Menggugat Dominasi Wallstreet
Harun Ni’am,
PENELITI
LABORATORIUM POLITIK UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
Sumber : SUARA KARYA, 16 November 2011
Aksi unjuk rasa
anti-Wall Street, baru-baru ini semakin membesar dan menyebar dari New York ke
seluruh negara bagian di AS. Meski hampir seribu pengunjuk rasa ditangkap
polisi saat melalui Jembatan Brooklyn, awal Oktober lalu, namun tidak
menyurutkan langkah mereka menduduki gedung Wall Street yang menjadi jantung
perekonomian AS. Aksi itu sendiri dilaporkan telah mengguncang sekitar 1.000
kota besar di seluruh dunia.
Gerakan bertajuk Occupy
Wall Street atau "Duduki Wall Street", awalnya hanya dilakukan oleh
aksi lusinan mahasiswa yang bermalam di Taman Zuccotti, depan Wall Street pada
17 September lalu. Namun, dalam waktu sekejap jumlahnya menjadi ribuan, jutaan
dan terus membesar. Insiden penangkapan pengunjuk rasa justru menyulut
masyarakat luas untuk bergabung dalam gerakan tersebut. Ditambah lagi, peran
media sosial seperti Facebook dan Twitter yang semakin signifikan dalam gerakan
massa.
Secara umum, motivasi
gerakan ini adalah ketidakpuasan rakyat AS karena ketidakadilan begitu nyata
sehingga mengganggu perkonomian nasional. Mereka tidak percaya gagasan bahwa
akan terjadi trickle down effect (penetesan ke bawah) dalam sistem kapitalis.
Sebaliknya, mereka menuding keserakahan para pengusaha besar (korporasi)
sebagai musuh bersama yang menyebabkan bangkrutnya ekonomi nasional.
Demokrasi yang
dibanggakan justru malah dibajak para korporat untuk mengeruk dan menumpuk
kekayaan. Para korporat itu telah 'membeli' politisi untuk membela keserakahan
mereka dengan aturan main di Kongress. Pengadilan juga dituduh terlalu memihak
kepada mereka yang kaya dan berkuasa.
Mereka dengan santai
menelanjangi dominasi Wall Street sebagai tempat istimewa di mana para petinggi
korporasi yang jumlahnya hanya 1% dari total penduduk tapi pendapatan komulatif
mereka bisa lebih besar dari pendapatan 50% penduduk. Sementara para pengunjuk
rasa yang mengidentifikasi diri mereka dengan simbol 99% penduduk diaksa
berebut sisa pendapatan korporasi tadi. Mereka merasa dilemahkan dan disingkirkan
dalam perekonomian. Wajar kalau akhirnya mereka menggugat dominasi ini.
Mereka menolak gagasan
bahwa hanya orang kaya saja yang mampu memahami perekonomian dan harus
dipercaya untuk menjaga kemakmuran. Sementara mereka dipaksa untuk ikut alur
pemikiran orang kaya dan menonton kemegahan di tengah ketidakadilan.
Mereka menolak pandangan
orang kaya bahwa kemajuan kehidupan manusia hanya diukur dengan produk domestik
bruto dan pertumbuhan yang bersifat kuantitatif. Sebaliknya, mereka
mempertanyakan kondisi kualitatif seperti mengapa anggaran negara habis untuk
berperang sementara lapangan kerja domestik dan jaminan sosial masih rendah.
Demikian juga persoalan pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup yang masih
memprihatinkan.
Tipologi Gerakan
Sebenarnya gerakan untuk
menggugat ketidakadilan ekonomi sudah sering dilakukan. Namun, gerakan Occupy
Wall Street memiliki beberapa tipologi khas yang membedakannya dengan gerakan
lainnya.
Pertama, gerakan ini
dilakukan oleh orang AS sendiri sebagai negara kiblat perekonomian dan langsung
menusuk pada pusat kekuasaan korporasi. Wall Street selama ini telah menjelma
menjadi ikon dominasi korporasi terhadap nasib kehidupan rakyat AS bahkan
dunia. Dari kawasan itulah, propaganda globalisasi, pasar bebas, kapitalisme
dan liberalisme dikumandangkan ke seluruh penjuru dunia dan dipaksakan untuk
diterima.
Kedua, gerakan ini
dilakukan tanpa adanya basis ideologi tertentu. Motivasi yang menggerakkan
mereka hanyalah kondisi kehidupan riil mereka sehari-hari. Karena itu, gerakan
ini dilakukan secara sederhana tanpa ada argumentasi akademik yang kaku. Mereka
hanya berkumpul, bernyanyi, berkemah, menginap dan membawa poster-poster
seadanya. Tidak ada agitasi yang membakar emosi mereka. Namun, di sinilah letak
kelebihan gerakan ini karena mampu memotret secara empirik kehidupan mereka
tanpa harus tersandera pada perdebatan 'ilmiah' yang tidak jarang malah
mengaburkan substansi gerakan.
Ketiga, gerakan ini
dilakukan tanpa adanya durasi waktu yang terbatas, karena memang gerakan ini
tidak menempel pada sebuah pertemuan atau event forum perekonomian dunia
seperti IMF, World Bank, WTO dan sebagainya. Jadi, gerakan ini bisa dilakukan
secara santai dan tidak tergesa-gesa. Karena itulah, gerakan ini menjadi lebih
terbuka dan menarik untuk semua kalangan, tidak hanya terbatas pada kalangan
aktivis semata.
Demikianlah, meskipun
sudah membesar dan menyebar, namun sampai sekarang gerakan itu belum
memunculkan seorang figur pemimpin yang menonjol. Tipologi gerakannya pun masih
bersifat cair. Akan mengarah ke mana arah gerakan ini?
Kelompok yang sinis dan
pesimis menyebut bahwa gerakan ini hanya bersifat lokal yang menjadi alat
politik menjelang pemilihan presiden tahun 2012 mendatang.
Sebaliknya, bagi
kelompok optimis menginginkan adanya perubahan dasar yang besar dalam hal tata
kelola perekonomian dan mengembalikan makna luhur demokrasi. Mereka meyakini
bahwa gerakan ini akan menjadi bola salju yang terus menggelinding dan
mendunia, seperti revolusi yang sedang terjadi di kawasan Timur Tengah.
Tentu tidak mudah
menjawab beragam pertanyaan, sinisme dan pesimisme di atas. Waktu yang akan
menguji gerakan ini. Yang jelas, gerakan ini sudah mencuri perhatian dunia
secara luas. Bahkan Presiden Barrack Obama pun mulai memberi perhatian dan
mengenali tantangan gerakan ini. Ia bersimpati pada kondisi frustasi para
pengunjuk rasa itu terhadap kondisi perekonomian AS saat ini. Namun, perlu
diingat bahwa rasa frustasi yang terus membesar bisa membuat gerakan cair
menjadi gerakan politik massa padat yang luar biasa.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar