Kamis, 17 November 2011

Memutar Arah Jarum Jam

Memutar Arah Jarum Jam

AA GN Ari Dwipayana, DOSEN JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN FISIPOL UGM
Sumber : SINDO, 17 November 2011



Sistem pemilihan gubernur secara langsung baru berjalan kurang lebih enam tahun.Namun kehendak untuk mengubah sistem pemilihan itu mulai bermunculan.

Setidaknya, hal itu terdengar dari berbagai wacana yang disampaikan terbuka ke publik oleh Mendagri bahwa sistem pemilihan gubernur saat ini perlu dievaluasi dan alternatifnya adalah kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD.Bahkan wacana perubahan sistem pemilihan gubernur oleh DPRD ini sudah bisa dilihat jejaknya pada konsep UU
Pemilukada yang akan diajukan pemerintah kepada DPR.

Kalau dicermati lebih jauh, kehendak untuk mengubah sistem pemilihan gubernur didasarkan pada logika efisiensi di tengah demokrasi yang berbiaya tinggi. Sistem pemilihan secara langsung dianggap sebagai sistem berbiaya tinggi, bukan hanya dari biaya proses penyelenggaraannya, tetapi juga dari biaya yang dikeluarkan oleh para kandidat untuk bersaing.

Fenomena inilah yang selanjutnya mendorong pemerintah untuk mengevaluasi sistem pemilihan gubernur secara langsung.Alternatif yang diusung adalah kembali ke sistem pemilihan tidak langsung, yakni dilakukan DPRD.Sistem pemilihan oleh DPRD ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru karena sistem ini pernah diterapkan dalam kurun waktu yang pendek (1999–2005) ketika memasuki awal-awal proses reformasi.

Kalau sistem ini kembali digunakan, pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah perubahan sistem pemilihan oleh DPRD merupakan jawaban atas problem demokrasi lokal yang dihadapi saat ini?

Keterbatasan Pemilihan DPRD

Ketika sistem pemilihan DPRD mulai diterapkan pada 1999, dalam perjalanannya sistem ini sudah melahirkan berbagai kritik. Kritik atas sistem tersebut antara lain, pertama, sistem ini lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekrutmen politik di tangan segelintir elite politik di DPRD sehingga sistem ini membatasi ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi serta menyuburkan oligarkisme-elite dalam menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal.

Pemilihan oleh DPRD juga mempersempit preferensi kandidat-kandidat yang bersaing karena hanya partai politik pemilik kursi di DPRD yang berhak mengusulkan pasangan kandidat. Dengan demikian,ruang bagi partai- partai nonparlemen dan kandidat nonpartai seperti calon perseorangan menjadi tertutup sama sekali.

Kedua, dalam sisi kompetisi politik, karena proses pemilihan hanya melibatkan aktor-aktor yang terbatas di DPRD itu, justru bisa memunculkan model kompetisi yang tidak fairseperti praktik politik dagang sapi dan money politics di antara partai-partai yang memiliki kursi di DPRD.

Ketiga, dari sisi relasi eksekutif- legislatif,sistem pemilihan oleh DPRD ini memunculkan komplikasi baru dalam sistem dan praktik pemerintahan di daerah.Karena,bagaimanapun, sejak 2005,pemilihan secara langsung diharapkan memperkuat sistem presidensial di ranah lokal sehingga kepala daerah yang terpilih memiliki legitimasi politik yang kuat dan akan terbangun perimbangan kekuatan (checks and balances) di daerah, antara kepala daerah dengan DPRD.

Hal ini melawan kecenderungan hadirnya fenomena legislative heavy yang mewarnai praktik politik pada 1999–2005. Pengembalian sistem pemilihan ke DPRD tentu saja membawa implikasi pada relasi gubernur dengan DPRD. Sistem pemerintahan lokal juga mengalami pergeseran dari penguatan sistem presidensial yang ingin mendorong terjadinya checks and balances ke sistem parlementer yang di dalamnya partai di DPRD memiliki kuasa yang lebih kuat.

Agenda Reformasi

Berpijak pada sejumlah kelemahan dalam sistem pemilihan oleh DPRD, tentu akan setback seperti “memutar arah jarum jam”kalau sistem ini kembali diterapkan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan perbaikan pada sistem dan praktik pemilihan gubernur secara langsung.

Tidak semua langkah perbaikan bisa dilakukan dengan cara kerja pendekatan neoinstitusionalisme yang hanya dengan mengubah undang-undang.Sebab, dalam kenyataan, diperlukan langkah reformasi pada tataran paradigmatik, kultur, dan praktik politik di daerah. Ranah pertama adalah perbaikan proses rekrutmen kandidat gubernur dan wakil gubernur, terutama yang melalui jalur partai politik.

Dalam realitas empiris, proses kandidasi kepala daerah melalui jalur partai politik sering kali memunculkan persoalan.Ada tiga hal yang perlu direformasi.Pertama, berkaitan dengan mekanisme kandidasi yang dianggap tidak demokratis. Dalam kondisi semacam itu, konstituen partai di akar rumput tidak banyak dilibatkan dalam proses kandidasi sehingga proses ini dikendalikan sepenuhnya oleh para pengurus partai.

Kedua, persoalan menyangkut perbedaan aspirasi antara pengurus partai di daerah dengan pengurus pusat partai dalam kandidasi. Selanjutnya perbedaan aspirasi itu selalu dimenangi pengurus partai di pusat. Ketiga, persoalan terakhir yang banyak digelisahkan berbagai kalangan adalah persoalan pembentukan koalisi.

Model koalisi yang terbangun antarpartai lebih didorong oleh modus pragmatisme dibandingkan ideologis sehingga tidak aneh kemudian muncul perbedaan model koalisi partai di tingkat nasional dengan koalisi partai politik di lokal dalam proses kandidasi kepala daerah. Ranah kedua adalah perbaikan dalam proses kompetisi antarkandidat.

Dalam isu ini, agenda utama adalah membuat proses kompetisi berjalan secara murah,sehat,dan demokratis. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara: mulai dari pengaturan yang lebih tegas mengenai praktik money politics sehingga kandidat tidak menghambur-hamburkan uangnya untuk membeli dukungan pemilih sampai mengatur ambang batas belanja kampanye.

Dengan cara itu, kita bisa meminimalkan politik yang berbiaya tinggi tanpa harus memutar kembali arah jarum jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar