Muhammadiyah Abad Kedua
Asep Purnama Bahtiar,
KEPALA
PUSAT STUDI MUHAMMADIYAH DAN PERUBAHAN POLITIK, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 18 November 2011
“Aku titipkan Muhammadijah ini kepadamu, dengan penuh harapan
agar Muhammadijah dapat dipelihara dan didjaga dengan sesungguhnja. Karena
dipelihara
dan didjaga, hendaklah dapat abadi hidup Muhammadijah kita.
Memelihara dan mendjaga Muhammadijah, bukan pekerdjaan jang mudah, maka aku
tetap berdo’a
setiap masa dan ketika dihadapkan Ilahi Rabby. Begitu pula mohon
berkat restu do’a limpahan rahmat karunia Allah, agar Muhammadijah tetap madju,
berbuah dan memberi manfaat bagi seluruh manusia sepandjang masa, dari zaman ke
zaman. Dan
aku berdo’a agar kamu sekalian jang mewarisi, mendjaga dan
memadjukan Muhammadijah.”
(KH Ahmad Dahlan, 1923)
Paragraf di atas merupakan salah satu pesan KH Ahmad Dahlan ketika
sakit pada hari-hari menjelang akhir hayatnya.Tak lama berselang setelah beliau
menyampaikan
pesannya itu, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah ini wafat pada 23
Februari 1923.Tokoh gerakan pembaruan Islam di Indonesia ini berpulang ke
hadirat Allah dalam usia yang masih belum begitu sepuh, 55 tahun.
Waktu berlalu dan masa dinamikanya pun berubah. Persyarikatan
Muhammadiyah
terus melaju dan bergerak, berganti pucuk pimpinan sesuai dengan
zamannya dari generasi ke generasi, hingga memasuki abad kedua ini. Sekarang,
ketika Muhammadiyah sudah berusia 102 tahun (menurut penanggalan Hijriah: 8
Zulhijah
1330/8 Zulhijah 1432), bagaimana memposisikan organisasi tertua
dan terbesar tersebut yang semestinya di negeri ini?
Dinamika Persebaran
Pertanyaan itu urgen tidak hanya bagi lingkungan internal
Muhammadiyah, tapi juga bagi kalangan eksternalnya. Bukan dalam arti meminta
perhatian atau ingin diperhatikan, tapi jauh dari itu: bagaimana kalangan
Muhammadiyah sendiri menjaga
elan vital Islam yang berkemajuan dalam
risalah pergerakannya; dan bagaimana kalangan luar (termasuk pemerintah)
belajar lagi mengapresiasi sumbangsih kebangsaan serta saham sejarah yang telah
didedikasikan Muhammadiyah kepada negara bangsa ini sejak dasawarsa awal abad
ke-20.
Usia satu abad lebih ini mengingatkan kembali kita pada pesan KH
Ahmad Dahlan,
sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, untuk terus memajukan dan
mengembangkan
Muhammadiyah di atas fondasi yang telah diletakkannya. Andai kata
dulu pendiri Muhammadiyah ini gagal menata dasar organisasi dan fondasi
Persyarikatan secara kuat dan cermat, boleh jadi Muhammadiyah tidak akan awet
dan alot meningkahi
zaman yang terus bergerak. Dinamika dan perkembangan Muhammadiyah memang
selalu menarik setidaknya karena dua hal. Pertama, pada awal berdirinya,
Muhammadiyah membatasi diri sebagai gerakan lokal dari Kauman Yogyakarta, yang
berkiprah baru di sekitar wilayah Karesidenan Yogyakarta, sebagaimana dinyatakan
dalam Statuten-nya yang pertama (1912).Kedua, secara bertahap Muhammadiyah menjadi
gerakan regional dan nasional, ketika gagasan kemajuan serta ide-ide pembaruan
Islam yang ditawarkannya disambut antusias oleh berbagai kalangan kiai dan
tokoh Islam di luar Yogyakarta dan bahkan di luar Jawa sejak 1920-an.
Sebuah persebaran yang dinamis dan sekaligus penerimaan yang
segagas bagi Muhammadiyah untuk bisa eksis serta berkembang di daerah-daerah di
luar Yogyakarta. Bersamaan dengan dakwah dan gerakan Islam yang berkemajuan ke
berbagai penjuru Hindia Belanda waktu itu, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah
di
dalamnya juga berlangsung penyemaian benih-benih nasionalisme dan
semangat
kebangsaan.
Dalam peredaran zaman dan perputaran masa itu, gerakan dan kiprah
Muhammadiyah
bisa terus dinamis serta berkesinambungan guna merealisasi embanan
mulia: “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Penting digarisbawahi: bukan negara
Islam, melainkan masyarakat Islam.
Kualitas Kepemimpinan
Embanan mulia tersebut menjadi tanggung jawab yang besar dan
sekaligus beban berat bagi pemimpin dan warga Persyarikatan. Secara spesifik,
pemimpin dan kepemimpinan merupakan bagian dari anasir yang terpenting serta
fundamental dalam sebuah organisasi. Dalam hal ini, aktiva dan pasiva sebuah
organisasi untuk merealisasi embanan mulia itu akan ikut ditentukan oleh
kinerja serta kualitas kepemimpinan yang dijalankan oleh seluruh jajaran dan
fungsionarisnya di semua lini.
Artinya, neraca gerakan Muhammadiyah dewasa ini dan kelanjutannya
di masa mendatang tidak bisa dimungkiri lagi bakal ikut diwarnai serta
ditentukan oleh para
elite dan tokoh yang saat ini diamanahi dalam struktur
kepemimpinan Muhammadiyah.
Dengan demikian, orang-orang yang dipercayai menjadi pemimpin di
Muhammadiyah
itu, sesuai dengan levelnya, memiliki amanah yang berat dan
tanggung jawab yang besar untuk memajukan serta memimpin Persyarikatan dan
mendidik warganya. Dalam konteks ini, selain memiliki integritas dan
kredibilitas, seorang pemimpin harus mempunyai kapabilitas, visi kepemimpinan
yang jelas, serta kemauan untuk selalu meningkatkan kualitas atau memiliki
tekad kuat untuk mau saling belajar dan berbagi.
Kebutuhan akan sosok pemimpin yang amanah dan cakap serta model
kepemimpinan
yang responsif dan partisipatoris bukan hanya kebutuhan intern
organisasi yang urgen, tapi juga mengingat tantangan serta problem eksternal
yang semakin tidak ringan dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi
sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan. Bagi Muhammadiyah sendiri,
pelbagai masalah itu dipandang sebagai medan dakwah dan lahan amar makruf nahi
munkar. Menilik ke dalam, disadari pula bahwa Muhammadiyah harus menuntaskan
beragam masalah serius, baik yang bersifat ideologis, struktural, kultural,
maupun yang berkaitan dengan sistem, mekanisme, dan kebijakan organisasi.
Dalam konteks ini pula, Muhammadiyah sudah mendesak waktunya untuk
lebih memprioritaskan lagi problematik masyarakat dan masalah umat yang tidak
sederhana.
Dengan demikian, aksentuasi gerakan kemasyarakatan yang
memberdayakan dan mencerahkan sudah harus kembali diseriusi oleh Muhammadiyah.
Santunan sosial yang bisa dilakukan—dan dalam sejarah Muhammadiyah juga sudah
biasa dikerjakan
—bukanlah sekadar karitatif atau filantropis, tapi juga ada elemen
pemberdayaan serta penguatan kapasitas yang menjadi bagian dari implementasi
identitas Muhammadiyah.
Sebuah momen yang bukan hanya strategis bagi Muhammadiyah untuk
melakukan
evaluasi dan revitalisasi gerakan, tapi juga bernilai historis
karena berada dalam pertaruhan waktu abad kedua untuk semakin membuktikan
gerakannya yang lebih
dinamis dalam membangun peradaban utama. Peradaban utama merupakan
manifestasi obyektif atau proyek obyektivikasi kehidupan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, yang tumbuh dan berkembang dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar