Buruk Freeport, Papua Dikorbankan
Siti Maimunah, AKTIVIS JARINGAN ADVOKASI TAMBANG
Sumber : KOMPAS, 11 November 2011
Ketidakpuasan rakyat Papua terhadap tambang tembaga dan emas raksasa Freeport-Rio Tinto bukan hal baru. Pemotongan pipa konsentrat pada Oktober 2011 itu merupakan pengulangan kejadian pada tahun 1977.
Aksi memprotes kekerasan di sekitar tambang yang dilakukan oleh militer bahkan telah terdengar sejak masa-masa awal perusahaan itu merampas tanah orang Amungme. Protes tersebut terus membesar dan meluas. Freeport-Rio Tinto menjadi sumber ketidakpuasan orang Papua. Juga rakyat Indonesia.
Tambang emas dan tembaga Freeport-Rio Tinto bagai duri dalam daging. Sebagian pendapatan negara merupakan sumbangannya melalui royalti dan pajak, tetapi berbagai kejahatan kemanusiaan dan lingkungan terjadi sejak perusahaan datang. Dimulai dengan pengambilan paksa dan pembongkaran tanah adat orang Amungme.
Bagi orang Amungme, tanah adat tersebut diyakini sebagai ibu. Dugu-dugu sebagai tempat peristirahatan sang ibu di puncak Gunung Etzberg dihancurkan. ”Bagaimana perasaanmu jika kami ambil ibumu dan kami belah payudaranya? Itulah perasaan orang Amungme sekarang,” kata Linda Beanal, perempuan Amungme, pada tahun 2008.
Udang di Balik Batu
Lalu terjadilah pengamanan khusus tambang ini oleh tentara dan polisi. Jumlahnya bertambah dari waktu ke waktu. Ternyata ada uang di balik pertambahan itu. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan, Freeport-Rio Tinto membayar jasa keamanan untuk kepolisian dan TNI sebesar 79,1 juta dollar AS, sekitar Rp 711 miliar, dalam kurun 2001-2010 untuk mengamankan tambangnya (Kompas, 1/11).
Penambahan aparatur keamanan tersebut semakin menjauhkan perundingan, apalagi jawaban damai, dari bumi Papua. Sayangnya, Amerika Serikat, negara asal perusahaan tambang itu, seolah-olah meniupkan angin segar. Tahun lalu mereka justru memperpanjang kerja sama pengembangan hubungan militer dengan Indonesia. Mereka melakukan 150 kegiatan, pertukaran, dan kunjungan militer tahun ini.
Padahal, kekerasan dan pembunuhan di sekitar pertambangan tak terhitung. Tak hanya menimpa rakyat biasa, juga buruh perusahaan. Indonesia menyediakan buruh paling murah untuk tambang ini. Upah terendah mereka Rp 6 juta per bulan, sementara upah terendah buruh perusahaan itu di negara asalnya mencapai 30 kali lipatnya. Namun, saat buruh menuntut kebebasan berserikat, perbaikan kondisi kerja, penghapusan diskriminasi hak dan fasilitas antara pekerja asli Papua dan asing, serta kenaikan upah, mereka justru diintimidasi dan dirundung kekerasan.
Petrus Ayamiseba (36), anggota serikat pekerja PT Freeport-Rio Tinto, ditembak mati polisi (Kompas, 4/11) pada 10 Oktober lalu saat melakukan mogok kerja sejak September 2011. Namun, yang banyak dilupakan dari tambang emas raksasa ini adalah perusakan lingkungan hidup yang masif lebih dari empat dasawarsa.
Freeport-Rio Tinto telah meningkatkan pembuangan limbahnya sejak 1972, dari 75.000 ton hingga menjadi 230.000 ton per hari. Hasil kajian dampak lingkungan hidup pertambangan Freeport-Rio Tinto (Walhi, 2006) menemukan limbah tailing telah merusak 36.000 hektar kawasan Sungai Ajkwa sepanjang 60 kilometer ke arah laut.
Akhir Oktober lalu Menteri Kehutanan menuding Freeport mencemari 200.000 hektar hutan Papua. Jika tambang ditutup pada 2041 nanti, perusahaan akan meninggalkan lebih dari 3 miliar ton limbah tailing dan lebih dari 4 miliar ton limbah batuan. Belum lagi lubang-lubang berkedalaman ratusan meter yang tak mungkin ditutup.
Anehnya, pada 2010 tambang emas ini mendapat peringkat Proper Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup karena dinilai melakukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlakuan Khusus
Padahal, angka padatan tersuspensi total (TSS) limbah tailing mereka di titik pemantauan Pandan Lima, misalnya, dalam kurun September–Desember 2010 rata-rata di atas 3.600 miligram per liter, atau 18 kali ambang baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 202 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Kegiatan Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga.
Namun, pemerintah memberi perlakuan khusus dan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008 yang membolehkan perusahaan membuang tailing dengan TSS hingga 45 kali ambang baku mutu yang diperkenankan. Freeport-Rio Tinto pun lolos dari jerat hukum.
Sayangnya, hanya besarnya royalti yang diperkarakan pemerintah. Celakanya, perusahaan baru diwajibkan membayar royalti setelah 19 tahun beroperasi dan membuang lebih dari 20.000.000 ton limbah ke Danau Wanagon, Sungai Aghawagon, Sungai Otomoni, dan Sungai Ajkwa.
Tunggakan Royalti
Besar royalti pun merugikan. Sejak kontrak karya pertama hingga perpanjangannya selesai tahun 2041, royalti tembaga hanya 1,5–3,5 persen, sementara royalti emas hanya 1 persen. Padahal, harga emas dan tembaga dunia terus naik. Itu pun pembayarannya masih menunggak. ICW melaporkan tunggakan royalti perusahaan 176,884 juta dollar AS, sekitar Rp 1,591 triliun, dalam kurun 2002-2010.
Apa langkah pemerintah setelah 44 tahun PT Freeport beroperasi?
Pada Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan akan melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan. Namun, renegosiasi itu hanya membicarakan luas wilayah kerja, perpanjangan waktu kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban divestasi dan kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri. Sementara itu, kerusakan lingkungan, konflik sosial, militerisasi, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia di sekitar pertambangan sama sekali tak disinggung.
Sepertinya renegosiasi kontrak karya Freeport-Rio Tinto tak akan menjamin keselamatan orang Papua. Sudah waktunya pemerintah mendengar suara rakyat Papua dan Indonesia yang menuntut Freeport-Rio Tinto ditutup dan dinasionalisasi.
Maukah SBY mendengar rakyat Papua dan Indonesia? Atau, kita harus menunggu pemimpin yang berani menghadapi kekuatan adidaya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar