Kutukan Kekayaan Alam?
Marwan Ja’far, KETUA FRAKSI PKB DPR-RI
Sumber : SINDO, 18 November 2011
Indonesia telah dikaruniai limpahan
kekayaan alam yang teramat besar. Maka tak aneh bila Indonesia diju-luki
sebagai zamrud khatulistiwa. Namun ironisnya,di tengah kekayaan sumber daya
alam (SDA) yang dimiliki,Indonesia justru mengalami pemiskinan dari kekuatan
ekonomi kapitalis global seperti ExxonMobil di Aceh, Blok Cepu, atau Freeport
di Papua.
Banyak fakta menunjukkan bahwa negara dengan SDA melimpah mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Sebaliknya, sepanjang kurun waktu 1970 hingga 1993, negara- negara yang tidak bergantung pada SDA, justru mengalami pertumbuhan pesat sebesar empat kali lebih tinggi dibandingkan negara-negara penghasil migas.
Survei Indeks Pembangunan Manusia/IPM (Human Development Index) UNDP tahun 2004 menunjukkan bahwa hampir semua negara penghasil minyak memiliki angka IPM dari rendah sampai sedang,yaitu antara 0,4 hingga 0,7. Sedangkan negaranegara yang tidak memiliki SDA, justru memiliki angka indeks jauh lebih tinggi,antara 0,7 hingga 0,9 atau bahkan lebih.
Fenomena ini dikenal dengan sebutan ”paradox of plenty”(Macartan Humphreys, Jeffrey D.Sachs, dan Joseph E. Stiglitz,2007). Anomali ini dikenal dengan nama “kutukan sumber daya alam” (resource curse).Potensi SDA bagaikan dua sisi mata pedang, bila dikelola secara baik akan mendapatkan kemakmuran dan bila dikelola secara serampangan akan menjadikan malapetaka.
Kutukan SDA tidak lepas dari perilaku pemburu rente yang bisa meliputi para swasta dan para politikus. Mereka menggunakan mekanisme politik untuk menangguk keuntungan. Perilaku inilah yang menjadikan negara kaya SDA terpuruk dalam kemiskinan dan runtuhnya demokrasi.
Berbagai skandal korupsi telah menyebabkan minyak tidak bisa dinikmati langsung di meja makan rakyat,karena pendapatan minyak hanya berputar di pusaran atas segelintir kekuasaan saja. Andre Gunder Frank pernah mengingatkan, “dengan partisipasi terus-menerus dalam sistem kapitalis dunia, berarti melanggengkan keterbelakangan. Karena itu, tidak akan ada keadilan, efisiensi, maupun perkembangan ekonomi (1991).
Para penganut paham neoliberal berpendapat bahwa logika globalisasi mendiktekan peran yang lebih besar bagi pasar yang tidak dapat dihentikan,bahkan oleh regulasi pemerintah sekalipun Ada pemikiran bahwa dibutuhkan dua syarat untuk benar- benar mengakhiri kutukan kekayaan alam tersebut.Pertama, keberanian pemerintah dalam mereformasi kebijakan. Kedua, tidak adanya elite yang memanfaatkan kebijakan yang bersifat pil pahit untuk kepentingan merebut kekuasaan.
Menguak Tabir
Dalam konteks ini, aktor yang sangat penting adalah negara (state). Negara memiliki dua fungsi sekaligus,baik sebagai aktor pengguna maupun pelindung SDA, yang karena itu negara juga sering mengalami konflik kepentingan.Tidak kalah penting,faktor pengusaha nasional dan internasional. Aktor ini yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan kapitalisme.
Dominasi dan perselingkuhan kedua aktor seperti negara- pengusaha (nasional/internasional) justru menjadikan rakyat jelata sebagai objek kerakusan. Ini pula yang kemudian membangkitkan demo besar- besaran terhadap Wall Street di Amerika Serikat dan Eropa.Masyarakat global resah dan marah atas terjadinya kesenjangan akibat kerakusan segelintir orang yang disimbolkan dengan kerakusan Wall Street.
Kita makin sadar karena bangsa kita pun mengalami keperihan yang sama.Adanya investasi pertambangan multinasional hampir selalu menjungkalkan masyarakat lokal menjadi pihak yang terlemah dan terpinggirkan.Bahkan,dalam kasus Freeport, multinational corporation ini memiliki kekuatan yang lebih besar daripada negara.
Banyak hal menyangkut keadilan bagi penduduk sekitar dan pemerintah yang tak sesuai lagi.Penduduk sekitar hampir tak menikmati hasil buminya,sementara dengan piutang Freeport yang sedemikian besar kepada pemerintah, bisa dikatakan, hanya segelintir orang yang menikmatinya.Padahal,dengan piutang sebesar itu akan ada banyaksektoryangbisadibiayai.
Kepercayaan (Trust)
Inilah saatnya mengembalikan kepercayaan (trust) kepada rakyat.Memang bukan perkara mudah, karena “ketidakpercayaan” telah berlangsung begitu lama.Menyitir Francis Fukuyama, kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur,dan kerja sama berdasarkan normanorma yang dianut bersama-sama.
Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini,bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturanaturan sosial cenderung bersifat positif,hubungan-hubungan juga bersifat kerja sama (1985). Cerita tentang itu bisa kita tengok pada sosok Evo Morales. Pada 2007,dengan gagah berani dia melakukan nasionalisasi terhadap 20 perusahaan asing yang mengelola minyak dan gas alam di negaranya.
Padahal, waktu Morales (yang tidak tamat SMA) mengambil keputusan kontroversial itu, dia belum setahun menjabat Presiden Bolivia. Ini memang sebentuk “kegilaan” seorang pemimpin seperti Morales.Namun, ia berhasil membuktikan kepada rakyatnya, bahwa kekayaan alam di negaranya adalah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyatnya sendiri. Ya,Morales hanyalah cerita tentang keberhasilan seorang pemimpin di negara lain.
Cerita tentang adanya komitmen kuat untuk membenahi sistem korup yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan mengembalikan kepercayaan (trust) rakyat untuk mendekap optimisme menuju kesejahteraan. Haruskah kekayaan alam yang begitu melimpah justru mengalir deras ke luar negeri,sementara masyarakatnya sendiri hanya gigit jari dan menjadi penonton yang tak bersuara?
Haruskah kisah Papua yang hingga kini tak lekang menuai masalah harus berlanjut? Pilihan kita sebagai individu dan negara yang dapat menghentikan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar