Desain Ulang Otonomi Papua
Irfan Ridwan Maksum, GURU BESAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA, FISIP UI
Sumber : KOMPAS, 14 November 2011
Dalam
sidang kabinet pertama pasca-perombakan kabinet, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan, dalam mengelola Papua telah ditinggalkan pendekatan
keamanan menjadi pendekatan kesejahteraan.
Dari
kategori proses, sebetulnya pendekatan keamanan dapat dihadap-hadapkan dengan
pendekatan administratif berbasis masyarakat, sedangkan pendekatan
kesejahteraan lebih mengena sebagai pendekatan yang berorientasi
output-outcome.
Pendekatan
administratif berbasis masyarakat ini salah satunya dapat dilakukan melalui
rekayasa ulang kelembagaan otonomi khusus. Dalam disiplin administrasi negara
dan pembangunan, pendekatan output amat bergantung pada pendekatan proses dan
input. Oleh karena itu amat penting untuk dibahas.
Nyata
sudah bahwa otonomi khusus kepada masyarakat Papua dengan segala haknya tidak
mampu menjawab tuntutan perkembangan lokal. Papua membutuhkan dua nilai utama
agar keberlanjutan kemajuan bagi tanah ini terjamin, yakni (1) stabilitas; dan
(2) pertumbuhan. Secara nasional, kedua nilai ini tentu pelaksanaannya harus
dibungkus oleh nilai pemerataan.
Tak
mungkin ada kemajuan di Papua jika tak ada stabilitas dalam proses perubahan
yang dilakukan. Stabilitas tanah Papua tersebut idealnya dikelola sendiri oleh
masyarakatnya. Namun, realitasnya banyak kepentingan yang berjalan di tanah
tersebut, dan hal ini tidak bisa ditarik mundur kembali.
Variasi
yang amat besar antarberbagai elemen masyarakat Papua berpotensi melawan
stabilitas. Dalam kaitan ini, mau tidak mau otoritas nasional harus tampil
sebagai stabilisator inti. Dalam konteks kekinian, otoritas nasional ini
idealnya berperan sebagai fasilitator.
Keberadaan
otoritas nasional dengan berbagai elemen lokal yang berpengaruh pada tata
kelola tanah Papua ini harus diakomodasi dalam desain otonomi Papua ke depan.
Dua
Model Desain
Ada
dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Pertama, desain otonomi Papua yang
menempatkan otoritas nasional sebagai kekuatan inti. Proses fasilitasi oleh
otoritas nasional diakomodasi dalam hubungan yang asimetris dominan elemen
pusat.
Dalam
desain pertama ini bahkan tata kelola tanah Papua pada prinsipnya dikembangkan
secara nasional. Elemen lokal menjadi partner otoritas nasional. Papua menjadi
semacam wilayah administrasi belaka, tetapi berbeda dari makna wilayah
administrasi pada masa rezim Soeharto.
Otoritas
nasional yang berada di Papua adalah mereka yang memahami betul budaya Papua,
yang dapat diisi individu masyarakat Papua sendiri. Hanya saja, status
kelembagaannya bersifat nasional. Kemajuan Papua ditentukan oleh perpaduan
kerja antara otoritas nasional dan elemen lokal dalam tata kelola tersebut.
Paket tersebut bekerja dalam proses fasilitasi kebijakan pembangunan Papua
dalam rangka mencapai nilai-nilai pertumbuhan dan keberlanjutan.
Lembaga
tersebut bekerja penuh di setiap jengkal tanah Papua. Tidak ada istilah adanya
pemerintahan daerah dalam desain ini, melainkan pemerintahan khusus tanah
Papua. Bisa juga sebagai otoritas pembangunan tanah Papua.
Kedua,
otonomi untuk masyarakat Papua diakomodasi. Namun, ada satu lembaga pemerintah
yang merupakan campur tangan elemen nasional. Ada tiga bidang yang harus
ditangani lembaga pemerintah tersebut, yakni prasarana dan infrastruktur dasar
serta kegiatan ekonomi, keamanan, dan pelayanan publik dasar (pendidikan dan
kesehatan).
Di
tiga bidang ini sepenuhnya ditatakelolakan oleh perpaduan otoritas nasional dan
elemen lokal tadi. Dengan demikian, ketiga bidang tersebut tak bisa dirinci
atas dasar urusan milik pusat atau daerah, tapi dijalankan oleh satu elemen
yang mencerminkan kekuatan nasional dengan dukungan elemen lokal dalam proses
pengambilan keputusan.
Di
samping itu, terdapat otonomi untuk masyarakat Papua sendiri dengan
mempertahankan struktur yang ada sekarang. Otonomi masyarakat Papua ini otonomi
di luar bidang-bidang tersebut sesuai peraturan perundangan yang berlaku di
tingkat nasional. Pertumbuhan tanah Papua diharapkan lahir dengan kejelasan
kerja-keras secara kompak antara elemen nasional dan elemen lokal.
Kedua
pilihan membawa perubahan sistemis yang menyangkut proses pengambilan keputusan
politik dan pelaksanaannya di berbagai aspek: keuangan, personel, urusan-urusan
yang dikelola, dari input, proses, output, sampai outcome.
Pilihan
pertama membawa kepada adanya proses pelaksanaan kebijakan oleh birokrasi yang
dilakukan secara terintegrasi. Pilihan kedua lebih membatasi elemen nasional
agar terfokus pada bidang tertentu sehingga lebih banyak menjamin inisiatif
lokal dalam rangka pertumbuhan. Stabilitas juga diraih dari pelibatan proses
politik yang memadai segenap elemen lokal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar