Rabu, 16 November 2011

Mengurai Kompleksitas Masalah Papua


Mengurai Kompleksitas Masalah Papua

W Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 16 November 2011



Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di Papua, meskipun sejak 2001 telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di Papua, pada hakikatnya bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus ketidakadilan struktural yang terjadi selama ini—yang justru atas nama kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang dilaksanakan di provinsi tersebut. Banyak temuan mengindikasikan bahwa kebijakan Otsus, dalam kerangka penerapan sistem desentralisasi asimetris tersebut, yang diiringi dengan mengalirkan sejumlah besar uang melalui dana Otsus, ternyata tak berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan mayoritas masyarakat Papua. Bahkan terdapat indikasi kuat aliran dana Otsus tersebut lebih banyak memperkaya pundi-pundi para elite penguasa lokal di Papua. Hal itu akibat besarnya dana Otsus yang membuat iri banyak daerah lain tersebut selama ini tak diimbangi dengan penerapan sistem responsibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatannya.

Pada 2012, pemerintah akan mengucurkan dana Otsus sebesar Rp 3,83 triliun untuk
Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua Barat. Alokasi dana Otonomi Khusus Papua
dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding pada 2011. Hal itu tercantum dalam penjelasan atas RAPBN 2012 yang telah disetujui di Sidang Paripurna DPR, Jumat, 28
Oktober. Namun sejumlah data memperlihatkan bahwa salah urus penggunaan dana
Otsus Papua tersebut telah terjadi cukup lama. Menurut temuan BPK, selama 2002-
2010, untuk dana Otsus, Papua dan Papua Barat mendapat alokasi anggaran sebesar
Rp 28,8 triliun.Tetapi BPK hanya mengaudit 66,27 persen dari dana sebesar Rp 19,1
triliun itu dan menemukan ada indikasi penyelewengan sebesar Rp 319 miliar. Hal itulah yang kemudian memunculkan desakan dari berbagai elemen agar KPK RI segera
melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir hanya dinikmati segelintir elite politik.

Suatu hal yang kontradiktif, di saat segelintir elite yang berkuasa menikmati kucuran dana Otsus, mayoritas masyarakat di Papua tetap berkubang dalam kemiskinan. Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya kerugian negara sebesar
Rp 319 miliar harus menjadi pijakan awal pemerintah untuk menjawab persoalan ketidaksinkronan besaran kucuran dana kepada Papua dan Papua Barat. Secara teoretis, penerapan sistem desentralisasi asimetris merupakan kebijakan afirmatif untuk
menjawab disparitas kesejahteraan dan perasaan ketidakadilan antardaerah. Amanat
konstitusi untuk menerapkan sistem desentralisasi yang menjadi pijakan penerapan
Otsus Papua seharusnya mampu memberi hasil akhir berupa pemberdayaan rakyat
Papua. Otonomi daerah seharusnya mampu membuat masyarakat setempat menjadi semakin berdaya, bukan teperdaya. Realitas yang ada saat ini, mayoritas masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan/kesehatan, tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kelayakan, sarana dan prasarana kehidupan sosialnya masih sangat memprihatinkan, terutama di daerah pedalaman Papua.

Kebijakan pencairan dana Otsus ke depan harus dipantau secara ketat untuk menjamin efektivitasnya terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua; penanggulangan
kemiskinan; pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan guruguru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak; pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat; serta pembangunan infrastruktur sosial yang layak dan merata di seluruh daerah. Di samping itu, indikasi penyelewengan dana Otsus Papua yang sudah terjadi harus diusut secara komprehensif, untuk menemukan aktor-aktornya yang harus bertanggung jawab, modus operandinya, dan langkah preventif untuk perbaikan pengelolaan dana Otsus ke depan.

Freeport

Seharusnya persoalan yang muncul di seputar masalah perselisihan antara karyawan
dan manajemen PT Freeport McMoran ditempatkan dalam perspektif hubungan
ketenagakerjaan, yaitu terkait dengan masalah ketidakpuasan terhadap hak atas upah bagi karyawan di Freeport. Masalah tersebut menjadi besar karena berkelindan dengan karut-marut sistem pelaksanaan Otsus dan seputar peran aparat keamanan di Papua.Terungkapnya “dana pengamanan” Freeport ke anggota Polda Papua menambah kerumitan masalah tersebut.

Serikat Pekerja Tambang (United Steelworkers) di Amerika menuding dana itu tak lebih sebagai upaya PT Freeport McMoran untuk menyuap petugas keamanan di Indonesia
agar mau menjaga keamanan di kawasan perusahaan tambang emas itu di Tembaga Pura, Papua. Karena itu, mereka akhirnya melaporkan dugaan suap itu ke Departemen Kehakiman Amerika Serikat, pada 1 November 2011. Dikutip dari website United Steelworkers, pada surat serikat yang ditandatangani oleh Direktur Urusan Internasional Ben Davis disebutkan laporan itu didasarkan pada keterangan Kapolri
Jenderal Timur Pradopo di media massa maupun laporan dari Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Dalam suratnya kepada Departemen
Kehakiman, Serikat Pekerja mengungkapkan bahwa Jenderal Timur Pradopo mengatakan pembayaran keamanan itu sebagai “uang makan siang”dan merupakan
pembayaran tambahan selain dana keamanan yang dialokasikan oleh negara.

Aparat keamanan dianggap tidak netral dalam menangani perselisihan mengenai
upah antara karyawan PT Freeport dan manajemen PT Freeport. Persoalan yang terjadi di PT Freeport dan ketidakpuasan atas pelaksanaan Otsus Papua sebenarnya
merupakan dua hal yang seharusnya dilihat secara kasus demi kasus. Namun ketidakpuasan mayoritas masyarakat Papua atas penyimpangan penerapan Otsus di Papua yang selama ini tak mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat Papua menyebabkan setiap masalah yang dipicu oleh simbol-simbol negara (dalam hal ini ketidakpuasan atas peran aparat keamanan dalam kasus PT Freeport) menimbulkan resistansi masyarakat Papua terhadap penerapan Otsus di Papua.

Langkah awal dalam menyelesaikan masalah yang berlarut-larut di Papua adalah
pemerintah segera melakukan renegosiasi dengan PT Freeport. Pasalnya, berbagai
sumber daya alam yang berlimpah di Papua seharusnya bisa dimanfaatkan dengan
baik untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Di samping langkah tersebut, pemerintah perlu mengevaluasi dampak penerapan Otsus yang selama ini masih belum memberikan manfaat bagi mayoritas masyarakat Papua, karena berbagai indikasi terjadinya praktek penyimpangan penggunaan dana Otsus untuk kepentingan segelintir elite penguasa di Papua. Kebijakan Otsus akan memiliki arti bagi masyarakat jika mereka dapat merasakan keadilan, terutama untuk menikmati hasil-hasil sumber daya alamnya sendiri. Jadi, jika ditarik benang merahnya,memang terdapat kaitan antara persoalan penerapan Otsus Papua dan perselisihan mengenai hak upah karyawan di lingkungan PT Freeport. Hal itu karena masyarakat melihat bahwa pengerukan kekayaan alam di Papua seharusnya mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah harus menyelesaikan kompleksitas masalah yang kini saling berkelindan tersebut secara bijak dan sistematis.

Fenomena Otsus Papua seharusnya menjadi pembelajaran yang berharga bahwa penerapan sistem desentralisasi atas nama Otsus harus diiringi kebijakan pusat untuk  tetap melakukan supervisi atas implementasinya dan secara efektif memantau manfaatnya bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat setempat. Pemerintah perlu mengintensifkan dialog dengan masyarakat dan berbagai elemen kritis di Papua untuk mencari solusi bersama guna perbaikan penerapan Otsus ke depan, sambil mendefinisikan ulang peran substansial dan keberpihakan nyata negara terhadap rakyat Papua, yang tak lepas dari beban kolonialisme internasional maupun lokal. Masalah di Papua harus diselesaikan dengan hati, karena Papua adalah bagian yang sangat penting dari negeri ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar