Negara Post-Bureaucratic
W Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA,
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
Sumber : SINDO, 18 November 2011
Kebijakan penataan ulang (reshuffle)
struktur kabinet yang justru menambah jumlah wakil menteri (wamen) menjadi 20
dan merombak parsial struktur dua kementerian, terkesan paradoks dengan program
pemangkasan birokrasi.
Langkah ini berlainan semangat dengan kebijakan pemerintah pada aras pemda melalui PP No 41 Tahun 2007 tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah (POPD) juncto Permendagri No 57 Tahun 2007 tentang Juknis POPD. Momentum sangat tepat untuk mereaktualisasi gagasan negara post-bureaucratic.
Negara post-bureaucratic merupakan gagasan untuk secara radikal melakukan penyederhanaan sistem birokrasi pemerintah (downsizing) dan sekaligus menjadikan kinerja sistem pemerintahan semakin aktif melalui debirokratisasi, deregulasi, pewirausahaan pemerintah (reinventing government), dan pemangkasan birokrasi (banishing bureaucracy).
Guna menuju negara postbureaucratic diperlukan adanya upaya untuk melakukan penguatan kompetensi organisasi dan aparat birokrasi pemerintah. Hal itu dapat dilakukan antara lain dengan menyusun desain kompetensi di lingkungan organisasi pemerintah. Dalam teori mengenai kompetensi organisasi, seorang yang akan menempati posisi jabatan publik diharuskan memenuhi unsur-unsur kompetensi tertentu yang dipersyaratkan.
Misalnya dia harus mampu mengerjakan pekerjaan secara berkualitas mencapai/ melampaui target kinerja (achievement orientation), memiliki kemampuan memahami/ menganalisis masalah secara sistematis dan terstruktur (analythical thinking),mampu memberi arah dan tujuan perubahan serta memimpin organisasi (change leadership), mampu berpikir konseptual sesuai bidang tugasnya (conceptual thinking),mampu mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya secara detail dan akurat (concern for order/accuracy).
Hal itu memerlukan disusunnya Job Competency Profile Analysis (JCPA) melalui kerangka hukum yang dapat mendorong reorganisasi birokrasi pemerintah, agar dapat melakukan penataan ulang sistem jabatan dan pengisian jabatan sesuai dengan persyaratan kompetensi yang sesuai.
Sistem birokrasi gaya lama yang menggunakan pendekatan spesifikasi secara terperinci dengan membentuk unitunit fungsional, prosedur yang kaku, dan deskripsi pekerjaan yang sangat terperinci,menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) akan membuat aparat birokrasi justru menjadi takut berinisiatif.
Sistem birokrasi semacam itu biasanya akan cenderung membuat para aparat birokrasi menghindari risiko.Transformasi birokrasi perlu dilakukan dengan mengubah budaya birokrasi gaya lama tersebut menjadi birokrasi yang berorientasi pelanggan (customer oriented). Pengisian jabatan-jabatan publik tak boleh dipolitisasi, namun harus mengacu pada sistem penempatan personalia berbasis analisis kompetensi.
Kompetensi
Kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negaradanreformasi birokrasi perlu mengefektifkan langkah-langkah perampingan birokrasi dan sistem organisasi pemerintah berbasis analisis kompetensi. Sebagai perbandingan, reformasi birokrasi pemerintah di AS yang dipelopori seorang akademisi yang kemudian menjadi Presiden AS yang ke-28, Wilson, telah melahirkan sebuah undang-undang kepegawaian AS yang dikenal dengan Civil Service atau Pandleton Act pada 1883.
Undangundang itulah yang mengawali gagasan pola rekrutmen pegawai negeri di AS dilaksanakan melalui sistem ujian terbuka dengan mengutamakan kompetensi dan keahlian. Pada masa itu, juga dibentuk Civil Service Commision (CSC) atau semacam komisi kepegawaian negara yang secara institusional memiliki kewenangan untuk memantau efektivitas sistem kepegawaian negara,agar berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di AS.
Jasa besar Wilson terhadap organisasi birokrasi pada waktu itu adalah upayanya untuk memisahkan kewenangan birokrasi dan politik. Setelah diterapkannya moratorium PNS, cukup banyak daerah menjadi kekurangan pegawai di beberapa bidang tertentu. Pemerintah perlu segera melakukan pemetaan mengenai kondisi sistem organisasi pemda pascakebijakan moratorium PNS.
Hal ini diperlukan agar pemerintah kemudian mampu menyusun analisis kompetensi untuk sistem organisasi pemerintah, untuk mempersiapkan desain kebijakan jangka panjang guna mengatasi kekurangan jumlah PNS tersebut. Selanjutnya, diperlukan analisis secara cermat kapasitas kelembagaan setiap organisasi pemda, struktur birokrasi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi setiap pemda.
Job Competency Profile Analysis (JCPA) perlu disusun sebelum menentukan kebijakan seleksi PNS dan mengefektifkan kontrak kinerja pegawai setelah pengangkatan pegawai/pejabat di lingkungan organisasi pemerintah.
Penggabungan beberapa fungsi di lingkungan birokrasi pemerintah daerah sejak penerapan PP No 41 Tahun 2007, perlu dianalisis ulang untuk mengevaluasi efektivitas kinerja setiap unit organisasi pemerintah untuk semakin mendorong terbentuknya sistem pemerintahan yang miskin struktur dan kaya fungsi.
Kepeloporan dari pucuk pimpinan di pusat baik presiden maupun para menteri dan wakil menteri, tetap diperlukan untuk memberikan kepastian bahwa pascapenataan ulang kabinet negeri ini tetap mampu mendorong terwujudnya gagasan negara postbureaucratic.
Jangan sampai justru menjadi negara birokrasi baru yang kian abai terhadap kesejahteraan rakyatnya karena birokrasi yang kian tambun dan lamban. Di depan mata sudah membayang hadirnya ancaman krisis Asia pascakegagalan sistem kapitalisme di Eropa dan AS. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar