Jumat, 04 November 2011

Dari Unesco, Mau Kemana?



Dari Unesco, Mau Kemana?
Broto Wardoyo, DOSEN DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UI
Sumber : SINDO, 04 November 2011




Keputusan UNESCO untuk menerima Palestina sebagai anggota menjadi kemenangan pertama Palestina dalam upaya mendapatkan pengakuan internasional.

Kemenangan tersebut harus dibayar dengan pemotongan dana bantuan dari Amerika Serikat (AS), dan bukan tidak mungkin akan diikuti dengan penangguhan penyerahan dana pajak yang dikuasai Israel. Usaha Palestina untuk bisa diterima sebagai anggota di organ-organ PBB lain,terutama Dewan HAM, tentu akan semakin intensif.Perlawanan diplomatik ini menandai fase baru dalam konflik Israel-Palestina.

Sejauh ini konflik Israel- Palestina telah melewati dua fase krusial dan keduanya gagal menghasilkan negara Palestina yang berdaulat dan sederajat dengan negara Israel. Fase pertama adalah fase perlawanan bersenjata. Fase ini dimulai sejak periode mandatoris Palestina hingga penandatanganan Deklarasi Prinsip.

Dalam fase ini berbagai strategi perlawanan telah dilakukan Palestina mulai dari menginisiasi revolusi politik melawan pemerintahan mandatoris Inggris dengan dua kali kejadian perlawanan besar (the Great Arab Revolt), perang terbuka,hingga perang gerilya.Kesemuanya berujung kegagalan Fase kedua adalah fase perlawanan di meja perundingan.

Fase ini diawali dengan proses negosiasi yang menghasilkan Deklarasi Prinsip pada 1993 dan berakhir di Camp David pada 2000. Beberapa akan menambahkan perundingan di Taba pada 2001 dan beberapa perundingan lanjutan setelah Taba–seperti pertemuan di Annapolis pada 2007 atau beberapa perundingan minor yang berlangsung pada periode kepemimpinan Ehud Olmert dan Tzipi Livni di Israel. Hasil yang dituai pun setali tiga uang dengan fase pertama.

Kesatuan Visi

Ada dua faktor utama yang membuat kedua fase tersebut gagal menghasilkan berdirinya negara Palestina. Pertama, kegagalan untuk menumbuhkan kesatuanvisiinternalPalestina. Dalam kasus perlawanan besar pada 1936 hingga 1939, misalnya, tidak ada koordinasi perlawanan yang baik yang seharusnya dilakukan Arab Higher Committee (AHC). Beberapa pemukim Palestina yang kaya lebih senang memberikan dukungan pada perlawanan- perlawanan lokal yang sering tidak bertalian dengan aktivitas-aktivitas yang ditata AHC.

Pada akhir perlawanan besar tersebut, perpecahan juga melanda Palestina antara klan Al-Husseini, pemimpin AHC,dan klan Nashashibi. Dalam fase perlawanan negosiasi, perpecahan yang sama juga melanda Palestina. Pertarungan politik antara Hamas dan Fatah–dan intra-Fatah– sedemikian dominan dan melibatkan penggunaan kekerasan. Perpecahan tersebut memberi ruang bagi Israel untuk memancing di air keruh.

Pelaksanaan pertukaran tahanan yang berlangsung di akhir Oktober, misalnya, memperlihatkan bagaimana Israel bisa dengan mudah melupakan Fatah manakala Hamas memberikan tawaran yang lebih baik. Perpecahan tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian publik Palestina. Fase ketiga konflik Israel- Palestina juga ditandai dengan perpecahan intra-Palestina.

Keputusan untuk melakukan perlawanan diplomatik melalui PBB bahkan ditengarai dilakukan oleh PLO untuk menghindari terjangan politik Hamas. Kondisi ini harus segera dipikirkan jalan keluarnya agar fase ketiga perjuangan Palestina ini bisa menuai hasil yang lebih positif.

Dukungan Negara Besar

Faktor kedua adalah dukungan dari negara-negara besar. Dalam dua fase awal konflik, dukungan negara-negara besar sayangnya tidak mengalir ke Palestina. Inggris yang senantiasa mengampanyekan peran sebagai penguasa yang netral dalam periode mandatoris lebih sering bertindak tidak netral.

Salah satu bukti dukungan nyata dari pemerintah Inggris adalah hadirnya Deklarasi Balfour– yang meski tidak secara tegas menyatakan berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina dan memberikan penekanan pada eksistensi bersama secara damai kedua bangsa– digunakan sebagai justifikasi politik bagi gelombang imigrasi etnis Yahudi ke tanah Palestina. Masih dalam fase perlawanan bersenjata,dukungan negara-negara besar terhadap Israel juga diberikan dengan pemberian label teroris terhadap PLO selama beberapa dekade.

Dalam fase konflik di meja perundingan, beberapa pengkaji politik Timur Tengah bahkan memberikan sindiran tidak hadirnya mediator yang jujur (an honest broker) akibat sikap pro-Israel yang ditunjukkan AS yang merupakan mediator utama proses perundingan. Dalam fase ketiga, dukungan terhadap hak hidup bangsa Palestina sebagai sebuah entitas politik ditunjukkan dengan hadirnya lebih dari seratus negara yang mengakui eksistensi politik Palestina.

Meski demikian, pengakuan tersebut harus diwujudkan pula dalam aliran dana ke Palestina mengingat hidup dan matinya Palestina bergantung pada ada dan tidaknya dana dari luar Palestina. Data dari Kementerian Keuangan Palestina memperlihatkan besarnya defisit anggaran yang harus dan hanya bisa ditanggung dengan masuknya aliran dari luar.Komitmen AS untuk memotong aliran dana ke Palestina pascapenerimaan Palestina sebagai anggota UNESCO harus dicarikan solusi.

Belum lagi jika Israel menunda penyerahan dana pajak yang besarnya cukup signifikan. Untuk menunjang kontinuitas aliran dana masuk tersebut, program transparansi keuangan yang pasca-Arafat menjadi agenda utama good governance di Palestina harus terus ditingkatkan. Aliran dana kepada Hamas––yang jumlahnya tidak terlacak, namun diyakini cukup signifikan–– harus pula dimaksimalkan dalam pemanfaatannya. Hal ini akan dapat dilakukan jika Hamas turut dilibatkan dalam pengelolaan negara.

Satu catatan yang perlu diberikan terkait dengan masuknya aliran dana ini–baik melalui Otoritas Palestina maupun Hamas–adalah kebutuhan untuk mempercayakan pengelolaannya kepada Palestina sendiri. Dalam banyak kasus, dana yang masuk ke Hamas dari luar digunakan untuk memengaruhi agenda politik regional Hamas sejalan dengan pemberi dana.

Demikian halnya dengan dana masuk ke Otoritas Palestina. Jika hal ini yang terjadi, fase perlawanan diplomatik tetap saja akan menuai hasil yang sama dengan dua fase sebelumnya. Jalan Palestina untuk merdeka masih cukup terjal. Dukungan masyarakat internasional harus solid. Jangan sampai Palestina justru menjadi bulan-bulanan anggotaanggota masyarakat internasional untuk kepentingan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar