Pengadilan Titipan Koruptor
Hifdzil Alim, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI, FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : KORAN TEMPO, 12 November 2011
Pemberantasan korupsi mulai masuk ke jalur lambat. Satu sebabnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di beberapa daerah mulai gemar memberikan putusan bebas bagi terdakwa korupsi. Karena putusan bebas itu, Pengadilan Tipikor sedang masuk radar sorotan miring publik. Bahkan Mahfud Md.,Ketua Mahkamah Konstitusi, mengusulkan agar Pengadilan Tipikor dibubarkan (Tempointeraktif, 5 November 2011).
Usul pembubaran Pengadilan Tipikor sejatinya tidak terlalu keliru. Pasalnya, kinerja beberapa Pengadilan Tipikor patut dipersoalkan. Lembaga hukum yang seharusnya
memenjarakan terdakwa korupsi itu malah membebaskan mereka. Pengadilan Tipikor Surabaya membebaskan 21 terdakwa korupsi. Pengadilan Tipikor Bandung memberi angin kebebasan kepada dua kepala daerah dan seorang wakil kepala daerah. Satu pengusaha yang menjadi terdakwa korupsi divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Semarang.Kemudian Pengadilan Tipikor Samarinda juga menjatuhkan putusan bebas terhadap 14 terdakwa korupsi. Dengan banyaknya putusan bebas itu,wajar terdengar suara yang menuntut pembubaran Pengadilan Tipikor. Sebab, putusan bebas meresahkan dan melemahkan usaha pemberantasan korupsi.
Keangkeran Memudar
Putusan bebas terhadap terdakwa korupsi berpotensi menimbulkan efek negatif yang dahsyat. Pertama, runtuhnya miniatur pemberantasan korupsi. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor—bersama Komisi Pemberantasan Korupsi—dianggap sebagai pasangan sejati pemberantas korupsi. KPK, yang tidak boleh menerbitkan SP3, sangat
berhati-hati membuat surat dakwaan. Setiap terdakwa korupsi yang dituntut KPK hampir-hampir tak dapat lari dari jerat hukum.
Keseriusan KPK itu direspons oleh Pengadilan Tipikor dengan tidak sekali pun membebaskan terdakwa korupsi. Pengadilan Tipikor menjadi “ladang kematian” yang angker bagi koruptor. Pencuri uang negara, kalau sudah duduk di kursi pesakitan, maka dipastikan ia akan meratapi nasibnya. Namun, dengan putusan bebas Pengadilan Tipikor di daerah, miniatur keberhasilan pemberantasan korupsi itu terancam luluh-lantak.Keangkeran Pengadilan Tipikor memudar.Vonis bebas memelihara asa bagi koruptor untuk terus mengorupsi uang negara.
Berikutnya, putusan bebas memberi kesan bahwa Pengadilan Tipikor sangat “murah
senyum”kepada koruptor. Dengan sendirinya, Pengadilan Tipikor akan beralih fungsi. Dari lembaga penjara koruptor menjadi pengadilan titipan koruptor. Selain itu, menjadi tempat transaksi putusan bagi mafia dan oknum pengadilan.
Seolah-olah proses peradilan dilakukan. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
dilaksanakan.Tapi, hasil akhirnya, koruptor tetap bebas. Proses peradilan digelar hanya untuk memenuhi syarat formal belaka dan nir-substansi.Tidak lebih.
Efek yang lebih dahsyat dari putusan bebas Pengadilan Tipikor adalah hilangnya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap usaha pemberantasan korupsi yang
dilakukan oleh negara.Kehilangan kepercayaan dari masyarakat adalah sebuah bencana. Bayangkan, jika masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada pengadilan, potensi terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) di dalam masyarakat terbuka lebar. Rakyat tidak lagi mengajukan koruptor ke pengadilan formal, melainkan
menghakimi dengan cara mereka sendiri. Chaos akan terjadi di banyak daerah. Kerusuhan timbul. Negara terancam jatuh ke jurang kekacauan.
Bukan Membubarkan
Efek negatif dari putusan bebas harus dicegah. Namun cara mencegahnya bukan dengan membubarkan. Bukan berarti vonis bebas dijadikan alasan yang lazim untuk
membubarkan Pengadilan Tipikor. Ibaratnya, jika ada tikus di lumbung padi, bukan
berarti lumbung harus dibakar habis.
Munculnya vonis bebas Pengadilan Tipikor kuat ditengarai karena remuknya integritas
para hakim Pengadilan Tipikor, baik dari jenjang karier maupun ad hoc. Di lain sisi, ada juga yang dipicu oleh buruknya kinerja penuntutan jaksa maupun penyidikan polisi. Namun tetap saja hakim yang bertanggung jawab. Sebab, jalan terakhir proses peradilan ada di tangan para pengadil, bukan yang lain.
Integritas hakim Tipikor yang roboh mesti ditegakkan kembali. Roh integritas harus ditiupkan kembali ke hakim Pengadilan Tipikor.Tugas meniupkan roh ada di Mahkamah Agung.Tugas awal MA adalah memeriksa para hakim Tipikor yang sudah membebaskan terdakwa korupsi. MA mesti turun tangan. Jika memang ada indikasi hakim Pengadilan Tipikor yang membebaskan terdakwa korupsi, MA wajib memberhentikannya. Pemberhentian ini tak bersifat opsional, melainkan fardhu ‘ain.
Hukumnya wajib.Tak bisa ditawar.
Memberhentikan hakim Pengadilan Tipikor yang nakal akan memberi dua dampak positif. Pertama, memudahkan penegak hukum memeriksa oknum hakim Pengadilan Tipikor.Kedua, memberi pelajaran bagi hakim Tipikor yang lain supaya tidak bertindak macam-macam. Jangan berkorupsi jika tak ingin kehilangan jabatan.
Selanjutnya, MA perlu membenahi dan mengawasi sistem rekrutmen hakim Pengadilan
Tipikor. Kasus Ramlan Comel, hakim Pengadilan Tipikor Bandung, harus menjadi catatan. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, Ramlan dulu pernah ditetapkan sebagai terdakwa kasus korupsi dana overhead PT Bumi Siak Pusako sebesar US$ 194.496 atau setara dengan Rp 1,8 miliar.
Bayangkan, alangkah fatalnya bila hakim Pengadilan Tipikor ternyata mantan terdakwa korupsi.Tentu marwah pengadilan berada di titik nadir. Jangan-jangan ini salah satu penyebab koruptor berani menyuap hakim. Pengadil dan yang diadili pernah menyandang status sama: mantan tersangka korupsi!
Pembenahan sistem rekrutmen hakim Pengadilan Tipikor, mau tidak mau, mendesak
dilakukan. Publik dan lembaga swadaya masyarakat harus diundang masuk untuk turut melakukan rekrutmen. Misalnya, dalam hal pelacakan (tracking) calon hakim Tipikor. Indra pengawasan publik sudah lebih tajam melihat rekam jejak calon hakim. Dengan masuknya unsur publik, kasus Ramlan Comel diharapkan tidak terulang.
Setelah pemeriksaan internal MA dan pembenahan sistem rekrutmen hakim Pengadilan Tipikor rampung dilakukan, langkah berikutnya adalah mengawasi kinerja hakim Tipikor.Tak ada kelirunya bagi MA untuk menggandeng lembaga penegak hukum, seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan serta Komisi Yudisial sebagai lembaga penjaga martabat hakim.Teori sederhana mengatakan, semakin banyak lembaga pengawasan hadir, semakin kecil celah yang dimanfaatkan penjahat untuk mengeksekusi niat jahatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar