Dengarkan Papua
Amiruddin al-Rahab, DIREKTUR EKSEKUTIF RESEARCH
INSTITUTE FOR DEMOCRACY AND PEACE
Sumber : KORAN TEMPO, 15 November 2011
Papua kembali bergejolak. Gejolak kali
ini ditandai oleh tiga peristiwa berbeda, yaitu peristiwa ricuh upah di
Freeport yang berujung aksi blokade. Kongres Rakyat Papua yang berakhir dengan
pendeklarasian Presiden dan Perdana Menteri Papua. Serta pembunuhan Kepala
Kepolisian Sektor Mulia. Ketiga peristiwa itu diakhiri dengan darah dan korban
jiwa.
Papua seperti ingin meminta perhatian lebih
dan didengar oleh segenap masyarakat
Indonesia, khususnya Presiden SBY dan
kabinetnya. Harapan itu tidak terlalu muluk, karena presiden SBY pernah
menyatakan akan mengurus Papua dengan hati. Mungkin curahan hati itulah yang
ditunggu menjadi nyata.
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) menugasi unit tersebut
“membantu Presiden dalam melakukan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan,
fasilitasi serta pengendalian pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat”. Dengan tugas UP4B seperti itu, dapat dimaknai UP4B
menjadi tangan kanan Presiden dalam mengelola Papua pada bidang sosial-politik
dan sosial-ekonomi.
Sementara itu, agenda sosial-politik
dari UP4B dalam Perpres Nomor 65/2011 adalah:
a. Pemetaan dan penanganan sumber permasalahan
di bidang politik, penegakan hukum, dan hak asasi manusia (HAM); b. Pemetaan
dan pendekatan terhadap kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat PPB dan
PP; c. Perumusan dan pengembangan kebijakan sosial-politik yang memperhatikan
budaya lokal; d. penyusunan dan pelaksanaan mekanisme dan substansi komunikasi
konstruktif antara
wakil-wakil masyarakat, pemerintah
kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan
pemerintah pusat.
Mengingat pembentukan UP4B adalah terobosan
kebijakan untuk Papua dalam situasi yang kian pelik dan rumit, kehadiran unit
ini tidak boleh memposisikan dirinya sebagai pihak yang “segala tahu”dalam mengelola
Papua. Karena itu, Unit harus membuka diri dan berposisi mendengarkan Papua.
Mendengarkan itulah sari dari kebijakan sosial-politik di Papua.
Tujuan mendengarkan itu adalah,
pertama, agar Unit mampu mengoreksi dan meninggalkan segala kebijakan dan
perilaku aparatur pemerintah di masa lalu yang telah nyata-nyata keliru berdasarkan
curahan hati segenap pihak di Papua.
Kedua, mendengarkan tersebut merupakan
langkah dialogis dalam menjalin komunikasi ke semua lini. Karena itu, dialog masalah
Papua harus dikonsepsikan sebagai “polilog”(multi-dialog) agar bisa menjangkau seluruh
lapisan masyarakat Papua
dan segenap faksi politik di Papua
secara menyeluruh. Polilog ini sungguh dibutuhkan
karena mayoritas pendiam di Papua belum
pernah didengarkan.
Ketiga, Unit di lapangan difungsikan
sebagai interlocker yang berfungsi sebagai penjalin animo dan aspirasi seluruh
strata masyarakat Papua, yaitu mereka yang dari kampung sampai para diaspora
Papua di berbagai tempat. Dengan demikian, Unit akan mampu menembus seluruh
lapisan sosial-politik di Papua. Dengan cara ini, Unit tidak akan dipermainkan
oleh maneuver para elite Papua semata.
Keempat, idiom politik yang dipakai
harus menunjukkan ada kesatuan bahasa dan istilah. Artinya, Unit seharusnya
bisa mengatasi kerancuan dan kekacauan penggunaan bahasa dan istilah dalam
mengelola Papua. Terlebih lagi dalam relasi EDI WAHYONO (TEMPO) politik pusat
dan daerah. Contoh: Unit menggunakan pendekatan persaudaraan atas permasalahan
Papua. Artinya, Unit berfungsi sebagai sarana menjalin komunikasi di antara
sesama bersaudara.
Kelima, Unit harus menempatkan posisi untuk
menjadikan Papua sebagai daerah terbuka. Artinya, semua media bisa masuk untuk
meliput kemajuan pembangunan sosial-ekonomi dan sosial-politik. Terbuka juga
bagi semua peneliti asing untuk menangkis adanya tuduhan mengenai permasalahan yang
ditutup-tutupi.
Pembangunan politik Frame pembangunan
politik dan kemanusiaan secara bersaudara itu bisa diarahkan ke sembilan
langkah konkret, yakni, pertama, penanganan masalah Papua harus mulai digeser
dari pendekatan keamanan ke pendekatan kesejahteraan.
Mendengarkan dan dialog adalah pintu masuk
utamanya. Dengan kunci penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
Kedua, agar langkah pertama lebih bisa
dioperasikan di lapangan, Unit bekerja langsung di bawah presiden dan wakil
presiden. Tujuannya,agar ia betul-betul berkonsentrasi mengurus Papua dan bisa
berkomunikasi secara intensif dengan seluruh pemangku kepentingan di Papua dan
presiden.
Ketiga, perlu kiranya dipertimbangkan adanya
pertemuan antara presiden dan pimpinan MRP, DPR Papua, DPR Papua Barat, dan
Gubernur Papua serta Papua Barat untuk membicarakan masalah demiliterisasi dan
pemberian keadilan kepada para keluarga korban pelanggaran HAM.
Keempat, sejalan dengan langkah ini
juga diperlukan politik pintu terbuka kepada tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok
yang selama ini belum puas atas kerja-kerja pemerintah di Papua, khususnya
kepada mereka yang masih menuntut kemerdekaan. Untuk mereka ini diperlukan
dialog tersendiri sehingga mereka tidak merasa ditinggalkan.
Kelima, perlu ditempuh satu langkah affirmative
policy dalam bidang pertanahan, di mana para perusahan besar dan MNC-TNC tidak
diperbolehkan memiliki tanah secara luas tanpa menjadikan penduduk setempat
sebagai partner dalam joint entrepreneurship. Hal ini demi mencegah terjadinya
degradasi eksistensi dan identitas
orang asli Papua di atas tanahnya
sendiri.
Keenam, perlu dirancang sistem
pendidikan yang cocok dengan karakter perkembangan masyarakat Papua. Tahap awal
tumpuan pendidikan adalah lebih besar
pada peningkatan keterampilan dengan mendirikan
sekolah kejuruan yang lebih banyak, baik dalam bidang kelautan, kehutanan, pertanian,
industri ringan, maupun
pertambangan.
Ketujuh, diperlukan satu program
jangka pendek dan jangka menengah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam
bentuk mendirikan sekolah perawat
dan mantri kesehatan, bidan, serta
dokter. Untuk program dokter, bisa ditempuh kerja
sama Universitas di Jawa dan Australia
dengan menjaring anak-anak Papua untuk
dididik menjadi dokter di Papua.
Kedelapan, diperlukan secara mendesak peningkatan
kemampuan pemerintahan daerah. Langkah ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah dalam
mengelola dan menjawab
tantangan-tantangan baru dan bebas korupsi. Juga diperlukan peningkatan tata
kelola pemerintahan yang baik dan bersih agar masyarakat
bisa mempercayai pemerintah.
Kesembilan, untuk meningkatkan
pembangunan infrastruktur dasar dan yang bernilai ekonomi tinggi, segenap
kementerian dan lembaga harus mendukung Unit dengan program yang jelas dan
terukur. Hal ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan dan sekaligus
mengatasi keterbatasan kemampuan pemda dalam membangun infrastruktur, seperti
jalan, pelabuhan, jembatan, dan pasar. Perhatian utama adalah wilayah
Pegunungan Tengah dan Pesisir Selatan Papua.
Tanpa mendengarkan dan menjalankan sembilan
langkah di atas, rencana percepatan
pembangunan di Papua yang dirancang pemerintahan
SBY-Boediono tidak akan bisa maksimal memperbaiki keadaan di Papua. Semoga
Papua Jaya. . ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar