Jumat, 11 November 2011

Menuju Negara Adikuasa 2045


Menuju Negara Adikuasa 2045
Soegeng Sarjadi, PENDIRI SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber : KOMPAS, 11 November 2011



Daoed Joesoef benar. Kita sekarang memang sedang berperang. Bukan seperti perang para pahlawan pejuang kemerdekaan untuk mengusir penjajah, melainkan perang untuk memenangi perdamaian (Kompas, 4/10).

Perang itu tentu saja lebih kompleks dengan musuh yang berlapis-lapis yang terdiri dari semua negara di dunia, termasuk yang menyebut diri sebagai negara sahabat. Tujuan perangnya bukan pengusiran dan penghancuran kehadiran fisik musuh, melainkan untuk memuliakan rakyat. Setiap rakyat menjadi bahagia karena cukup sandang, pangan, papan, sehat, dan berpendidikan. Kebahagiaan akan sempurna secara relatif kalau mereka juga bisa menabung dan berdarmawisata.

Kemenangan perang untuk memenangi perdamaian tersebut hanya mungkin terwujud apabila pada masa kini dan masa depan, setiap warga negara Indonesia, terutama kelas menengahnya, menyadari bahwa musuh mereka sejatinya adalah kelas menengah dari negara-negara lain. Apabila kelas menengah ini berat ke bandul konsumtif daripada produktif, secara hipotesis, kehidupan bangsa ini pada masa depan akan sulit.

Keadaan akan semakin buruk kalau para mahasiswa, yang seharusnya menjadi kognitariat muda, malah sering terjebak dalam tawuran antarsesama mahasiswa. Mereka lupa bahwa musuh sebenarnya yang harus mereka hadapi adalah para mahasiswa dari belahan dunia lain yang setiap hari tekun belajar dan membaca di perpustakaan. Jika keadaan ini terus berlangsung, bisa dipastikan kita akan gagal memenangi perdamaian.

Terlalu Berisik

Padahal, Indonesia saat ini, dengan produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp 7.300 triliun, sudah menempati posisi ke-16 dalam kelompok G-20. Jika PDB ini naik Rp 3.000 triliun lagi dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia tidak tertutup kemungkinan akan berada di urutan kesebelas dalam G-20.

Maknanya, Republik mempunyai potensi luar biasa untuk menjadi negara besar. Kita punya peluang untuk menjadi negara adidaya pada tahun 2045. Terlepas dari semua kekurangan seperti masih melembaganya korupsi dan kemiskinan, negara ini sedang menuju ke sana.
Agar akselerasi menuju negara adidaya bergerak konstan, salah satu syarat krusial yang harus dipenuhi adalah kelas menengah jangan terlalu berisik. Selama ini, saya menilai, kelas menengah kita pada umumnya terlalu berisik dan konsumtif, terutama politisinya. Mereka noisy but voiceless. Benar, perilaku konsumtif mereka telah ikut menggerakkan roda perekonomian bangsa ini. Akan tetapi, gaya hidup demikian tidak memberikan inspirasi apa pun untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa.

Sebenarnya kelas menengahlah yang menjadi penikmat kebebasan berekspresi, hak-hak istimewa, dan kemewahan demokrasi yang lain. Mereka menikmati bicara bebas, menulis bebas, berorganisasi, menjadi elite partai, berdaya beli, dan menikmati segala fasilitas publik jauh lebih baik dibandingkan dengan massa rakyat. Dengan seluruh sumber daya tersebut, kelas menengah Indonesia bukanlah sekadar perahu tongkang. Mereka adalah kapal induk yang bisa meluncurkan rudal dan menjadi landasan pesawat-pesawat tempur.

Dengan istilah lain, mereka bisa menentukan arah bangsa dan negara. Oleh sebab itu, seharusnya mereka mampu menjadi energi yang ledakannya setara dengan kekuatan delapan bom neutron. Merekalah seharusnya pengibar bendera pembaru dan tegak dengan prinsip bahwa apa pun yang mereka lakukan adalah dalam rangka bernegara.

Akan tetapi, realpolitik berbicara lain. Hanya irisan kecil dari kelompok kelas menengah yang mau menjadi panglima perang untuk memenangi perdamaian. Mereka ini menempuh jalan sepi, menanjak, dan sulit untuk mendidik masyarakat agar mereka lebih memahami realitas sosial dan politik yang berlaku.

Tentu ceritanya akan berbeda apabila mayoritas kelas menengah mau menjadi pahlawan untuk memenangi perdamaian dan membawa Indonesia menuju negara adidaya pada tahun 2045. Seandainya itu terjadi, lompatan sejarah dan peradaban akan dinikmati bangsa Indonesia lebih cepat daripada prediksi konservatif, yaitu setelah tahun 2050.

Secara obyektif, modal untuk menjadi negara adidaya sebenarnya sudah ada. Dari ranah ekonomi, misalnya, tanah air ini punya segalanya. Tidak mengherankan jika dengan pergerakan lambat industri manufaktur dan keterbatasan infrastruktur saat ini, Indonesia masih bisa berdiri tegak di antara negara-negara G-20. Sementara dari ranah politik, bangsa ini luar biasa karena bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Islam ternyata selaras dengan demokrasi. Suatu kekhawatiran yang dulu menghantui banyak negara. Selain itu, pemilu juga selalu berlangsung damai dan otonomi daerah menjadi keniscayaan.

Ujung Tombak

Kelas menengah sebagai belahan masyarakat yang paling menikmati hak-hak istimewa yang disediakan demokrasi selayaknya tidak hanya berisik, tetapi juga menjadi ujung tombak dari lompatan peradaban bangsa. Mereka tak boleh diam ketika melihat ketidakadilan, apalagi kalau melihat fenomena negara dalam negara.

Jika keuntungan PT Freeport sebesar yang diisukan selama ini, yaitu Rp 8.000 triliun per tahun, itu sama dengan PDB Indonesia. Fenomena itu tak ubahnya negara dalam negara. Adalah tugas kelas menengah untuk melakukan tekanan politik terhadap para pembuat keputusan agar praktik seperti itu berhenti.

Itulah sikap pahlawan.  

1 komentar:

  1. Sebuah tulisan yang bagus, jauh lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti oleh pembaca awam; terutama bila dibandingkan dengan tulisan Daoed Joesoef yang disebut dalam tulisan ini. Menurut saya, kelas menengah kita terlalu banyak menguras energi dan sumberdaya lainnya untuk terus berisik, berperang melawan sesama kelas menengah kita lainnya; terutama dalam rangka memenangkan Pemilu, Pilpres, dan Pilkada. Memang benar, untuk menjadi negara adikuasa, kelas menengah kita harus terus meningkatkan produktivitasnya dan lebih banyak mengonsumsi barang-barang buatan dalam negeri. Setahu saya, berdasarkan pengalaman negara-negara adikuasa sebelumnya, sebuah negara bisa menjadi negara adikuasa apabila kelompk kelas menengahnya mampu memanfaatkan produktivitasnya dan sumberdaya plus pasar di negara-negara lain untuk kepentingan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyatnya. Peluang untuk menjadi negara adikuasa 2045 akan terbuka manakala kelas menengah kita bersatu dan mempunyai spirit dan stamina yang tinggi, seperti para pemain sepakbola Korsel dan Jepang, untuk bersaing melawan (calon) negara-negara adikuasa yang ada saat ini. Tanpa semua itu, orang mungkin akan mencibir dan memperolok kita dengan ucapan "Mimpi kali!"

    BalasHapus