Berakhirnya “Kepemimpinan Ide”?
Ulil Abshar-Abdalla, KETUA DEPARTEMEN PENGEMBANGAN
DAN STRATEGI PARTAI DEMOKRAT
Sumber : JIL, 15 November 2011
Kita
sudah terbiasa menyaksikan perubahan-perubahan sosial, entah besar atau kecil,
pada dua abad yang lalu: abad ke-20 dan 21. Revolusi kemerdekaan di kawasan
Asia-Afrika salah satu contohnya. Setelah kemerdekaan, sejumlah perubahan lain
menyusul. Salah satu yang penting: modernisasi sosial-politik yang biasanya
diterjemahkan dalam dua agenda besar: pertama, menyusun kembali lembaga
sosial-politik agar sesuai dengan tuntutan sosial baru; kedua, modernisasi
ekonomi untuk mencapai kemakmuran yang seluas-luasnya bagi warga negara.
Sementara
itu, di dalam masyarakat Islam secara lebih khusus, kita juga menyaksikan
perubahan sosial yang sangat penting. Bersamaan dengan proyek modernisasi yang
berlangsung di berbagai belahan dunia ketiga itu, muncul pula “modernisasi
internal” di dalam tubuh umat, dalam bentuk rekontekstualisasi atau penafsiran
ulang sejumlah ajaran yang dianggap kurang lagi relevan. Gerakan modernisasi
(baca: reformasi, iṣlāh)
dalam bentuk ajakan untuk kembali kepada Quran dan sunnah bisa juga dimaknai
sebagai salah satu bentuk dari modernisasi internal ini.
Yang
menarik, perubahahan-perubahan di atas itu memiliki ciri yang nyaris serupa:
adanya kepemimpinan ide (intellectual leadership). Kita tahu, revolusi
kemerdekaan di dunia ketiga umumnya dipimpin oleh kaum intelektual sekuler yang
terdidik dalam lembaga-lembaga pendidikan yang dididirikan oleh kaum penjajah.
Mereka kemudian memberontak dan menginginkan suatu perubahan sosial-politik
yang lebih egaliter dan bermartabat bagi bangsa mereka. Di Indonesia, kita
kenal figur-figur intelektual-aktivis seperti Sukarno, Hatta dan Syahrir. Di
India, kita mengenal figur seperti Jawaharlal Nehru. Di dunia Arab, revolusi di
sejumlah kawasan itu sangat dipengaruhi oleh gagasan seorang intelektual
nasionalis-sosialis Arab Michel Aflaq yang mengilhami berdiriya Partai Baath,
sebuah partai yang berhaluan sosialis-Arabis.
Gerakan
modernisasi dalam tubuh umat Islam juga dipimpin oleh sejumlah intektual
pencerahan. Di Mesir, kita mengenal duet masyhur: Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh. Di India, kita mengenal Sir Sayyid Ahmad Khan. Di Indonesia,
kita mengenal nama-nama seperti Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai
Wahid Hasyim. Sementara itu, pada akhir dekade 70an, pecah revolusi
sosial-politik yang membawa dampak luas pada dunia Islam pada erah 80an –
Revolusi Iran. Gerakan ini tak lepas dari peran kepemimpinan ide yang dimainkan
oleh tokoh karismatik Ayatullah Khomeini.
Sejak
dua dekade terakhir, agaknya corak perubahan lain sedang menyeruak ke
permukaan. Dua perubahan penting yang kebetulan berlangsung di belahan dunia
dengan penduduk mayoritas Muslim terjadi di Indonesia dan kawasan Arab. Di dua
kawasan itu, terjadi perubahan sosial-politik yang akhirnya menumbangkan kedikatatoran
yang sudah bercokol lama di sana. Pada kasus Indonesia, ini terjadi pada 1998.
Sementara pada kasus Arab, perubahan itu terjadi sejak awal tahun ini, ditandai
oleh tragedi Mohammed Bouazizi, seorang pedagang sayur jalanan Tunisia yang
kematiannya secara tragis memantik api perubahan besar di hampir seluruh
kawasan Arab, hingga saat ini.
Ciri
menonjol dalam perubahan terakhir ini ialah absennya kepemimpinan ide. Baik
reformasi di Indonesia pada 1998 ataupun Revolusi Jasmin yang pecah di dunia
Arab saat ini tak dipimpin oleh seorang “perumus ide besar” yang bekerja di
ruang baca yang sunyi, merumuskan secara koheren ide besar yang akan mengubah
masyarakat, seperti diperlihatkan oleh contoh Karl Marx yang bekerja dan
merenung di ruang baca yang sunyi di British Museum, London.
Dengan
kata lain, tak ada “mullah” dalam sejumlah perubahan terakhir itu. Yang
ada ialah massa mahasiswa (dalam kasus Indonesia) atau masyarakat kelas
menengah dari berbagai latar sosial yang campur aduk, dan sama sekali tak diikat
oleh ideologi bersama yang koheren. Dalam kasus dunia Arab, terutama Mesir,
peran penting justru oleh sebuah platform media sosial yang populer saat ini:
Facebook dan Twitter.
Pertanyaan
yang langsung mencuat: apakah kepemimpinan ide sudah berakhir? Apakah perubahan
sosial di masa depan, baik di dunia Islam atau di tempat lain, tak akan lagi
mengandaikan peran seorang intelektual yang merumuskan gagasan besar?
Kita
tak tahu jawabannya secara pasti. Namun ada satu hal yang jelas: jika perubahan
di masa lampau cenderung bersifat elitis, di masa depan, basis perubahan sosial
akan jauh lebih demokratis. Peran publik pada umumnya, terutama publik kelas
menengah yang mempunyai derajat keterdedahan (exposure) yang tinggi terhadap
berbagai jenis informasi, akan memiliki peran lebih besar lagi.
Watak
perubahan dan gerakan sosial yang “tanpa wajah” ini tampak juga di Amerika
Serikat saat ini. Dua gerakan sipil yang menyedot perhatian banyak pihak saat
ini, Tea Party dan Occupy Wall Street Movement, menunjukkan ciri serupa:
gerakan tanpa mullah dan perumus gagasan. Dua gerakan ini tampak sekali tak
diinspirasikan oleh gagasan seorang “filsuf revolusioner” seperti seorang
Herbert Marcuse pada dekade 60an, misalnya. Dua gerakan ini nyaris seperti
tanpa “kepemimpinan ide”.
Saya
ingin menyebut kecenderungan baru ini sebagai de-elitisasi perubahan sosial.
Apakah gejala baru ini akan membawa dampak positif atau negatif, kita belum
tahu. Yang jelas, beberapa kesulitan sudah muncul dari gerakan perubahan yang
non-elitis seperti ini, salah satunya ialah gagapnya pelaku gerakan ini setelah
mereka mencapai kemenangan. Karena aktor-aktor gerakan ini sangat beragam dan
tak diikat oleh platform ideologis yang sama, mereka mengalami kesulitan saat
dihadapkan pada fase rekonstruksi: apa agenda yang hendak mereka perjuangkan ke
depan. Hasilnya, kerapkali, perubahan yang fragmentatif dan kadang gampang
disabot oleh elit lama, atau memantik konflik sosial-horisontal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar