Meluruskan Pengadilan Tipikor
Trimedya Panjaitan,
ANGGOTA
KOMISI III DPR, KETUA DPP PDIP
Sumber : SINDO, 15 November 2011
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) di daerah kini disorot tajam pascakemunculan putusan bebas di empat
Pengadilan Tipikor daerah. Bahkan mengemuka usulan Pengadilan Tipikor kembali
disentralisasi.
Namun, tepatkah usulan tersebut, dan haramkah putusan bebas korupsi? Pendapat ini mungkin tidak populer. Namun, munculnya putusan bebas dari Pengadilan Tipikor sesungguhnya justru telah mengembalikan lembaga itu ke khitahnya sebagai lembaga peradilan.Jika semua kasus korupsi harus berujung putusan penghukuman, lalu apa gunanya pengadilan?
Peradilan,atau judiciary dalam bahasa Inggris dan rechtspraak dalam bahasa Belanda, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan, atau court (Inggris) dan rechtbank (Belanda),merupakan badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa,mengadili, dan memutus perkara. Kata pengadilan dan peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni ”adil” yang memiliki pengertian: proses mengadili, upaya untuk mencari keadilan, penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan,dan berdasar hukum yang berlaku.
Dengan demikian, dalam perkara pidana, di palu hakimlah terletak kewenangan untuk mengadili apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika bersalah, konsekuensinya penghukuman. Jika tidak bersalah, pembebasan. Itu sebabnya, seorang terdakwa dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah (asas presumption of innocence atau praduga tidak bersalah).
Bukan Stempel KPK
Usulan pembubaran Pengadilan Tipikor di daerah atau menyentralisasinya kembali ke Jakarta sesungguhnya merupakan usulan asal yang dilandaskan pada asumsi (maaf) sesat. Asumsi yang dibentuk oleh rekor 100% putusan bersalah Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam menyidangkan kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rekor bulat telur putusan bersalah ini bak telah membentuk ”doktrin” baru bahwa terdakwa korupsi itu harus divonis bersalah.
Seolah Pengadilan Tipikor itu cuma stempelnya KPK. KPK menangani di tingkat penyelidikan,penyidikan, hingga penuntutan, kemudian Pengadilan Tipikor mengadilinya. KPK tidak mengenal penghentian penyidikan, Pengadilan Tipikor tidak mengenal putusan bebas. Demikian ”doktrin”yang selama ini berlaku.Demikian opini yang terbentuk di publik.
Boleh jadi para hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat juga mempercayainya,sehingga Agus Condro tetap dihukum walau ada opini bahwa sebagai peniup peluit kasus korupsi cek pelawat dia layak dihadiahi vonis bebas.Atau, dalam kasus yang sama, tapi beda berkas, Panda Nababan tetap dihukum walau alat buktinya lemah sehingga dua anggota majelis hakim melakukan dissenting opinion.
Dalam kondisi seperti ini munculnya putusan bebas dari Pengadilan Tipikor telah membuat shock berbagai kalangan. Terutama setelah munculnya putusan bebas dari Pengadilan Tipikor Bandung yang perkaranya disidik KPK.Secara spontan langsung muncul berbagai reaksi keras. KPK,melaluijurubicaranya, merespons dengan pernyataan akan memeriksa majelis hakim kasus tersebut.
Sedangkan Ketua MK Mahfud MD melempar usulan pembubaran Pengadilan Tipikor di daerah.Sebuah usulan yang awalnya mendapat dukungan, tapi belakangan mulai dikritisi sebagai usulan emosional tidak berdasar.
Penulis berpendapat, sebagaimana telah diuraikan atas,sesungguhnya ada hikmah di balik putusan-putusan bebas itu,yaitu mengembalikan khitah Pengadilan Tipikor sebagai lembaga peradilan dan bukan lembaga penghukuman. Jika tuntutan jaksa kuat, terdakwa dihukum. Jika dalil terdakwa dalam membuktikan ketidakbersalahannya yang lebih kuat,ia dibebaskan.
Perlu Dikuatkan
Namun ,bukan berarti munculnya putusan-putusan bebas dari Pengadilan Tipikor itu dibiarkan begitu saja. Ini tetap harus dikritisi, tetapi secara proporsional. Harus dilihat kasus per kasus dan tidak boleh digeneralisir. Putusan bebas bisa disebabkan berbagai faktor.
Pertama,bisa jadi kasusnya memang lemah, dakwaan dan tuntutannya tidak terbukti. Jika demikian, harus diterima sebagai putusan yang adil. Kemungkinan kedua, ada udang di balik batu dalam putusan tersebut. Majelis hakimnya main mata dengan terdakwa. Jika ini yang terjadi, itu menjadi domain Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk melakukan penindakan dari segi administrasi, dan penegak hukum dari segi proses hukum pidananya. Faktor ketiga, kualitas hakim ad hocTipikor di daerah berikut manajemen peradilannya memang buruk.
Boleh jadi ini yang terjadi sebagai ekses dari pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah yang terburuburu karena ada tenggat waktu harus dibentuk paling lama dua tahun sejak diundangkannya UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Jika demikian, solusinya adalah pembenahan terhadap Pengadilan Tipikor di daerah.Baik itu menyangkut kelembagaan Pengadilan Tipikor maupun kualitas hakimnya.
Semua pihak yang berkepentingan, yaitu Mahkamah Agung,Komisi Yudisial, KPK, Kejaksaan Agung, dan jika perlu DPR sebagai representasi dari rakyat, harus duduk bersama untuk TRIMEDYA_mengevaluasi keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar