Sabtu, 12 November 2011

Kontroversi Moratorium Remisi


Kontroversi Moratorium Remisi
Eddy OS Hiariej, GURU BESAR HUKUM PIDANA, FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : KOMPAS, 12 November 2011


Belum genap dua minggu bertugas sebagai Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana menuai kontroversi. Ini terkait kebijakan moratorium—belakangan disebutkan sebagai pengetatan—remisi dan pembebasan bersyarat narapidana kasus korupsi.

Mereka yang pro terhadap kebijakan tersebut memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, harus ada perlakuan yang berbeda dengan narapidana kasus lain. Sementara yang kontra berpendapat bahwa moratorium remisi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana kasus korupsi melanggar hak asasi manusia.

Lebih lanjut mereka yang pro memandang bahwa pemidanaan semata-mata ditujukan untuk pembalasan sesuai dengan berat–ringannya perbuatan yang dilakukan. Ini merupakan ciri utama aliran klasik dalam hukum pidana, yang sejak kelahirannya telah menimbulkan kritik.

Bahkan Jeremy Bentham, salah satu tokoh aliran klasik, mengemukakan bahwa pemidanaan tidak boleh ditujukan hanya untuk pembalasan. Yang terpenting adalah bermanfaat bagi perbaikan diri pelaku kejahatan.

Mereka yang kontra berpegang pada teori relatif dalam hukum pidana bahwa pemidanaan, selain ditujukan sebagai pencegahan umum terjadinya kejahatan, juga bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan. Oleh karena itu, seorang narapidana, tanpa membeda-bedakan kasusnya, berhak atas remisi dan pembebasan bersyarat selama yang bersangkutan berkelakuan baik dalam menjalani hukuman.

Empat Catatan

Terhadap kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi ini, paling tidak ada empat catatan.

Pertama, kebijakan itu memperlihatkan sikap apriori terhadap hukum pidana yang berorientasi pada filsafat keadilan retributif. Orientasi yang demikian membawa Pemerintah Indonesia dalam posisi berhadap-hadapan dengan berbagai instrumen internasional, baik yang berkaitan dengan hak asasi manusia maupun antikorupsi yang telah kita ratifikasi.

Konvensi internasional mengenai hak-hak sipil dan hak-hak politik, demikian pula dengan konvensi PBB mengenai antikorupsi secara implisit tidak lagi merujuk pada keadilan retributif dalam hukum pidana, tetapi mengalami perubahan paradigma baru, yaitu keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif.

Keadilan korektif berkenaan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana. Keadilan rehabilitatif berhubungan dengan upaya untuk memperbaiki terpidana. Sementara keadilan restoratif berkaitan dengan pengembalian aset negara.

Kedua, secara harfiah, kata ”moratorium” diartikan sebagai penghentian sementara. Jadi, pada kasus ini moratorium diterjemahkan sebagai penghentian sementara remisi dan pembebasan bersyarat kepada terpidana korupsi. Selain bertentangan dengan hak asasi manusia, ini juga tidak sesuai dengan teori sistem peradilan pidana.

M King dalam A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, (London, 1981) memperkenalkan status passage model. Model ini memandang sistem peradilan pidana sebagai suatu penerimaan status bagi si terpidana oleh masyarakat yang diwakili institusi penegak hukum.

Masih menurut model di atas, masyarakat turut bertanggung jawab memperbaiki narapidana agar tidak lagi melakukan kejahatan. Keterlibatan masyarakat di sini adalah dalam proses asimilasi yang dijalani oleh narapidana berkelakuan baik menjelang pembebasan bersyarat.

Ketiga, jika yang dimaksud oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan moratorium adalah pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi, dasarnya adalah aturan tertulis dan parameter yang jelas sehingga tidak disalahgunakan.

Pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi sangat dimungkinkan sebagai efek jera jika korupsi dilakukan secara terorganisasi atau oleh aparat penegak hukum atau pejabat negara atau dalam keadaan tertentu. Ini sama halnya dengan penjatuhan pidana mati yang dimungkinkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan darurat.

Keempat, kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi berlaku prospektif. Artinya, kebijakan ini tidak boleh diberlakukan surut—termasuk kepada narapidana korupsi yang telah mengalami asimilasi—kendatipun pembebasan bersyarat baru berlaku setelah kebijakan dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Suatu postulat dasar dalam hukum pidana yang berlaku universal adalah lex favor reo, yang berarti jika terjadi perubahan aturan, kepada tersangka, terdakwa, terpidana, atau narapidana harus diterapkan aturan yang menguntungkan baginya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar