selalu disebut sebagai presiden walaupun sempat ditawan Belanda. Posisi sebagai tawanan tidak menjadikan Soekarno melepaskan jabatannya sebagai presiden.
Wacana Sjafruddin sebagai presiden kedua merupakan suatu hal yang berlebih-lebihan. Memang keberadaan PDRI itu sangat penting bagi keberlangsungan RI. Namun, Presiden Soekarno tidak pernah mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak ada peristiwa sejarah yang menyokong Sjafruddin pernah dilantik sebagai presiden kedua. Tidak ada lembaga seperti PPKI yang mengangkat dia sebagai presiden.
Enam Presiden
Asvi juga mewacanakan ada tokoh lain yang layak disebut sebagai presiden, yaitu Assaat. Wacana ini juga perlu ditinjau kembali dengan teliti. Kita lihat bahwa benar Assaat adalah presiden, tetapi RI pada masa RIS hanyalah berkedudukan sebagai negara bagian. Atau lebih tepatnya, RI adalah salah satu dari 16 negara bagian dari RIS. Soekarno pada waktu itu berkedudukan sebagai Presiden RIS, yang lingkup wilayahnya lebih luas daripada RI.
Republik Indonesia telah mengalami pembonsaian sehingga hampir sama dengan provinsi atau negara bagian. Presiden Assaat tidak lebih sama dengan para bhattara pada zaman Majapahit, seperti Bhattara i Daha, Bhattara i Pajang, atau Bhattara i Paguhan. Presiden Assaat layak disebut gubernur negara bagian, yang dalam sejarah birokrasi Sriwijaya dinamakan dengan datu, yang tinggal di kadatuan. Dengan demikian, Assaat tidak pernah menjadi presiden RI yang berkedudukan sebagai presiden RI seperti zaman Soekarno (17 Agustus 1945-27 Desember 1949) atau presiden NKRI (15 Agustus 1950 hingga kini).
Jadi, Assaat tidak mungkin dimasukkan sebagai presiden sisipan pada masa Soekarno memerintah karena jabatan presiden selalu melekat pada dirinya. Kedudukan Presiden Assaat tidak setara dengan Soekarno. Assaat setara dengan presiden negara bagian, seperti Presiden Negara Pasundan, atau Presiden Negara Indonesia Timur. Sampai sekarang yang pantas disebut presiden yang setara dengan NKRI baru ada enam (Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono), bukan delapan, seperti diusulkan Asvi Warman Adam. Sjafruddin dan Assaat tidak dapat ditempatkan sebagai presiden yang setara dengan enam presiden, yang tercatat dalam sejarah. ●
Yang menjadi persoalan apakah wacana Asvi tadi dapat dipertahankan? Apakah memang tepat secara faktual? Penulisan dan pelurusan sejarah harus dimulai dengan ketersediaan data dan fakta. Data yang dapat diteliti adalah dokumen yang berisi telegram Presiden Soekarno kepada Mr Sjafruddin meskipun telegram itu tidak sampai di tangannya.
Jika kita cermati bunyi telegram itu maka Sjafruddin mendapat mandat untuk mengusahakan Pemerintah Darurat di Sumatra. Soekarno tidak menyerahkan jabatannya sebagai presiden kepada Sjafruddin meskipun ia ditawan Belanda. Di situ, Sjafruddin yang berkedudukan sebagai Menteri Kemakmuran untuk menjalankan kewajiban sebagai pemerintah yang bersifat darurat.
Sjafruddin ternyata mempunyai inisiatif menjadi penyelamat republik sebagai Ketua PDRI. Ia tidak pernah berinisiatif menjadi Presiden PDRI. Kedudukan Ketua PDRI menurut Asvi adalah sama dengan kedudukan presiden. Namun, Sjafruddin bukanlah presiden melainkan tetap pejabat Menteri Kemakmuran, yang menjalankan tugas presiden dan Soekarno tidak menyerahkan jabatannya kepada Sjafruddin.
Teks telegram Soekarno sebenarnya sudah sangat jelas bahwa ia hanya memberikan mandat. Penafsiran Sjafruddin sebagai presiden dalam pikiran Asvi mungkin diilhami dari salah tafsir terhadap Supersemar di kalangan orang-orang di sekitar Soeharto ketika mereka membaca teks tersebut yang baru diterima dari Presiden Soekarno. Ketika Soekarno menerima penyerahan mandat dari Sjafruddin, ia selalu disebut sebagai presiden walaupun sempat ditawan Belanda. Posisi sebagai tawanan tidak menjadikan Soekarno melepaskan jabatannya sebagai presiden.
Wacana Sjafruddin sebagai presiden kedua merupakan suatu hal yang berlebih-lebihan. Memang keberadaan PDRI itu sangat penting bagi keberlangsungan RI. Namun, Presiden Soekarno tidak pernah mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak ada peristiwa sejarah yang menyokong Sjafruddin pernah dilantik sebagai presiden kedua. Tidak ada lembaga seperti PPKI yang mengangkat dia sebagai presiden.
Enam Presiden
Asvi juga mewacanakan ada tokoh lain yang layak disebut sebagai presiden, yaitu Assaat. Wacana ini juga perlu ditinjau kembali dengan teliti. Kita lihat bahwa benar Assaat adalah presiden, tetapi RI pada masa RIS hanyalah berkedudukan sebagai negara bagian. Atau lebih tepatnya, RI adalah salah satu dari 16 negara bagian dari RIS. Soekarno pada waktu itu berkedudukan sebagai Presiden RIS, yang lingkup wilayahnya lebih luas daripada RI.
Republik Indonesia telah mengalami pembonsaian sehingga hampir sama dengan provinsi atau negara bagian. Presiden Assaat tidak lebih sama dengan para bhattara pada zaman Majapahit, seperti Bhattara i Daha, Bhattara i Pajang, atau Bhattara i Paguhan. Presiden Assaat layak disebut gubernur negara bagian, yang dalam sejarah birokrasi Sriwijaya dinamakan dengan datu, yang tinggal di kadatuan. Dengan demikian, Assaat tidak pernah menjadi presiden RI yang berkedudukan sebagai presiden RI seperti zaman Soekarno (17 Agustus 1945-27 Desember 1949) atau presiden NKRI (15 Agustus 1950 hingga kini).
Jadi, Assaat tidak mungkin dimasukkan sebagai presiden sisipan pada masa Soekarno memerintah karena jabatan presiden selalu melekat pada dirinya. Kedudukan Presiden Assaat tidak setara dengan Soekarno. Assaat setara dengan presiden negara bagian, seperti Presiden Negara Pasundan, atau Presiden Negara Indonesia Timur. Sampai sekarang yang pantas disebut presiden yang setara dengan NKRI baru ada enam (Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono), bukan delapan, seperti diusulkan Asvi Warman Adam. Sjafruddin dan Assaat tidak dapat ditempatkan sebagai presiden yang setara dengan enam presiden, yang tercatat dalam sejarah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar