Pertumbuhan Berkeadilan
Mochtar Naim, SOSIOLOG
Sumber : KOMPAS, 15 November 2011
Momennya
tepat sekali ketika Irwan Prayitno, baik selaku Gubernur Sumatera Barat maupun
sebagai pribadi, menulis di Singgalang, Padang, 25 Oktober 2011, dengan judul
”Pertumbuhan Berkeadilan”. Dari judul itu kita sudah tahu ke mana arah
tembakannya.
Sebenarnya
kita juga geregetan dan merasakan hal yang sama selama ini. Namun, tak banyak
yang punya nyali mengangkatnya secara terbuka karena isunya sensitif. Di ujung
sana bercokol dua sejoli berangkulan serta bekerja sama menguasai dan
mengendalikan kekuatan politik-ekonomi di negeri ini.
Kedua
sejoli itu adalah kelompok penguasa politik kenegaraan yang cara berpikirnya
termasuk penganut budaya etatik, birokratik, dan feodalistik di satu sisi;
serta kelompok penguasa ekonomi makro pasar bebas yang kapitalis nonpribumi dan
multinasional yang menguasai tampuk ekonomi dan perdagangan serta industri di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini—dari hulu sampai ke muara—di sisi
lainnya.
Selama
setengah abad sejak era Orde Baru, mereka berangkulan dan bekerja sama untuk
kepentingan dan keuntungan masing-masing. Seperti juga yang terjadi sejak masa
prakolonial, di mana aristokrat elite penguasa politik pribumi di keraton
Majapahit dan Mataram dahulu menyerahkan urusan ekonomi dan perdagangan kepada
para saudagar nonpribumi.
Para
aristokrat itu menganggap urusan ekonomi dan perdagangan itu kasar, kotor, ora
becik, dan sebagainya, sedangkan dunia keraton adalah tinggi, halus, nyeni, dan
bermartabat.
Demikian
jugalah sekarang, di zaman modern ini. Karena dunia ekonomi dan perdagangan
dianggap kasar, kotor, dan tidak baik, di samping kompleks dan melelahkan,
diserahkanlah penguasaan dan pelaksanaan ekonomi dan perdagangan itu kepada
para cukong-konglomerat dan kapitalis multinasional yang telah juga menguasai
dan mengendalikan ekonomi negara ini sejak sediakala.
Para
penguasa negara pribumi tahunya terima bersih, baik untuk pengisi kas negara
agar ”karung-sumpit”-nya tetap berdiri maupun kas pribadi masing-masing agar
hidup senang hingga tujuh keturunan.
Jalan
Pintas
Bukan
kebetulan jika sikap dan pilihan ini yang juga diambil oleh rezim Orde Baru di
awal titik berangkatnya. Dihadapkan pada keadaan ekonomi yang rumit dan
morat-marit yang diwariskan rezim Orde Lama, para penasihat ekonomi Orde Baru
didikan Amerika Serikat—populer disebut sebagai ”Mafia Berkeley”—menyarankan
untuk kembali mengambil jalan pintas.
Agar
situasi bisa terselamatkan dalam waktu relatif singkat, urusan ekonomi
Indonesia diserahkan kepada ”ahli”-nya, yang tak lain adalah para kapitalis
nonpri dan multinasional lainnya.
Kelompok
sosialis di bawah kepemimpinan Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, dan
Sudjatmoko—yang waktu itu ingin agar kue pembangunan ekonomi dibagi rata di
antara sesama rakyat sejak dari tahap awal—terpaksa gigit jari.
Jenderal
Soeharto lebih memilih nasihat para ahli ekonomi didikan AS: besarkan dulu kue
pembangunan itu, setelah 4-5 kali Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
baru pikirkan pembagian yang lebih merata itu secara bertahap.
Sekarang?
Ternyata tanpa diikuti dan dikenal sistem rencana pembangunan ekonomi secara
bertahap dan berjangka-jangka itu (pendek, sedang, dan panjang) keadaan bukan
makin membaik. Malah memburuk.
Seluruh
jaringan ekonomi, perdagangan, dan industri nyaris dikuasai oleh para kapitalis
nonpri dan multinasional itu: dari hulu sampai ke muara; di darat, laut, dan
udara. Dan, semua dilindungi oleh para penguasa politik pribumi di semua lini
kegiatan: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan militer.
Sistem
ekonomi yang lengket dengan masyarakat Indonesia selama ini, walau telah
merdeka sekalipun, adalah ”dualisme ekonomi”, sama seperti masa penjajahan
dahulu.
Dalam
struktur ekonomi yang dualistik seperti itu bisa saja GNP, GDP, dan pendapatan
per kapita naik terus sehingga Indonesia keluar dari kelompok negara
terbelakang.
Namun,
yang jadi soal, pertambahan pendapatan tersebut tidak mengalir ke kantong
rakyat pribumi yang 90-an persen itu. Persentase terbesar justru masuk ke
kantong pengusaha nonpribumi dan kapitalis lainnya yang kita tidak tahu siapa
mereka itu sesungguhnya, kecuali sejumlah kecil nama yang tiap kali disebut di
surat kabar.
Adapun
rakyat pribumi sendiri, sebagaimana mereka dahulu begitu juga sekarang, yang
makin ke pedesaan dan daerah-daerah terpencil makin tertinggal dan terbelakang.
Apa
kata para penasihat ekonomi Mafia Berkeley kepada Soeharto untuk kembali
menyerahkan urusan ekonomi negeri ini kepada para cukong-konglomerat dan
kapitalis multinasional lainnya itu?
”...
Seratus tahun pun peluang diberikan kepada rakyat pribumi untuk membangun
ekonomi negara ini tidak akan bisa karena mereka tidak memiliki persyaratan
esensial budaya ekonomi yang diperlukan, yaitu yang tangguh, gesit, dan tahan
uji, di samping juga mereka tidak terlatih dan tidak pernah mendapatkan peluang
dan kesempatan untuk masuk ke dalam arena pertarungan ekonomi.”
Sekarang,
seperti kita lihat sendiri, semua serba impor. Kita impor garam walau Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang dikelilingi laut. Kita impor
beras dan buah-buahan walau Indonesia adalah negara tropis yang sangat subur
dan ideal untuk kegiatan agri dan hortikultura.
Oleh
para penguasa ekonomi multinasional itu kita ditekan agar jadi negara
pengimpor, bukan pengekspor. Kalau perlu, mesin-mesin dan pabrik-pabriknya
sekalian diimpor. Jumlah penduduk Indonesia yang 230-an juta jiwa bukan hanya
pasarnya yang menggiurkan, melainkan juga tenaga kerjanya bisa didapatkan
melimpah dan dengan upah murah.
Di
balik semua itu, sesungguhnya mereka ingin terus menguasai dan mengendalikan
ekonomi Indonesia ini sebagai bagian dari jaringan ekonomi global mereka.
Ubah
Sistem Ekonomi
Dengan
sederet rencana pembangunan ekonomi di daerah yang menekankan pada upaya
pemerataan dan keadilan, seperti dinyatakan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno
dalam tulisannya itu, yakni dengan—misalnya— menyalurkan kredit modal usaha
tanpa agunan kepada rakyat dengan bunga 1 persen per bulan (yang berarti masih
12 persen setahun; bandingkan dengan 3-4 persen setahun di negara-negara
bertumbuh lainnya), sepintas kelihatan seperti menarik.
Akan
tetapi, itu hanya ibarat obat ”koyok” penyembuh demam yang ditempel di kepala.
Sebab, permasalahannya bukanlah kasuistik-sporadik ringan-ringanan seperti itu.
Ini masalah struktural, fungsional, dan fundamental, menyangkut keseluruhan
sistem dari ekonomi di negara ini.
Adapun
yang diperlukan adalah ”bongkar mesin” dan perubahan sistem itu sendiri secara
menyeluruh: dari sistem ekonomi dualistik-kapitalistik seperti sekarang ke
sistem ekonomi koperasi berbasis kerakyatan, dengan membangun dimulai dari
bawah. Karena mayoritas terbesar dari rakyat adalah Muslim, seyogianya ekonomi
Indonesia juga berdasar syariah dengan prinsip bagi-hasil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar