Ketegangan di Laut China Selatan
Hikmahanto Juwana, GURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL UI
Sumber : KOMPAS, 18 November 2011
Laut
China Selatan adalah wilayah laut yang merupakan bagian dari Samudra Pasifik di
mana sebagian wilayahnya bertepian dengan daratan dari sejumlah negara, yaitu
China, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
Kelima
negara itu memiliki klaim tumpang tindih atas bagian-bagian dari Laut China
Selatan (LCS). Jika tak dikelola dengan baik dan bijak, konflik damai dapat
berubah jadi konflik bersenjata. LCS dipercayai sangat kaya kandungan minyak
dan gas. Di samping itu, LCS mempunyai nilai strategis sebagai rute pelayaran
dunia.
Ketegangan
Beberapa
hari menjelang KTT ASEAN, yang diikuti dengan KTT Asia Timur, isu LCS menguat.
LCS tak sekadar menjadi pembicaraan dalam KTT ASEAN, tetapi telah menjadi
sumber ketegangan antarnegara. China merasa dipojokkan dengan manuver Filipina
yang hendak membawa ASEAN berhadapan dengannya.
Manuver
Filipina ini diduga dilakukan untuk mendapatkan posisi tawar lebih tinggi
ketika berhadapan dengan China. Memang sejumlah negara ASEAN yang memiliki
klaim atas LCS menghendaki penyelesaian secara multilateral yang melibatkan
ASEAN daripada secara bilateral. China juga menyatakan ketidaksukaannya
terhadap keterlibatan AS dalam masalah LCS.
Meski
mengakui tak memiliki klaim atas wilayah LCS, AS menyatakan keterlibatannya
dalam rangka memastikan alur laut bagi pelayaran internasional aman. AS juga
ingin memastikan China tak melakukan intimidasi atau ancaman penggunaan
kekerasan dalam penyelesaian klaim dengan negara-negara yang kekuatan
militernya tidak sebanding.
Menlu
AS Hillary Clinton, 16 November lalu, di Filipina telah mengindikasikan
dukungan AS yang lebih besar kepada Filipina. Kedua negara menandatangani
deklarasi ”pendekatan berdasarkan aturan untuk penyelesaian klaim tumpang
tindih di wilayah laut”. Demikian pula dengan kehadiran pangkalan AS di Australia
dan kehadiran Presiden Obama dalam KTT Asia Timur yang menandakan keinginan AS
untuk lebih hadir di kawasan ini. Tentu kehadirannya tak sekadar hadir, tetapi
diduga kuat dalam rangka menghadapi China.
China
telah menyatakan penolakannya menjadikan KTT Asia Timur sebagai forum untuk
membicarakan penyelesaian sengketa di LCS. Dalam pernyataannya, Asisten Menlu
China Liu Zhenmin mengatakan bahwa LCS tidak punya kaitan dengan KTT Asia Timur
mengingat KTT tersebut merupakan forum untuk membicarakan kerja sama ekonomi
dan pembangunan.
ASEAN
yang saat ini diketuai oleh Indonesia secara tepat telah melihat konflik di LCS
berpotensi mengganggu stabilitas perdamaian dan keamanan di Asia Tenggara. Oleh
karena itu, Menlu Marty Natalegawa telah menyampaikan pendapatnya bahwa ASEAN
tak akan membiarkan Asia Tenggara jadi arena bersaing negara-negara besar.
Indonesia sebagai ketua ASEAN juga ingin memastikan agar dua kekuatan besar,
China dan AS, tidak dalam posisi berhadapan dan menjadikan LCS ladang konflik
bersenjata mereka. Indonesia sangat menghendaki penyelesaian klaim atas LCS
dilakukan secara damai. Ini alasan Indonesia mengusulkan terbentuknya Kode Etik
Berperilaku (Code of Conduct) Para Pihak di LCS.
Kode
etik yang sedang disusun diharapkan memperoleh persetujuan di tingkat negara
anggota ASEAN. Setelah itu ASEAN berharap akan membawanya ke China untuk
disepakati.
Namun,
dalam analisis akhir, penyelesaian LCS akan bergantung pada sikap China. Jika
China tak menggunakan kekerasan dan mengedepankan dialog, konflik LCS tak akan
mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan. Kondisi sebaliknya akan terjadi
jika China secara provokatif menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya.
Menjadi
pertanyaan bagaimana memastikan agar China tidak akan menggunakan kekerasan. Di
sinilah pentingnya keterlibatan ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional
yang netral dan menjadi fasilitator bagi negara-negara yang bersengketa.
Seiring
dengan akan berpindahnya posisi ketua ASEAN ke Myanmar, akan menarik untuk
diamati bagaimana Myanmar memainkan peran sebagai ketua. Apakah ide Indonesia
untuk menyelesaikan sengketa di LCS secara damai dan menghindarkan kekuatan
besar bermain saat menjadi ketua akan diteruskan? Ataukah Myanmar akan lebih
mendekat pada keinginan China dan menjauhkan ASEAN dari apa yang diharapkan
oleh AS?
Paling
tidak kedudukan sebagai ketua ASEAN kini menjadikan Myanmar memiliki posisi
tawar ketika berhadapan dengan AS. Bagi Myanmar, ini penting karena Myanmar
selalu mendapat tekanan terkait masalah hak asasi manusia dan pemerintahan
militernya dari AS.
Perang
Dingin
Konflik
di LCS bukanlah sekadar klaim sengketa antarnegara. Konflik LCS mengingatkan
kembali hubungan antarnegara pada masa perang dingin di masa lalu. Negara
adidaya bersaing untuk mendapatkan pengaruh dari konflik antarnegara di
berbagai kawasan. Hubungan juga diwarnai kepentingan dan ego suatu negara yang
akan berbenturan dengan mengatasnamakan perdamaian dan stabilitas kawasan serta
dunia.
Untuk
itu, dari waktu ke waktu, Indonesia, baik secara sendiri maupun dalam ASEAN,
perlu terus berperan dalam mendorong penyelesaian damai di LCS.
Indonesia
juga perlu memastikan agar sengketa di LCS tak dijadikan pijakan, bahkan entry
point, konflik kepentingan antarnegara dan membuat perang dingin berubah
menjadi perang sebenarnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar