Perpres P4B Vs UU Otsus Papua
Agus Sumule, STAF AHLI BIDANG EKONOMI
GUBERNUR PAPUA
Sumber : SINAR HARAPAN, 12 November 2011
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 65/2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) serta Perpres
No 66/2011 tentang UP4B. Perpres ini diharapkan akan berperan sebagai langkah
maju dibandingkan instruksi yang ia terbitkan empat tahun lalu dengan judul
sama.
Sudah
tentu kita patut memberikan apresiasi kepada pemerintah pusat yang secara
politik telah menunjukkan niat agar pembangunan di Provinsi Papua dan Papua
Barat bisa dipercepat pelaksanaannya.
Tujuan
yang ingin dicapai adalah percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua,
khususnya masyarakat asli Papua, sehingga ancaman disintegrasi bangsa di Tanah
Papua dapat semakin diperkecil. Ini adalah niat luhur yang mungkin belum pernah
terjadi sejak Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1963.
Pada
saat sama, niat luhur itu hanya bisa diwujudkan apabila semua pemangku
kepentingan, khususnya pemerintah pusat yang menggagas Perpres ini, memiliki
pemahaman utuh mengenai kompleksitas sosial-politik Papua.
Memperjelas
yang “KJ”
Namun
ada sejumlah hal yang masih “KJ” (istilah orang Papua untuk kurang jelas) dalam
dokumen-dokumen percepatan pembangunan. Hal-hal yang KJ itu saya sarankan
ditelaah dengan sungguh-sungguh dan diperjelas, karena akan sangat menentukan
pemahaman kolektif para pihak yang bertanggung jawab menyukseskan program ini.
Semakin
sama pemahaman kolektif antarpihak, peluang keberhasilan program percepatan pembangunan
Papua semakin besar. Sebaliknya, pemahaman beragam yang dimiliki para pihak
pasti akan mengakibatkan kegagalan ketika program-program percepatan
diimplementasikan. Rakyat Papua pasti menjadi semakin bingung akibat hiruk
pikuk yang ditimbulkan kekacauan tadi.
Berikut
ini hal-hal yang masih KJ itu. Pertama, apa sebetulnya yang dimaksud dengan
frasa “percepatan pembangunan”? Apakah itu berarti bahwa pembangunan di Papua
selama ini sudah benar, sudah on the right track, hanya saja lambat dan
tidak efisien?
Kalau
memang demikian, mengapa sama sekali tidak ada pengakuan, apresiasi, atau
setidak-tidaknya referensi di dalam draf Perpres maupun Rencana Aksi atas
berbagai inovasi, terobosan, dan pencapaian yang selama ini sudah dilakukan di
Papua, khususnya sejak Juli 2006 ketika Provinsi Papua memiliki gubernur yang
baru?
Ataukah
istilah “percepatan” tersebut sebetulnya digunakan untuk sekadar memperhalus
anggapan yang sudah terbangun di kalangan pihak-pihak tertentu di pusat bahwa
pembangunan di Papua selama ini sudah gagal, atau jalan di tempat, atau
setidak-tidaknya hasil yang dicapai tidak sebanding dengan dana yang diberikan?
Kedua,
apa yang dimaksud dengan frasa “… namun belum terlihat perubahan kesejahteraan
… secara signifikan”? (halaman 1, Bab 1, subbab 1.1 dokumen Rencana Aksi
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua).
Apakah
pemerintah pusat sudah pernah melakukan evaluasi mendalam dan menyeluruh
tentang penyelenggaraan Otsus Papua selama ini (lihat Pasal 78 UU 21/2001)?
Apakah
pemerintah pusat juga sudah memiliki ukuran-ukuran keberhasilan pelaksanaan
Otsus Papua, yang pembiayaannya telah menggunakan dana Rp 21,43 triliun dalam
kurun waktu 2002– 2010? Istimewakah angka Rp 21,43 triliun itu untuk suatu
daerah yang begitu luas dan kaya, yang telah banyak memberi dan berkorban bagi
Republik, yang pada 2007 saja telah memberikan kontribusi kepada negara sebesar
Rp 18 triliun lebih, hanya berasal dari Pajak Badan PT Freeport Indonesia?
Ketiga,
apa peranan gubernur dalam program percepatan pembangunan ini? Fakta yang ada
menunjukkan bahwa kata “Gubernur” hanya sekali disebutkan dalam dokumen
(halaman 80 pada dokumen Rencana Aksi Provinsi Papua Barat), yaitu “…
peningkatan jalan kompleks kantor Gubernur …”.
Ketiga,
apakah UP4B akan menggantikan fungsi-fungsi pemerintah Provinsi Papua? Jawaban
terhadap pertanyaan ini pasti adalah “tidak”. Tetapi apabila Pasal 9, 10, dan
11 yang berisi tentang tugas pokok UP4B dicermati dengan sungguh-sungguh maka
yang menonjol adalah kata-kata “mengoordinasikan”, “memfasilitasi”,
“mensinkronisasi”, “mengendalikan”, dan lain-lain.
Tidak
ada sama sekali frasa seperti “mendukung gubernur”, atau “mendukung pemerintah
daerah”. Apalagi kalau diperhatikan bahwa UP4B ini memiliki sejumlah deputi
yang dari sebutannya saja sama sekali tidak ada bedanya dengan lembaga
pelaksana.
Keempat,
karena UP4B tidak akan mengambil alih fungsi-fungsi pemerintah daerah, tetapi
pada saat yang sama juga menjadi lembaga yang mengeksekusi program dengan cara
mengoordinasikan, memfasilitasi, mensinkronisasi, merencanakan, atau
mengendalikan, maka menjadi tidak jelas apa bedanya UP4B dengan pemerintah
daerah.
UU
Otsus
Kalau
semua pihak mau jujur, instrumen hukum yang paling jitu untuk mempercepat
pelaksanaan pembangunan dalam arti yang paling hakiki dan paling luas adalah UU
No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah, Perdasus, dan Perdasi).
Artinya,
kalau amanat UU Otsus Papua itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan secara
murni dan konsekuen, pasti tidak diperlukan Perpres Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat.
Karena
itu, wajarlah apabila saya mempertanyakan mengapa bukan penerapan dengan
sungguh-sungguh UU No 21/2001 yang diupayakan. Kalau hal ini yang dilakukan
maka pasti yang akan terjadi adalah percepatan pembangunan di Papua dalam arti
yang sebenarnya, yang menyentuh bahkan mentransformasi seluruh sendi kehidupan
rakyat di Provinsi Papua.
Semua
pihak tidak boleh lupa bahwa UU No 21/2001 adalah UU milik Republik Indonesia,
yang diturunkan langsung dari Konstitusi Negara, yaitu UUD 1945, khususnya
Pasal 18b. Dengan demikian, wajarlah apabila pemerintah pusat yang berada di
garda paling depan untuk memastikan bahwa perintah undang-undang ini dijalankan
dengan benar.
Yang
terjadi adalah bahwa hingga kini masih banyak kalangan di Provinsi Papua tidak
percaya bahwa fungsi itu dilaksanakan pemerintah pusat. Ketidakpercayaan itu,
dalam banyak hal, bisa dimengerti, karena yang terjadi selama ini adalah
seperti berikut.
Pertama,
ketimbang mengupayakan agar soal bendera dan lagu tidak lagi menjadi isu
subversif dan menjadi sumber hubungan yang antagonistis antara rakyat Papua
dengan pemerintah pusat di Jakarta, yaitu dengan menempatkan simbol-simbol
perlawanan damai rakyat menjadi “…panji kebesaran dan simbol kultural bagi
kemegahan jati diri orang Papua …” dan bukan diposisikan sebagai lambang
kedaulatan (Pasal 2 Ayat 2 UU No 21/2001), yang terjadi adalah pemerintah pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2007 yang langsung memberikan
vonis terlarang kepada lambang burung mambruk maupun bendera bintang kejora.
Kedua,
ketimbang mengupayakan supaya dana otsus yang besarnya setara dengan 2 persen
plafon DAU Nasional itu bisa diturunkan sekaligus pada awal tahun sebagaimana
dana-dana pembangunan lainnya, sehingga perencanaan dan pemanfaatan dana
tersebut bisa dilakukan secara optimal, yang terjadi hingga kini adalah bahwa
dana otsus itu diturunkan Jakarta secara bertahap pada setiap tahun anggaran.
Seorang
mantan pejabat eselon satu pemerintah pusat yang ikut mengurusi soal dana otsus
ini ketika beliau masih aktif bekerja, memberi tahu kepada saya bahwa ada
institusi negara yang mengurusi masalah intelijen yang sejak awal mendesak agar
dana otsus Papua tidak diserahkan secara utuh.
Akhirnya
diputuskan bahwa dana otsus diberikan bertahap dalam beberapa bulan sekali,
sehingga dana tersebut tidak digunakan elemen-elemen tertentu di Papua untuk
tujuan-tujuan subversif, sebagaimana yang dicurigai institusi intelijen
tersebut.
Butuh
Kepastian
Sebagai
suatu konsep, percepatan pembangunan di Papua harus dilakukan. Gagasan yang
diprakarsai langsung oleh presiden ini harus bisa diwujudkan secara benar,
berhasil, dan bermartabat, karena reputasi Republik dipertaruhkan di mata internasional.
Pertanyaannya adalah bagaimana menyelenggarakan percepatan itu?
Pertama,
dokumen Rencana Aksi yang sudah ada sekarang harus dipandang sebagai “living
document” yang akan terus diubah dan diperbarui, sejalan dengan semakin
meningkatnya upaya semua pihak untuk melaksanakan otsus secara sungguh-sungguh
di Papua.
Kedua,
pastikan bahwa ada pengakuan, apresiasi, dan referensi atas berbagai upaya yang
sudah dilakukan para pemimpin Papua selama ini. Hal-hal itu harus dibuat secara
tertulis. Jangan menimbulkan kesan bahwa dari dokumen-dokumen tersebut
seolah-olah percepatan pembangunan ini dilakukan karena mereka gagal bekerja.
Ketiga,
pastikan bahwa rekonsiliasi itu berwujud secara nyata dalam semua tingkatan dan
bentuk percepatan pembangunan Papua. BRR Aceh adalah contoh yang baik, di mana
salah satu deputinya adalah mantan anggota GAM.
Ruang
seperti itu harus pula diberikan di Papua. Percepatan Pembangunan Papua, baik
secara konsep, organisasi, maupun pelaksanaan harus memungkinkan mereka yang
selama ini mengambil posisi kritis dan/atau berseberangan untuk berperan serta.
Keempat,
dokumen Rencana Aksi sebaiknya jangan menjadi bagian dari Perpres. Walaupun
penyusunannya melibatkan pihak Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua
Barat, masih terlalu banyak program lain yang seharusnya masuk namun belum
dimasukkan.
Sebaiknya
organisasi yang dibutuhkan seyogianya bukan hanya UP4B yang tugasnya terbatas
karena “sekadar” mengurus soal pembangunan dalam pengertian yang konvensional.
Sebaliknya, presiden perlu membentuk badan yang diberi nama “Unit Kerja
Presiden Republik Indonesia untuk Pembangunan, Keadilan, dan Perdamaian di
Papua” dan berkedudukan di Papua.
Fungsi
badan ini adalah menjadi perpanjangan tangan presiden untuk mendukung para
gubernur, jajaran pemerintah, dan rakyat di Tanah Papua untuk melaksanakan
amanat UU Otsus Papua dengan sebaik-baiknya. Selain itu juga menjadi lembaga di
mana rakyat Papua bisa datang untuk berbicara dengan pihak-pihak yang ditunjuk
dan diangkat langsung oleh presiden.
Dengan
cara seperti ini berbagai masalah di masa lalu yang masih terus menjadi duri
hingga kini dapat ditampung dan dibicarakan secara bermartabat, dalam suasana
yang saling percaya dan saling menghargai. ●
Pembangunan itu bukan proses tambal sulam. Pembangunan itu proses berkelanjutan. Yang terjadi, terkesan pemerintah sedang melakukan tambal sulam. Satu gagal, ganti dengan yang lain tanpa evaluasu.
BalasHapusLebih dari itu, yang paling hakiki, pembangunan itu proses mamanusiakan masyarakat manusia. Tidak muda menjelaskan bentuk kongkirnya memang sama halnya tidak mudahnya melaksanakanya.