Konfigurasi Politik Tidak Bergeser
Sukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber : KOMPAS, 15 November 2011
Jumat,
11 November 2011, malam, seharusnya saya ikut duduk di salah satu sudut tribune
menyaksikan secara langsung pembukaan SEA Games di Jakabaring, Palembang.
Namun, karena badan kurang sehat, penulis hanya bisa duduk di depan televisi.
Sebuah acara yang luar biasa bagus. Menggetarkan hati dan membanggakan semua
anak bangsa.
Realitas
itu memperkukuh keyakinan saya selama ini bahwa bangsa Indonesia bisa
menggeliat bangkit, unggul, dan berdiri tegak di antara bangsa-bangsa.
Optimisme dapat dibangun dari mana saja di pelosok Republik. Syaratnya,
meminjam semangat Karaeng Galesong dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, kita
”harus pasang kemudi, di atas perahu, tetapkan arah (jarreki tannang gulinnu, i
rate konteng, toddok puli minasaya). Dengan bahasa lain, optimisme tidak perlu
bergantung pada gerak politik Jakarta yang acap kali kehilangan arah.
Selaras
dengan itu, pintu kepemimpinan nasional sebaiknya tidak hanya terpaku pada
pimpinan partai politik di pusat, tetapi juga dari kamar lain, seperti kepala
daerah yang berhasil. Figur seperti Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin
layak dilirik untuk kontestasi Pemilu 2014, selain figur lain seperti Soekarwo
(Gubernur Jawa Timur) dan Djoko Widodo (Wali Kota Solo).
Selain
itu, juga perlu diperhitungkan figur-figur dari kamar lain, seperti Mahfud MD,
Sri Mulyani Indrawati, dan Djoko Suyanto.
Tidak
Ada Pergeseran
Kemunculan
figur-figur tersebut secara obyektif memperkaya realpolitik Indonesia hari ini
yang sejatinya dipegang oleh empat kekuatan, yaitu Megawati Soekarnoputri
(PDI-P), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Prabowo Subianto (Gerindra), dan Ani
Yudhoyono (Partai Demokrat). Konfigurasi politik yang berlaku adalah Partai
Demokrat menjadi hegemon, Golkar menjadi suporter, PDI-P dan Gerindra menjadi
spoilers (oposan).
Suka
atau tidak, mereka itulah penentu arah politik ke depan. Secara prediktif,
konfigurasi tersebut tidak akan berubah. Tidak ada owah-gingsir (pergeseran).
Dalam arti, keempat partai itulah yang akan mendominasi kontestasi Pemilu 2014.
Hanya saja, siapa yang menjadi hegemon baru, sesuai karakter politik yang
cenderung bergerak nonlinier, belum bisa diidentifikasi secara jelas sekarang.
Munculnya
partai-partai baru seperti Nasional Demokrat, Partai Kemakmuran Bangsa
Nusantara, dan Partai Serikat Rakyat Independen memang memberikan alternatif
baru bagi masyarakat di tengah kegalauan pada partai-partai lama yang selama
ini dianggap setengah hati memperjuangkan kepentingan rakyat.
Namun,
daya tahan mereka akan ditentukan oleh pencitraan dan ketokohan figur. Dengan
demikian, peran media, kerja partai, dan soliditas jaringan di lapangan menjadi
kunci keberhasilan mereka.
Untuk
lolos ambang batas parlemen, ketiga partai baru tersebut memiliki potensi dalam
dirinya. Akan tetapi, untuk menapak sejarah yang dibuat oleh Partai Demokrat
pada tahun 2004, rasanya sulit. Hal itu disebabkan oleh menipisnya mimpi rakyat
tentang satria piningit dan kemapanan situasi politik saat ini.
Dulu
Susilo Bambang Yudhoyono dibayangkan sebagai satria yang penuh misteri dengan
segala kejujuran, kedigdayaan visi, dan kelembutan hati. Namun, seperti dicatat
oleh Wisnu Nugroho (2010), janji kepada Pak Mayar, petani tua dan miskin dari
Cikeas Udik yang telah memberikan panggilan populer Pak Beye kepadanya, sampai
hari ini belum terwujud. Belum ada pembangunan irigasi di daerah itu.
Praktik
politik seperti itu menipiskan mimpi rakyat akan satria piningit. Jadi, sehebat
apa pun figur yang diusung oleh partai baru, secara prediktif ia tidak akan
mampu mendongkrak secara ekstrem perolehan suara partai tersebut. Selain itu,
situasi politik sekarang ini juga relatif mapan yang ditandai oleh miskinnya
konflik internal partai sehingga rasanya mustahil bagi partai baru untuk
mengulang sejarah Partai Demokrasi waktu itu.
Dengan
demikian, sepopuler apa pun tokoh yang diangkat partai baru, penentu sebenarnya
dari nasib dia adalah Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Aburizal
Bakrie, dan Susilo Bambang Yudhoyono (Ani Yudhoyono). Keputusan mereka adalah
final bagi lahirnya kepemimpinan nasional baru 2014. Maknanya, apabila mereka
memutuskan tidak maju, pertempuran antarcalon yang mereka elus adalah pantulan
dari kontestasi di antara mereka.
Harapan
Rakyat
Akan
tetapi, apabila keempat penguasa ranah politik tersebut ada yang maju pada
pilpres nanti, plot untuk para tokoh di luar partai maupun politikus muda
adalah menjadi calon wakil presiden. Khusus untuk politisi muda ini, stok PDI-P
dan Golkar sangat banyak.
Bagi
rakyat, pada dasarnya mereka tidak peduli siapa yang akan memimpin Republik
nanti. Harapan mereka sejak dulu, ketika melepaskan identitas kedaerahan dan
bersetuju bergabung di bawah satu panji negara Indonesia adalah karena ingin
hidup bahagia. Selain cukup sandang, pangan, dan papan, mereka juga ingin
merasa aman, bisa menabung, dan berpiknik bersama keluarga.
Menurut
Anda, siapa pemimpin yang berani berdiri tegak menetapkan arah perahu bangsa
menuju ranah bahagia? Saya punya jawabannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar